Peranan Asing Sangat Dominan dalam Lahirnya UU SJSN BPJS
Peranan Asing Sangat Dominan dalam Lahirnya UU SJSN BPJS Pasal 47 (1) UU SJSN menyatakan; “Dana Jaminan Sosial wajib dikelola dan dikem...
https://www.infogsbi.or.id/2015/07/peranan-asing-sangat-dominan-dalam.html
Peranan Asing Sangat Dominan dalam Lahirnya UU SJSN BPJS
Pasal 47 (1) UU SJSN menyatakan; “Dana Jaminan Sosial wajib dikelola dan dikembangkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial secara optimal dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana dan hasil yang memadai”. Sedangkan Pasal 11b UU BPJS menyatakan; “menempatkan Dana Jaminan Sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, kemanan dana dan hasil yang memadai”.
Dari penelurusan dokumen-dokumen terkait lahirnya UU SJSN dan BPJS, nyatanya pihak asinglah yang banyak berperan bahkan menentukan, terutama ADB (Asian Development Bank). Hal itu berawal pasca krisis tahun 1997. Salah satu poin Letter of Intent (LoI) yang didektekan oleh IMF adalah liberalisasi sektor keuangan. Untuk itu dibuat banyak proyek utang baik dari IMF, Bank Dunia dan ADB.
Kisah SJSN dimulai dari ide untuk mereformasi sektor keuangan. Lalu pada tahun 1998 dibuat proyek utang Loan 1618-INO senilai US$ 1,4 milyar dari ADB yaitu Financial Governance Reforms: Sector Development Program – FGRSDP- (dokumen ADB PCR: INO 31660). FGRSDP merupakan bagian integral dari paket penyelamatan IMF pada akhir 1997. FGRSDP fokus membantu restrukturisasi sektor perbankan dan perbaikan alokasi sumberdaya finansial dan sektor publik dengan penguatan tata kelola, peningkatan transparansi informasi keuangan dan penguatan kerangka legal dan regulasi sektor keuangan.
Untuk itu, mari kita runut satu-persatu bagaimana sistem jaminan sosial menjadi isu penting, setidaknya sejak krisis global tahun 1997. Sudah menjadi pemahaman umum bahwa resep yang dipakai oleh Indonesia menangani krisis adalah resepnya IMF dan lembaga kreditor lainya. Resep yang ditawarkan yang paling utama adalah adanya liberalisasi di segala bidang melalui skema deregulasi dan SAP (structural adjustment program). Sedemikian membiusnya resep tersebut sehingga liberalisasi menjadi tema utama dari semua proses ekonomi-politik Indonesia sejak reformasi. Liberalisasi menemukan lahannya dalam suasana euforia bangsa ini setalah lepas dari tekanan orde baru.
Lahirnya SJSN dimulai dari ide untuk mereformasi sektor keuangan. Tahun 1998, asian development bank (ADB) mengeluarkan dokumen “Technical Assistance to the Republic of Indonesia for the Reform of Pension and Provident Funds”, yang menganjurkan adanya reformasi (liberalisasi) dalam pengelolaan dana pensiun atau jaminan hari tua.
Dalam perubahan kedua UUD 1945 ( tahun 2000) ditambahkan pasal antara lain pasal 28H (3), berbunyi: “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”. Pada perubahan ketiga ( tahun 2001) ditambah lagi pasal 23A: “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Dalam perubahan keempat (2002) pada pasal 34 ditambahkan ayat (2): “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Sedangkan Ayat (3) dan (4) dari pasal ini menjelaskan bahwa negara bertanggungjawab dan diatur dengan undang-undang.
Perubahan atau penambahan pasal-pasal dalam konstitusi diatas bukan tanpa maksud dan tujuan. Pasal-pasal dan ayat-ayat yang dicontohkan harus dimaknai sebagai respon atas arahan dari resep yang ditawarkan oleh IMF dan “kawan-kawannya”. Inilah hidden agenda dari amandeman UUD 1945. Maka, mereka pun seolah menemukan landasan konstitusionalnya. Skenario ini menemukan kesesuaiannya dalam proses selanjutnya.
