Gerakan Serikat Buruh Sejati Melawan Union Busting dan Kriminalisasi Buruh
Gerakan Serikat Buruh Sejati Melawan Union Busting dan Kriminalisasi Buruh [1] oleh : Ismet Inoni [2] Pengantar Tanpa teras...
https://www.infogsbi.or.id/2015/09/gerakan-serikat-buruh-sejati-melawan.html
Gerakan
Serikat Buruh Sejati Melawan Union Busting
oleh : Ismet Inoni[2]
Tanpa terasa, sudah
14 (empat belas) tahun Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh diundangkan atau disahkan. Tentu ini bukanlah waktu yang
singkat, selama empat belas tahun sejak reformasi bergulir tidak banyak aturan
perburuhan yang berpihak kepada kepentingan klas buruh diciptakan oleh penguasa
di negeri ini.
Hingga tahun ke-14
sejak disahkan, kehadiran UU No 21 tahun 2000 belum memiliki peranan yang kuat
dalam menjamin dijalankannya kebebasan berserikat yang menjadi salah satu
masalah pokok bagi buruh di Indonesia.
Undang-undang ini
sendiri lahir sesungguhnya bukan karena rejim yang berkuasa pada saat itu secara
sukarela membela kepentingan klas buruh, namun krisis politik dan tekanan dari
gerakan rakyat termasuk buruh didalamnya, sehingga dengan sangat terpaksa rejim
yang berkuasa pada akhirnya melakukan ratifikasi terhadap Konvensi ILO No. 87
Tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi yang dilakukan berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun 1998 tanggal 5 Juni 1998.
Kebijakan diatas menyusul
ratifikasi Konvensi ILO No. 98 tentang Penerapan Azas-azas Hak untuk
Berorganisasi dan Berunding Bersama, melalui Undang-Undang No. 18 tahun 1956,
tentang Persetujuan Konvensi ILO No. 98 mengenai berlakunya dasar-dasar daripada
hak untuk berorganisasi dan untuk berunding bersama.
Maka atas kelanjutan
ratifikasi tersebut, negara Indonesia wajib menurunkannya dalam sebuah hukum
nasional yaitu Undang-Undang No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat
Buruh yang berlaku hingga hari ini.
Empat belas tahun
paska disahkannya Undang-Undang 21/2000, keadaan kebebasan berserikat di
Indonesia belum banyak berubah. Hal ini tentu bukan sekedar retorika semata,
akan tetapi faktanya dapat kita rasakan bersama, bahwa sejak tahun 2000 baru terdapat
satu kasus pemberangusan serikat buruh yang dibawa ke pengadilan, dimana
pelakunya dijatuhi hukuman oleh pengadilan yaitu kasus pemberangusan serikat
buruh di PT King Jim Indonesia di Jawa Timur.
Pemberangusan Serikat buruh makin Massif
Paska reformasi tahun 1998 serikat-serikat buruh memang tumbuh subur di
Indonesia. Saat ini setidaknya ada 86 (delapan puluh enam) serikat buruh
tingkat nasional, yang terbagi dalam 3 (tiga) konfederasi nasional yaitu KSPSI,
KSPI dan KSBSI. Sementara sebagian lainnya tetap berdiri sebagai federasi serikat
buruh, belum lagi serikat-serikat buruh independen yang berada di pabrik-pabrik,
ribuan jumlahnya dalam bentuk serikat buruh tingkat pabrik (SBTP).
Lahirnya serikat-serikat buruh tersebut tentu bukan ukuran utama bahwa
kebebasan berserikat di Indonesia sudah dijalankan dan dijamin pelaksanaannya
oleh pemerintah. UU No 21/2000 memang mempermudah secara administratif
syarat-syarat bagi berdirinya Serikat Buruh ditingkat pabrik. Namun dibalik
kemudahan ini justru memberikan peluang bagi pengusaha untuk melakukan praktek
pemberangusan serikat. Apabila buruh mendirikan serikat buruh dengan hanya
berpatokan pada syarat minimum seperti diatur UU 21/2000, maka pengusaha akan
lebih mudah menyingkirkan mereka karena secara kuantitas jumlahnya sedikit. Pun
demikian, ketika serikat buruh berdiri dengan jumlah anggota yang besar
sekalipun, pengusaha dapat dengan segera membentuk serikat buruh tandingan
untuk menggerogoti keberadaan serikat buruh yang konsisten berjuang di pabrik.
Sehingga, bagi SB Sejati harus tetap mempunyai strategi yang tepat dalam
membangun organisasinya untuk menghadapi pemberangusan serikat buruh.
