GSBI Selenggarakan Diskusi tentang Polemik PP JHT serta Acara Buka Puasa Bersama
JAKARTA. Merespon terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor. 46 tahun 2015 tentang Jaminan Hari Tua (JHT), Gabungan Serikat Buruh Indone...
https://www.infogsbi.or.id/2015/07/gsbi-selenggarakan-diskusi-tentang.html?m=0
JAKARTA. Merespon terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor. 46 tahun 2015 tentang Jaminan Hari Tua (JHT), Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) pada Rabu, 8 Juli 2015 menggelar diskusi bertempat di Kantor Sekretariat Nasional DPP GSBI JL. Cempaka Baru V No 30A, Kemayoran, Jakarta Pusat. Diskusi ini dihadiri oleh pimpinan DPP GSBI, DPC dan perwakilan dari Pimpinan Tingkat Perusahaan (PTP) SB anggota GSBI dari wilayah Tangerang Raya, Jakarta dan Karawang.
Diskusi ini di beri tema “Polemik Di terbitkannya PP 46/2015 dan SJSN Kepentingan siapa”?. Dalam pengantar diskusi Rudi H.B Daman selaku Ketua Umum Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) menyampaikan analisanya atas polemik diterbitkannya PP 46 2015, yakni revisi PP yang akan dilakukan oleh presiden Jokowi adalah bukan jalan utama menyelesaikan polemik yang terjadi saat ini, karena PP 46/2015 tersebut pada hakikatnya tidak bertentangan dengan UU4 0/2004 tentang SJSN sebagai sumber hukum utamanya Pasal 37 ayat 5 dan pasal 38 ayat 3 UU No 40/2004 SJSN termasuk mengenai masalah 10 tahun dan 56 tahun JHT baru bisa di cairkan itu sudah tertuang dalam pasal 37 ayat 3 UU SJSN, dan yang menjadi sumber utama masalahnya dalam JHT dan sistem jaminan sosial baik itu Kesehatan atau Ketenagakerjaan adalah UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN. Sistem Jaminan Sosial Nasional yang di buat semangatnya telah bertentangan dengan konsep jaminan sosial yang sejati, dimana seharusnya negara bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan dari sistem jaminan sosial rakyat. namun, SJSN yang dikembangkan di Indonesia, secara esensi merupakan model dari bisnis asuransi dengan mengambil atau mengutip sebagian dari upah pekerja. Dengan dalih untuk meringankan beban perusahaan, maka pekerja diharuskan untuk membayarkan sebagian dari premi jaminan sosial melalui upah mereka yang dipotong setiap bulan.
Pemberitaan diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua (JHT) yang masuk dalam BPJS Ketenagakerjaan (dulu kita kenal sebagai program Jamsostek) pada tanggal 1 Juli 2015 epektif berlaku/beroperasi semakin ramai dan menuai protes dikalangan kaum buruh dan rakyat Indonesia teruma pada Isi pasal 22 PP 46/2015 dianggap buruh telah merampas dan menghambat hak buruh dalam mencairkan tabungan jaminan hari tua nya. Dalam pasal 22 berbunyi :”… manfaat JHT berupa uang tunai dibayarkan bila peserta berusia 56 tahun atau usia pensiun, meninggal dunia atau cacat seumur hidup. Dalam rangka mempersiapkan diri memasuki masa pensiun manfaat JHT dapat diberikan sebagian sampai batas tertentu bila peserta JHT telah memasuki masa kepesertaan paling singkat 10 tahun (peserta aktif) paling banyak sebesar 30% dari jumlah JHT untuk peruntukan kepemilikan rumah atau paling banyak 10% untuk keperluan lain sesuai persiapan memasuki masa pensiun”.
Dalam diskusi ini juga di paparkan tentang sejarah lahirnya UU SJSN dan BPJS. Dimana lahirnya UU SJSN di Indonesia tidak dapat dipungkiri sebagai akibat krisis ekonomi yang berlangsung pada periode 1997-1998. Ketika krisis ini terjadi, pemerintah Indonesia dipaksa menandatangani Letter of Intent (LoI) dengan IMF, dimana salah satu isinya adalah liberalisasi sektor keuangan, pemerintah Indonesia harus menerima proyek hutang dari Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia (WB) dan Bank Pembangunan Asia (ADB).