Pada tahun 2002, ADB berdasarkan pada Report and Recommendation of the President to the Board of Directors on a Proposed Loan to the Republic of Indonesia for Financial Governance and Social Security Reform Program (Laporan dan Rekomendasi Presiden kepada Dewan Direksi pada Usulan Pinjaman untuk Republik Indonesia untuk Kelola Keuangan dan Program Keamanan Reformasi Sosial), mengeluarkan dokumen Technical Assistance to the Republic of Indonesia for Financial Governance and Social Security Reform. Dokumen itu mendorong adanya reformasi dalam pengelolaan keuangan negara dan jaminan sosial. Secara rinci ADB memberikan rekomendasi dan arahan-arahan bagi pemerintah maupun parlemen. Berbagai upaya dilakukan oleh ADB, bahkan dengan menggerlontorkan dana mencapai US$ 250 juta untuk mendukung lahirnya sistem jaminan sosial nasional di Indonesia.
Kelanjutannya, pada tahun 2000, diera pemerintahan Abdurrahman Wahid kemudian mulai mengusung gagasan tentang sistem jaminan sosial nasional. Hal ini tidak juga tak lepas dari tekanan negara-negara imperialis yang saat itu mengkritik Indonesia sebagai “negara tanpa jaminan sosial”. Proses penyusunan dan pembahasan atas RUU SJSN ini dilanjutkan pada masa kepemimpinan Megawati. Akhirnya, pada tahun 2004 di akhir masa pemeritnahan Megawati, lahir dan di sahkan nya UU Nomor 40 tahun 2004 tentang sistem jaminan sosial nasional (SJSN). Didalamnya terkandung pasal-pasal krusial yang mengingkari tujuan nasional dalam pembukaan UUD 1945. Melainkan hanya turunan dari pasal-pasal tambahan dalam UUD 1945.
Sejak awal, penyusunan Sistem Jaminan Sosial Nasional semangatnya telah bertentangan dengan konsep jaminan sosial yang SEJATI, dimana seharusnya negara bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan dari sistem jaminan sosial rakyat. SJSN yang dikembangkan di Indonesia, secara esensi merupakan model dari bisnis asuransi dengan mengambil atau mengutip sebagian dari upah pekerja. Dengan dalih untuk meringankan beban perusahaan, maka pekerja diharuskan untuk membayarkan sebagian dari premi jaminan sosial melalui upah mereka yang dipotong setiap bulan.
Kongkretnya, dalam pelaksanaan sistem jaminan sosial di Indonesia, negara tidak memiliki kontribusi apapun dalam penyediaan dana jaminan sosial. Semua dana jaminan sosial diambil dari hasil keringat pekerja di Indonesia yang dipotong secara langsung setiap bulannya. Pemerintah dalam hal ini hanya berperan dalam pembentukan Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS) melalui UU no 24 tahun 2011 yang akan mengelola semua dana jaminan sosial, dimana dalam implementasinya dibagi menjadi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
Pada hakekatnya mobilisasi dana yang dilakukan dengan dalih pelaksanaan jaminan sosial seperti saat ini, merupakan kedok pemerintah untuk mengambil dana publik secara paksa ditengah krisis ekonomi, maka mobilisasi dana publik menjadi salah satu upaya untuk mendapatkan dana segar dengan cuma-cuma yang dapat diinvestasikan dalam berbagai bentuk agar sistem ekonomi dapat terus berjalan.
Disinilah mengapa penting pemerintah mengumpulkan dana publik yang angkanya sangat fantastik. Hingga Februari 2015, dana pekerja yang dimobilisasi mencapai Rp 200 triliun lebih, yang didapat dari total peserja BPJS Ketenagakerjaan sejumlah 11.792.981 orang. Jumlah tersebut naik dari akhir 2014 yang angkanya mencapai Rp. 187,02 Triliun.