Pemberangusan serikat buruh, dalam kenyataannya tidak berdiri sendiri,
melainkan ditopang oleh kebijakan lainnya. Skema kebijakan yang melegalkan perjanjian
kerja jangka pendek (kontrak dan outsourcing) adalah salah satu praktek atau
modus yang digunakan dalam pemberangusan serikat buruh. Pemberangusan serikat
buruh adalah suatu praktek dimana pengusaha berusaha untuk menghentikan atau
menghalang-halangi aktifitas dan fungsi dasar serikat buruh di lingkungan kerja
perusahaannya. Upaya tersebut memiliki bentuk yang bermacam-macam dengan menggunakan
berbagai macam cara maupun alasan. Sistem kerja kontrak jangka pendek dan
outsourcing terbukti menjadi sarana efektif bagi pengusaha untuk menekan buruh
agar tidak terlibat aktif dalam serikat. Syarat-syarat kerja yang demikian
menciptakan sebuah ketakutan yang besar bagi buruh, melahirkan apatisme buruh
untuk berorganisasi yang seharusnya menjadi hak dasarnya. Hingga hari ini, praktek
pemberangusan serikat buruh justru semakin massif karena ada kecenderungan
pembiaran yang dilakukan oleh pemerintah dan atau instansi yang seharusnya
mempunyai peran untuk menjaga dan melakukan pengawasan atas pelaksanaan hak
berserikat bagi buruh Indonesia.
Secara umum, pemberangusan
serikat buruh dilakukan dengan cara: perusahaan dan pengusaha berupaya menghalang-halangi
buruhnya untuk membentuk dan atau mendirikan atau bergabung dengan serikat
buruh. Tentu tindakan ini dilakukan agar perusahaan bebas melakukan eksploitasi
tanpa adanya pengawasan dari serikat buruh dilingkungan perusahaannya. Selanjutnya
berusaha melemahkan kekuatan serikat buruh yang telah ada dengan cara
memberikan sanksi kepada pimpinan dan anggota serikat, intimidasi dan tindakan
diskriminatif atau bahkan menawarkan kompensasi dan atau jabatan tertentu
kepada pimpinan serikat.
Praktek lain dari
pada pemberangusan serikat buruh dan berunding bersama adalah: kriminalisasi
pemimpin dan anggota aktif serikat, pemutusan kontrak kerja, pemecatan pimpinan
dan anggota yang aktif dalam kegiatan serikat, keterlibatan aparat keamanan dan
bahkan tindakan premanisme dalam menghambat serikat buruh, Penghalangan lain
dalam praktek pembengusan serikat adalah; meningkatkan target produksi (sistem
target), waktu kerja yang panjang, bahkan tekanan kepada keluarga bisa berupa
orang tua, istri dan atau suami. Dalam laporannya,
Komite Solidaritas Nasional (KSN) mencatat setidaknya ada 24 (dua puluh empat) pola
pemberangusan serikat buruh (union busting).[3].
Di Jabodetabek saja, dari data yang dirilis oleh
LBH Jakarta, angka kasus pemberangusan serikat buruh terus meningkat setiap
tahunnya. Pada tahun 2008,
LBH Jakarta mencatat dua kasus pelanggaran kebebasan berserikat. Tahun
berikutnya meningkat menjadi enam kasus. Lalu tahun 2010 ada 7 kasus dan 2011
meroket jadi 11 kasus.[4] Sedangkan untuk
tahun 2012 tercatat ada 10 kasus laporan pemberangusan serikat. Jumlah ini
tentu masih akan bertambah jika diakumulasi dengan berbagai kasus yang terjadi
di kota-kota lain yang belum terdokumentasikan.
Berbagai
Bentuk Pelanggaran Kebebasan Berserikat
|
|
Tahun
|
Bentuk
Pelanggaran
|
2009
|
§
Menghalang-halangi
pendirian serikat pekerja
§
Menolak
ajakan berunding
§
Kriminalisasi
§
Mutasi
|
2010
|
§
Mutasi
§
PHK
§
Kriminalisasi
§
Surat
peringatan
|
2011
|
§
Mutasi
§
PHK
pengurus dan anggota
§
Skorsing
§
Mengingkari
keabsahan SP
§
Kriminalisasi
|
Sumber:
LBH Jakarta
|
Kriminalisasi: Shock Terapi Pengusaha Kepada Klas Buruh Indonesia
Dari Maret 2012 hingga awal Mei 2014 Gabungan
Serikat Buruh Independen (GSBI) mencatat bahwa Kriminalisasi terhadap pimpinan
maupun anggota serikat buruh semakin marak terjadi kalangan serikat buruh di
Indonesia. Kriminalisasi yang dihadapi oleh serikat buruh adalah salah satu
faktor yang menghantui gerakan buruh saat ini dimana strategi para pengusaha
sering kali dialami oleh serikat buruh yang benar-benar berjuang bagi
kesejahteraan anggotanya untuk memecah konsentrasi gerakan serikat buruh agar
tidak fokus terhadap program perjuangan dan tuntutan serikat buruh.
