Program Normalisasi Kali Dan Penggusuran Paksa tidak Mewakili Kepentingan Rakyat Jakarta
Penggusuran terhadap warga Kp. Pulo dan perkampungan-perkampungan miskin lainnya di ibukota, disertai dengan pendekataan koersif (kekerasa...
https://www.infogsbi.or.id/2015/08/program-normalisasi-kali-dan.html?m=0
Penggusuran terhadap warga Kp. Pulo dan perkampungan-perkampungan miskin lainnya di ibukota, disertai dengan pendekataan koersif (kekerasan) oleh pemerintahan provinsi (Pemprov) DKI Jakarta pimpinan Basuki Tjahaya Purnama (AHOK) adalah sebuah tindakan tidak manusiawi.
Berdasarkan temuan Forum Warga Jakarta (FAKTA), di tahun 2014 saja Pemprov DKI telah menggusur 3.751 keluarga yang mengakibatkan 3.513 bangunan hancur dan 13.852 jiwa kehilangan tempat. Sementara penggusuran yang dialami warga Kp. Pulo telah mengakibatkan 910 KK dari 3 RW dan 27 RT, kehilangan tempat tinggal.
Pemprov DKI juga melakukan pendekataan koersif dengan mengerahkan aparat satpol PP, Polri dan TNI. Koalisi Masyarakat Sipil mencatat bahwa adal 17 penggusuran yang dilakukan Pemprov DKI yang melibatkan unsur TNI. AHOK sendiri telah menggelontorkan dana Rp. 30 miliar dari APBD DKI Jakarta 2015 kepada Kostrad untuk terlibat di dalam penanganan keamanan ibukota.
Penggusuran mengakibatkan rakyat kehilangan tempat tinggal dan kerugiaan materiil, penggusuran juga mengakibatkan masyarakat kehilangan atau sulit memperoleh mata pencaharian dan membengkaknya biaya kebutuhan hidup (keperluan sekolah anak, kesehatan, transportasi, dll). Sementara mayoritas korban penggusuran tidak mendapatkan ganti rugi. Kekerasan yang digunakan dalam proses penggusuran telah mengakibatkan warga sipil menjadi korban luka-luka dan menyisakan trauma khususnya kepada kaum perempuan dan anak-anak.
Penggusuran terhadap rakyat miskin ini berdalih untuk mengatasi banjir melalui program Normalisasi Kali. Pertanyaannya, apakah warga miskin yang menempati daerah bantaran kali—yang disebut AHOK sebagai “penduduk liar’’—menjadi penyebab utama di ibukota?
Jakarta secara alami adalah daerah landai yang rentan terhadap banjir dari Bogor dan Teluk Jakarta (banjir rob). Dibutuhkan banyak wilayah resapan air dan ruang terbuka hijau. Tetapi sejak masa Orde Baru Soeharto, Negara banyak menyalahgunakan peruntukkan lahan untuk dibangun menjadi perumahan-perumahan mewah, pusat-pusat perbelanjaan modern, kawasan industri dan area komersil lainnya sampai saat ini.
Setidaknya 3. 897 Ha lahan serapan air telah dialihfungsikan untuk kepentingan investasi, yaitu 1.288 Ha wilayah serapan air dan pesawahan di Kelapa Gading, 831 Ha Hutan Lindung di Pantai Kapuk, 1.459 ha area serapan air di Sunter, 279 Ha Hutan Kota Senayan, dan 70 Ha Hutan Kota Tomang. Inilah penyebab utama banjir di ibukota, yang disertai pencemaran sungai dan penumpukan sampah.
Rakyat yang tergusur selama ini adalah korban pembangunan sejak era Soeharto. Mereka adalah suku bangsa Betawi sebagai penduduk asli dan warga pendatang. Penduduk asli terpaksa menempati wilayah pinggiran atau bantaran kali, karena tanahnya tergusur untuk kepentingan pembangunan. Tanah-tanah yang ditempati juga merupakan hasil turun temurun, bahkan telah ditempati sejak republik ini belum berdiri. Ini dibuktikan dengan adanya kepemilikan tanah berupa Verponding dan girik. Sementara warga pendatang adalah korban dari perampasan tanah di pedesaan yang mengakibatkan mereka kehilangan sumber penghidupan dan terpaksa menyambung hidup di ibukota.
Mayoritas korban penggusuran hanyalah buruh pabrik, pekerja serabutan, pedagang kecil dengan pendapatan terbatas atau pas-pasan. Keadaan ini yang memaksa korban penggusuran hanya bisa menempati tanah-tanah atau tempat tinggal di wilayah bantaran kali. Korban penggusuran tidak memiliki kesanggupuan untuk menempati perumahan mewah atau apartemen megah yang gencar dikembangkan AHOK saat ini.