UU SJSN mewajibkan seluruh rakyat Indonesia menjadi peserta. Artinya, sekitar 245 juta penduduk Indonesia akan menjadi sasaran dari program ini. Ketika transformasi empat BUMN (Asabri, Taspen, Jamsostek dan Askes) dilakukan, dana yang terkumpul telah mencapai 153 triliun dengan dana kelolaan sebesar 150 triliun. Tepat 1 Januari 2014, BPJS kemudian resmi diberlakukan. Jika menggunakan asumsi seluruh penduduk Indonesia wajib menjadi peserta BPJS Kesehatan, maka akan ada sekitar 158 juta rakyat yang mengiur untuk BPJS Kesehatan, ini setelah dikurangi dengan 86,4 juta rakyat miskin Penerima Bantuan Iuran (PBI). Jika asumsinya menggunakan iuran untuk pelayanan kelas 3 sebesar Rp. 25,500 maka dana yang terkumpul bisa mencapai Rp. 4,020 triliun/bulan atau Rp. 48,34 triliun/tahun. Total dana jaminan kesehatan ini pada tahun ke-10 akan mencapai Rp. 483,40 triliun dan akan terus berkembang.
Didalam White Paper yang disusun oleh Kementerian Keuangan, ADB dan Mitchell Wiener – Spesialis Sektor Keuangan untuk Dana Pensiun Bank Dunia, dijelaskan bahwa Program Jaminan Hari Tua SJSN memiliki potensi untuk menghimpun dana aset dalam jumlah yang sangat besar. Dengan proyeksi besaran iuran JHT yaitu 3 persen dari upah, dimana total upah adalah 35 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), maka aset program JHT pada tahun ke-5 akan mencapai 5 persen dari PDB dan pada tahun ke-20 mencapai 17 persen dari PDB. Sebagai gambaran, PDB Indonesia pada tahun 2014 saja telah mencapai Rp. 10.542,7 triliun.
Pertanyaannya kemudian adalah, untuk apa dana yang sangat besar tersebut?
Pasal 47 (1) UU SJSN menyatakan; “Dana Jaminan Sosial wajib dikelola dan dikembangkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial secara optimal dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana dan hasil yang memadai”. Sedangkan Pasal 11b UU BPJS menyatakan; “menempatkan Dana Jaminan Sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, kemanan dana dan hasil yang memadai”.
Dari penelurusan dokumen-dokumen terkait lahirnya UU SJSN dan BPJS, nyatanya pihak asinglah yang banyak berperan bahkan menentukan, terutama ADB (Asian Development Bank). Hal itu berawal pasca krisis tahun 1997. Salah satu poin Letter of Intent (LoI) yang didektekan oleh IMF adalah liberalisasi sektor keuangan. Untuk itu dibuat banyak proyek utang baik dari IMF, Bank Dunia dan ADB.
Kisah SJSN dimulai dari ide untuk mereformasi sektor keuangan. Lalu pada tahun 1998 dibuat proyek utang Loan 1618-INO senilai US$ 1,4 milyar dari ADB yaitu Financial Governance Reforms: Sector Development Program – FGRSDP- (dokumen ADB PCR: INO 31660). FGRSDP merupakan bagian integral dari paket penyelamatan IMF pada akhir 1997. FGRSDP fokus membantu restrukturisasi sektor perbankan dan perbaikan alokasi sumberdaya finansial dan sektor publik dengan penguatan tata kelola, peningkatan transparansi informasi keuangan dan penguatan kerangka legal dan regulasi sektor keuangan.