Pada 1998, pemerintah Indonesia dipaksa menerima proyek utang dari ADB; Loan 1618-INO senilai USD 1,4 Miliar melalui program yang diberi nama Financial Governance Reforms: Sector Development Program – FGRSDP. Program ini adalah bagian paket yang ditandatangani pemerintah dalam LoI dengan IMF. FGRSDP adalah program yang fokus dalam merestrukturisasi sektor perbankan dan perbaikan alokasi sumberdaya finansial serta sektor publik dengan penguatan tata kelola, peningkatan transparansi informasi keuangan, penguatan kerangka legal dan regulasi sektor keuangan.
Kelanjutannya, pada tahun 2000, diera pemerintahan Abdurrahman Wahid kemudian mulai mengusung gagasan tentang sistem jaminan sosial nasional. Hal ini tidak juga tak lepas dari tekanan negara-negara imperialis yang saat itu mengkritik Indonesia sebagai “negara tanpa jaminan sosial”. Proses penyusunan dan pembahasan atas RUU SJSN ini dilanjutkan pada masa kepemimpinan Megawati, sampai akhirnya disahkan pada tahun 2004, diakhir pemerintahan Megawati.
Sehingga kelahiran UU SJSN BPJS ini sangat kuat kepentingan dan campurtangannya asing terutama ADB, sebagaimana yang tertuang dalam White Paper yang disusun oleh Kementerian Keuangan, ADB dan Mitchell Wiener – Spesialis Sektor Keuangan untuk Dana Pensiun Bank Dunia.
Selaian kesejarahan lahirnya UU SJSN dna BPJS juga di ulas mengenai soal pandangan-pandangan yang berkembangan di kalangan serikat pekerja/serikat buruh antara yang dulu pro dan kontrak, yang mana malah saat ini juga seolah-olah menoolak BPJS SJSN.
Dalam diskusi ini di tegaskan, Jika kita menolak PP Nomor 46 Tahun 2015 maka kita juga wajib menolak UU SJSN karena pokok permasalahannya ada di UU tersebut, namun kita sebagi buruh yang memiliki kepentingan langsung dengan tabungan jaminan hari tua tetap harus memperjuangkan dan mendesak pemerintah untuk segera merevisi PP Nomor 46 Tahun 2015. Secara prinsip tidak boleh ada kebijakan apapun yang menghambat atau mempersulit buruh untuk mendapatkan haknya termasuk dalam mendapatkan JHT. Dengan tidak melupakan akar persoalan untuk pemerintah harus segera mencabut UU SJSN kedepannya.
Diskusi ini berlangsung sangat menarik, dan di tutup dengan acara buka puasa bersama. ()
#Dw-SI72015
Diskusi ini di beri tema “Polemik Di terbitkannya PP 46/2015 dan SJSN Kepentingan siapa”?. Dalam pengantar diskusi Rudi H.B Daman selaku Ketua Umum Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) menyampaikan analisanya atas polemik diterbitkannya PP 46 2015, yakni revisi PP yang akan dilakukan oleh presiden Jokowi adalah bukan jalan utama menyelesaikan polemik yang terjadi saat ini, karena PP 46/2015 tersebut pada hakikatnya tidak bertentangan dengan UU4 0/2004 tentang SJSN sebagai sumber hukum utamanya Pasal 37 ayat 5 dan pasal 38 ayat 3 UU No 40/2004 SJSN termasuk mengenai masalah 10 tahun dan 56 tahun JHT baru bisa di cairkan itu sudah tertuang dalam pasal 37 ayat 3 UU SJSN, dan yang menjadi sumber utama masalahnya dalam JHT dan sistem jaminan sosial baik itu Kesehatan atau Ketenagakerjaan adalah UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN. Sistem Jaminan Sosial Nasional yang di buat semangatnya telah bertentangan dengan konsep jaminan sosial yang sejati, dimana seharusnya negara bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan dari sistem jaminan sosial rakyat. namun, SJSN yang dikembangkan di Indonesia, secara esensi merupakan model dari bisnis asuransi dengan mengambil atau mengutip sebagian dari upah pekerja. Dengan dalih untuk meringankan beban perusahaan, maka pekerja diharuskan untuk membayarkan sebagian dari premi jaminan sosial melalui upah mereka yang dipotong setiap bulan.