Program Normalisasi Kali tidak mewakili kepentingan rakyat sama sekali. Program ini mewakili kepentingan modal internasional dan pebisnis sektor properti. Program Normalisasi Kali Ciliwung didanai Bank Dunia sebesar 150.000 dollar AS. Program normalisasi kali juga berhubungan dengan rencana MP3EI terkait pembangunan tanggul raksasa Garuda (Giant Sea Wall) senilai Rp. 600.000 triliun, yang akan dikembangkan juga sebagai kawasan komersil dengan mengeruk Teluk Jakarta.
Diadakannya rumah susun sewa (Rusunawa) bukanlah SOLUSI bagi korban penggusuran. Pertama, korban penggusuran tidak memilik hak kepemilikan atas rusun. Kedua, beban biaya untuk sewa dan berbagai biaya tambahan lainnya. Ketiga, rakyat tidak memiliki jaminan untuk memperbaiki taraf ekonominya. Keempat, rusunawa tidak memilik daya tampung yang memadai. Rakyat yang digusur umumnya melebihi 1 kepala keluarga (KK), akan tetapi Rusunawa hanya disediakan bagi 1 KK. Kelima, Rusunawa akan mengakibatkan rakyat kehilangan ikatan sosial dengan alam dan sesama masyarakat.
Negara-lah yang bersalah atas masalah banjir karena membiarkan pelanggaran atas peruntukkan lahan di ibukota. Negara sejak awal tidak mengurus secara baik penanganan terhadap rakyat yang menempati daerah bantaran kali dan hanya menjadikan warga sebagai alat perasan untuk membayar pajak, keperluan administrasi lainnya dan kepentingan politik tertentu. Tindakan penggusuran yang dilakukan juga telah melenyapkan hak rakyat atas hidup dan penghidupan yang seharusnya dijamin oleh Negara.
Kekerasan dan pengerahan aparat bersenjata dalam penggusuran, disertai upaya memutarbalikkan informasi melalui media massa dalam penggusuran yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta, adalah bukti watak fasis dari Negara—khususnya Gubernur DKI Jakarta AHOK—terhadap warga ibukota. Hal yang serupa diterapkan terhadap kaum tani yang mempertahankan tanah, kaum buruh yang memperjuangkan tuntutannya dan seluruh perjuangan rakyat untuk membela dan mempertahakan kepentingannya.
Penggusuran terhadap rakyat telah melanggar hak atas tempat tinggal yang dijamin Pasal 28H Ayat 1 UUD 1945, UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman, UU No.39 tentang HAM, UU No.11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekosob dan Deklarasi Universal HAM (DUHAM). (red.2015)#
Berdasarkan temuan Forum Warga Jakarta (FAKTA), di tahun 2014 saja Pemprov DKI telah menggusur 3.751 keluarga yang mengakibatkan 3.513 bangunan hancur dan 13.852 jiwa kehilangan tempat. Sementara penggusuran yang dialami warga Kp. Pulo telah mengakibatkan 910 KK dari 3 RW dan 27 RT, kehilangan tempat tinggal.
Pemprov DKI juga melakukan pendekataan koersif dengan mengerahkan aparat satpol PP, Polri dan TNI. Koalisi Masyarakat Sipil mencatat bahwa adal 17 penggusuran yang dilakukan Pemprov DKI yang melibatkan unsur TNI. AHOK sendiri telah menggelontorkan dana Rp. 30 miliar dari APBD DKI Jakarta 2015 kepada Kostrad untuk terlibat di dalam penanganan keamanan ibukota.
Penggusuran mengakibatkan rakyat kehilangan tempat tinggal dan kerugiaan materiil, penggusuran juga mengakibatkan masyarakat kehilangan atau sulit memperoleh mata pencaharian dan membengkaknya biaya kebutuhan hidup (keperluan sekolah anak, kesehatan, transportasi, dll). Sementara mayoritas korban penggusuran tidak mendapatkan ganti rugi. Kekerasan yang digunakan dalam proses penggusuran telah mengakibatkan warga sipil menjadi korban luka-luka dan menyisakan trauma khususnya kepada kaum perempuan dan anak-anak.
Penggusuran terhadap rakyat miskin ini berdalih untuk mengatasi banjir melalui program Normalisasi Kali. Pertanyaannya, apakah warga miskin yang menempati daerah bantaran kali—yang disebut AHOK sebagai “penduduk liar’’—menjadi penyebab utama di ibukota?