Untuk itu, mari kita runut satu-persatu bagaimana sistem jaminan sosial menjadi isu penting, setidaknya sejak krisis global tahun 1997. Sudah menjadi pemahaman umum bahwa resep yang dipakai oleh Indonesia menangani krisis adalah resepnya IMF dan lembaga kreditor lainya. Resep yang ditawarkan yang paling utama adalah adanya liberalisasi di segala bidang melalui skema deregulasi dan SAP (structural adjustment program). Sedemikian membiusnya resep tersebut sehingga liberalisasi menjadi tema utama dari semua proses ekonomi-politik Indonesia sejak reformasi. Liberalisasi menemukan lahannya dalam suasana euforia bangsa ini setalah lepas dari tekanan orde baru.
Lahirnya SJSN dimulai dari ide untuk mereformasi sektor keuangan. Tahun 1998, asian development bank (ADB) mengeluarkan dokumen “Technical Assistance to the Republic of Indonesia for the Reform of Pension and Provident Funds”, yang menganjurkan adanya reformasi (liberalisasi) dalam pengelolaan dana pensiun atau jaminan hari tua.
Dalam perubahan kedua UUD 1945 ( tahun 2000) ditambahkan pasal antara lain pasal 28H (3), berbunyi: “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”. Pada perubahan ketiga ( tahun 2001) ditambah lagi pasal 23A: “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Dalam perubahan keempat (2002) pada pasal 34 ditambahkan ayat (2): “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Sedangkan Ayat (3) dan (4) dari pasal ini menjelaskan bahwa negara bertanggungjawab dan diatur dengan undang-undang.
Perubahan atau penambahan pasal-pasal dalam konstitusi diatas bukan tanpa maksud dan tujuan. Pasal-pasal dan ayat-ayat yang dicontohkan harus dimaknai sebagai respon atas arahan dari resep yang ditawarkan oleh IMF dan “kawan-kawannya”. Inilah hidden agenda dari amandeman UUD 1945. Maka, mereka pun seolah menemukan landasan konstitusionalnya. Skenario ini menemukan kesesuaiannya dalam proses selanjutnya.
Pada tahun 2002, ADB berdasarkan pada Report and Recommendation of the President to the Board of Directors on a Proposed Loan to the Republic of Indonesia for Financial Governance and Social Security Reform Program (Laporan dan Rekomendasi Presiden kepada Dewan Direksi pada Usulan Pinjaman untuk Republik Indonesia untuk Kelola Keuangan dan Program Keamanan Reformasi Sosial), mengeluarkan dokumen Technical Assistance to the Republic of Indonesia for Financial Governance and Social Security Reform. Dokumen itu mendorong adanya reformasi dalam pengelolaan keuangan negara dan jaminan sosial. Secara rinci ADB memberikan rekomendasi dan arahan-arahan bagi pemerintah maupun parlemen. Berbagai upaya dilakukan oleh ADB, bahkan dengan menggerlontorkan dana mencapai US$ 250 juta untuk mendukung lahirnya sistem jaminan sosial nasional di Indonesia.
Kelanjutannya, pada tahun 2000, diera pemerintahan Abdurrahman Wahid kemudian mulai mengusung gagasan tentang sistem jaminan sosial nasional. Hal ini tidak juga tak lepas dari tekanan negara-negara imperialis yang saat itu mengkritik Indonesia sebagai “negara tanpa jaminan sosial”. Proses penyusunan dan pembahasan atas RUU SJSN ini dilanjutkan pada masa kepemimpinan Megawati. Akhirnya, pada tahun 2004 di akhir masa pemeritnahan Megawati, lahir dan di sahkan nya UU Nomor 40 tahun 2004 tentang sistem jaminan sosial nasional (SJSN). Didalamnya terkandung pasal-pasal krusial yang mengingkari tujuan nasional dalam pembukaan UUD 1945. Melainkan hanya turunan dari pasal-pasal tambahan dalam UUD 1945.