Pemberitaan diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua (JHT) yang masuk dalam BPJS Ketenagakerjaan (dulu kita kenal sebagai program Jamsostek) pada tanggal 1 Juli 2015 epektif berlaku/beroperasi semakin ramai dan menuai protes dikalangan kaum buruh dan rakyat Indonesia teruma pada Isi pasal 22 PP 46/2015 dianggap buruh telah merampas dan menghambat hak buruh dalam mencairkan tabungan jaminan hari tua nya. Dalam pasal 22 berbunyi :”… manfaat JHT berupa uang tunai dibayarkan bila peserta berusia 56 tahun atau usia pensiun, meninggal dunia atau cacat seumur hidup. Dalam rangka mempersiapkan diri memasuki masa pensiun manfaat JHT dapat diberikan sebagian sampai batas tertentu bila peserta JHT telah memasuki masa kepesertaan paling singkat 10 tahun (peserta aktif) paling banyak sebesar 30% dari jumlah JHT untuk peruntukan kepemilikan rumah atau paling banyak 10% untuk keperluan lain sesuai persiapan memasuki masa pensiun”.
Dalam diskusi ini juga di paparkan tentang sejarah lahirnya UU SJSN dan BPJS. Dimana lahirnya UU SJSN di Indonesia tidak dapat dipungkiri sebagai akibat krisis ekonomi yang berlangsung pada periode 1997-1998. Ketika krisis ini terjadi, pemerintah Indonesia dipaksa menandatangani Letter of Intent (LoI) dengan IMF, dimana salah satu isinya adalah liberalisasi sektor keuangan, pemerintah Indonesia harus menerima proyek hutang dari Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia (WB) dan Bank Pembangunan Asia (ADB).
Pada 1998, pemerintah Indonesia dipaksa menerima proyek utang dari ADB; Loan 1618-INO senilai USD 1,4 Miliar melalui program yang diberi nama Financial Governance Reforms: Sector Development Program – FGRSDP. Program ini adalah bagian paket yang ditandatangani pemerintah dalam LoI dengan IMF. FGRSDP adalah program yang fokus dalam merestrukturisasi sektor perbankan dan perbaikan alokasi sumberdaya finansial serta sektor publik dengan penguatan tata kelola, peningkatan transparansi informasi keuangan, penguatan kerangka legal dan regulasi sektor keuangan.
Kelanjutannya, pada tahun 2000, diera pemerintahan Abdurrahman Wahid kemudian mulai mengusung gagasan tentang sistem jaminan sosial nasional. Hal ini tidak juga tak lepas dari tekanan negara-negara imperialis yang saat itu mengkritik Indonesia sebagai “negara tanpa jaminan sosial”. Proses penyusunan dan pembahasan atas RUU SJSN ini dilanjutkan pada masa kepemimpinan Megawati, sampai akhirnya disahkan pada tahun 2004, diakhir pemerintahan Megawati.
Sehingga kelahiran UU SJSN BPJS ini sangat kuat kepentingan dan campurtangannya asing terutama ADB, sebagaimana yang tertuang dalam White Paper yang disusun oleh Kementerian Keuangan, ADB dan Mitchell Wiener – Spesialis Sektor Keuangan untuk Dana Pensiun Bank Dunia.
Selaian kesejarahan lahirnya UU SJSN dna BPJS juga di ulas mengenai soal pandangan-pandangan yang berkembangan di kalangan serikat pekerja/serikat buruh antara yang dulu pro dan kontrak, yang mana malah saat ini juga seolah-olah menoolak BPJS SJSN.
Dalam diskusi ini di tegaskan, Jika kita menolak PP Nomor 46 Tahun 2015 maka kita juga wajib menolak UU SJSN karena pokok permasalahannya ada di UU tersebut, namun kita sebagi buruh yang memiliki kepentingan langsung dengan tabungan jaminan hari tua tetap harus memperjuangkan dan mendesak pemerintah untuk segera merevisi PP Nomor 46 Tahun 2015. Secara prinsip tidak boleh ada kebijakan apapun yang menghambat atau mempersulit buruh untuk mendapatkan haknya termasuk dalam mendapatkan JHT. Dengan tidak melupakan akar persoalan untuk pemerintah harus segera mencabut UU SJSN kedepannya.
Diskusi ini berlangsung sangat menarik, dan di tutup dengan acara buka puasa bersama. ()
#Dw-SI72015