Jakarta secara alami adalah daerah landai yang rentan terhadap banjir dari Bogor dan Teluk Jakarta (banjir rob). Dibutuhkan banyak wilayah resapan air dan ruang terbuka hijau. Tetapi sejak masa Orde Baru Soeharto, Negara banyak menyalahgunakan peruntukkan lahan untuk dibangun menjadi perumahan-perumahan mewah, pusat-pusat perbelanjaan modern, kawasan industri dan area komersil lainnya sampai saat ini.
Setidaknya 3. 897 Ha lahan serapan air telah dialihfungsikan untuk kepentingan investasi, yaitu 1.288 Ha wilayah serapan air dan pesawahan di Kelapa Gading, 831 Ha Hutan Lindung di Pantai Kapuk, 1.459 ha area serapan air di Sunter, 279 Ha Hutan Kota Senayan, dan 70 Ha Hutan Kota Tomang. Inilah penyebab utama banjir di ibukota, yang disertai pencemaran sungai dan penumpukan sampah.
Rakyat yang tergusur selama ini adalah korban pembangunan sejak era Soeharto. Mereka adalah suku bangsa Betawi sebagai penduduk asli dan warga pendatang. Penduduk asli terpaksa menempati wilayah pinggiran atau bantaran kali, karena tanahnya tergusur untuk kepentingan pembangunan. Tanah-tanah yang ditempati juga merupakan hasil turun temurun, bahkan telah ditempati sejak republik ini belum berdiri. Ini dibuktikan dengan adanya kepemilikan tanah berupa Verponding dan girik. Sementara warga pendatang adalah korban dari perampasan tanah di pedesaan yang mengakibatkan mereka kehilangan sumber penghidupan dan terpaksa menyambung hidup di ibukota.
Mayoritas korban penggusuran hanyalah buruh pabrik, pekerja serabutan, pedagang kecil dengan pendapatan terbatas atau pas-pasan. Keadaan ini yang memaksa korban penggusuran hanya bisa menempati tanah-tanah atau tempat tinggal di wilayah bantaran kali. Korban penggusuran tidak memiliki kesanggupuan untuk menempati perumahan mewah atau apartemen megah yang gencar dikembangkan AHOK saat ini.
Program Normalisasi Kali tidak mewakili kepentingan rakyat sama sekali. Program ini mewakili kepentingan modal internasional dan pebisnis sektor properti. Program Normalisasi Kali Ciliwung didanai Bank Dunia sebesar 150.000 dollar AS. Program normalisasi kali juga berhubungan dengan rencana MP3EI terkait pembangunan tanggul raksasa Garuda (Giant Sea Wall) senilai Rp. 600.000 triliun, yang akan dikembangkan juga sebagai kawasan komersil dengan mengeruk Teluk Jakarta.
Diadakannya rumah susun sewa (Rusunawa) bukanlah SOLUSI bagi korban penggusuran. Pertama, korban penggusuran tidak memilik hak kepemilikan atas rusun. Kedua, beban biaya untuk sewa dan berbagai biaya tambahan lainnya. Ketiga, rakyat tidak memiliki jaminan untuk memperbaiki taraf ekonominya. Keempat, rusunawa tidak memilik daya tampung yang memadai. Rakyat yang digusur umumnya melebihi 1 kepala keluarga (KK), akan tetapi Rusunawa hanya disediakan bagi 1 KK. Kelima, Rusunawa akan mengakibatkan rakyat kehilangan ikatan sosial dengan alam dan sesama masyarakat.
Negara-lah yang bersalah atas masalah banjir karena membiarkan pelanggaran atas peruntukkan lahan di ibukota. Negara sejak awal tidak mengurus secara baik penanganan terhadap rakyat yang menempati daerah bantaran kali dan hanya menjadikan warga sebagai alat perasan untuk membayar pajak, keperluan administrasi lainnya dan kepentingan politik tertentu. Tindakan penggusuran yang dilakukan juga telah melenyapkan hak rakyat atas hidup dan penghidupan yang seharusnya dijamin oleh Negara.
Kekerasan dan pengerahan aparat bersenjata dalam penggusuran, disertai upaya memutarbalikkan informasi melalui media massa dalam penggusuran yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta, adalah bukti watak fasis dari Negara—khususnya Gubernur DKI Jakarta AHOK—terhadap warga ibukota. Hal yang serupa diterapkan terhadap kaum tani yang mempertahankan tanah, kaum buruh yang memperjuangkan tuntutannya dan seluruh perjuangan rakyat untuk membela dan mempertahakan kepentingannya.
Penggusuran terhadap rakyat telah melanggar hak atas tempat tinggal yang dijamin Pasal 28H Ayat 1 UUD 1945, UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman, UU No.39 tentang HAM, UU No.11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekosob dan Deklarasi Universal HAM (DUHAM). (red.2015)#