Sejak awal, penyusunan Sistem Jaminan Sosial Nasional semangatnya telah bertentangan dengan konsep jaminan sosial yang SEJATI, dimana seharusnya negara bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan dari sistem jaminan sosial rakyat. SJSN yang dikembangkan di Indonesia, secara esensi merupakan model dari bisnis asuransi dengan mengambil atau mengutip sebagian dari upah pekerja. Dengan dalih untuk meringankan beban perusahaan, maka pekerja diharuskan untuk membayarkan sebagian dari premi jaminan sosial melalui upah mereka yang dipotong setiap bulan.
Kongkretnya, dalam pelaksanaan sistem jaminan sosial di Indonesia, negara tidak memiliki kontribusi apapun dalam penyediaan dana jaminan sosial. Semua dana jaminan sosial diambil dari hasil keringat pekerja di Indonesia yang dipotong secara langsung setiap bulannya. Pemerintah dalam hal ini hanya berperan dalam pembentukan Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS) melalui UU no 24 tahun 2011 yang akan mengelola semua dana jaminan sosial, dimana dalam implementasinya dibagi menjadi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
Pada hakekatnya mobilisasi dana yang dilakukan dengan dalih pelaksanaan jaminan sosial seperti saat ini, merupakan kedok pemerintah untuk mengambil dana publik secara paksa ditengah krisis ekonomi, maka mobilisasi dana publik menjadi salah satu upaya untuk mendapatkan dana segar dengan cuma-cuma yang dapat diinvestasikan dalam berbagai bentuk agar sistem ekonomi dapat terus berjalan.
Disinilah mengapa penting pemerintah mengumpulkan dana publik yang angkanya sangat fantastik. Hingga Februari 2015, dana pekerja yang dimobilisasi mencapai Rp 200 triliun lebih, yang didapat dari total peserja BPJS Ketenagakerjaan sejumlah 11.792.981 orang. Jumlah tersebut naik dari akhir 2014 yang angkanya mencapai Rp. 187,02 Triliun.
UU SJSN mewajibkan seluruh rakyat Indonesia menjadi peserta. Artinya, sekitar 245 juta penduduk Indonesia akan menjadi sasaran dari program ini. Ketika transformasi empat BUMN (Asabri, Taspen, Jamsostek dan Askes) dilakukan, dana yang terkumpul telah mencapai 153 triliun dengan dana kelolaan sebesar 150 triliun. Tepat 1 Januari 2014, BPJS kemudian resmi diberlakukan. Jika menggunakan asumsi seluruh penduduk Indonesia wajib menjadi peserta BPJS Kesehatan, maka akan ada sekitar 158 juta rakyat yang mengiur untuk BPJS Kesehatan, ini setelah dikurangi dengan 86,4 juta rakyat miskin Penerima Bantuan Iuran (PBI). Jika asumsinya menggunakan iuran untuk pelayanan kelas 3 sebesar Rp. 25,500 maka dana yang terkumpul bisa mencapai Rp. 4,020 triliun/bulan atau Rp. 48,34 triliun/tahun. Total dana jaminan kesehatan ini pada tahun ke-10 akan mencapai Rp. 483,40 triliun dan akan terus berkembang.
Didalam White Paper yang disusun oleh Kementerian Keuangan, ADB dan Mitchell Wiener – Spesialis Sektor Keuangan untuk Dana Pensiun Bank Dunia, dijelaskan bahwa Program Jaminan Hari Tua SJSN memiliki potensi untuk menghimpun dana aset dalam jumlah yang sangat besar. Dengan proyeksi besaran iuran JHT yaitu 3 persen dari upah, dimana total upah adalah 35 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), maka aset program JHT pada tahun ke-5 akan mencapai 5 persen dari PDB dan pada tahun ke-20 mencapai 17 persen dari PDB. Sebagai gambaran, PDB Indonesia pada tahun 2014 saja telah mencapai Rp. 10.542,7 triliun.
Pertanyaannya kemudian adalah, untuk apa dana yang sangat besar tersebut?