GSBI dalam periode tersebut telah melakukan
advokasi atas beberapa kasus kriminalisasi, baik yang terjadi terhadap Pimpinan
Tingkat Perusahaan (PTP), Kordinator Lapangan (Korlap) maupun anggota serikat buruh yang aktif dalam
berbagai kegiatan serikat buruh. Pada bulan Maret 2012, salah satu Korlap
SBGTS-GSBI PT. Panarub Industry Tangerang, Sdr. Sartono bin Karsoprawiro dikriminalisasikan
oleh salah satu pimpinan manajemen dikarenakan menegur pimpinan perusahaan yang
berbuat salah, mengambil paksa kartu absensi terhadap buruh PT. Panarub
Industry. Tindakan Sartono yang menegur pimpinan ini dilaporkan oleh Ibu Desi Yusipa ke Polsek Karawaci Kota Tangerang dengan tuduhan melanggar pasal 335 KUHP perbuatan
tidak menyenangkan subsider
pasal 311. Paska proses pemeriksaan di kepolisian, Sartono langsung dibawa ke kantor Kejaksaan Negeri Tangerang dan sempat menjadi tahanan
kejaksaan untuk selanjutnya dibawa ke LP Pemuda Tangerang, dititipkan selama 20 hari disana. Namun
berkat perjuangan serikat buruh yang militan, Sartono dapat dibebaskan dan
lepas dari segala tuntutan hingga akhirnya kasus ini ditutup.
Sementara itu di
Sukabumi, Sdr. Syahrudin bin Zarkasih, Ketua umum SPTP PT. Afixkogyo
Indonesia yang berkedudukan di Jl. Tenjoayu No. 47
Kecamatan Cicurug Kabupaten Sukabumi Jawa Barat 43359, dilaporkan ke pihak
kepolisian dengan dugaan penganiayaan terhadap pengurus koperasi perusahaan.
Kasus ini sempat bergulir dipengadilan hingga putusan, dimana putusan
pengadilan menyatakan bahwa Sdr. Syahrudin bin Zarkasih bersalah dan mendapat
hukuman percobaan, atas putusan tersebut Sdr. Syahrudin dan kuasa hukumnya
menyatakan banding.
Selanjutnya, di
Tangerang, PT. Panarub Dwikarya (Panarub Group) juga melakukan kriminaslisasi
terhadap Sdri. Omih binti Saanen, salah satu koordinator lapangan SBGTS-GSBI
PT. Panarub Dwikarya yang memproduksi sepatu merk Adidas, Mizuno dan Specs.
Omih demikian biasa disapa, meluapkan kekecewaannya karena tuntutan perbaikan
kondisi kerja pabriknya tidak kunjung di realisasikan oleh perusahaan dengan
mengirimkan pesan singkat (SMS) berupa ancaman bom kepada pimpinan perusahaan
dan temannya yang berada di dalam pabrik dengan isi sms; “hati-hati yang
didalam, malam ini sedang dirakit bom, besok akan diledakkan“. Atas tindakan
ini Omih dilaporkan dan ditahan oleh
Polresta Tangerang pada 30 September 2012, dipindahkan ke LP wanita Kota
Tangerang sebagai tahanan titipan pada 1 Oktober 2012. Atas tindakannya, Omih
disangkakan pasal 336 KUHP dan pasal 45 ayat 1 junto 27 dan ayat 4 Undang-undang
nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan ancaman
maksimal 6 tahun kurungan penjara. Bahkan dalam kasus ini, Omih binti Saanen
sempat mendekam dipenjara wanita Tangerang sebagai tahanan titipan Polresta
Tangerang selama 5 hari. Akan tetapi, berkat perjuangan dan dukungan yang luas
akhirnya kasus Sdri Omih ini dimenangkan dan dibebaskan dari tahanan.
Masih dari
Tangerang, proses pemogokan yang dilaksanakan oleh SBGTS-GSBI PT. Mega Indotex
Raya dengan tuntutan pelaksanaan UMSK Kab. Tangerang untuk golongan III (sektor
jasa), pelaksanaan nota pemeriksaan terkait pelanggaran penggunaan tenaga kerja
PKWT menjadi PKWTT (buruh tetap) berujung pada kriminalisasi. Perusahaan jasa
yang bergerak di bidang pencelupan dan pewarnaan tekstil ini malah melaporkan
salah satu pimpinan SBGTS-GSBI PT. MIR yaitu Sdr. Apriyanto dengan tuduhan
tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan sebagaimana dimaksud pasal 335 KUHP.
Sementara itu, kriminalisasi
buruh khususnya yang aktif dalam keanggotaan dan kegiatan serikat buruh juga
terjadi di Kabupaten Karawang. Adalah Sdri. Desi Suciandini Bachtiar, Sdri.
Rita Fatmawati, Sdr. Sakimin dan Sdr. Odim yang semuanya adalah buruh PT Beesco
Indonesia sempat diperiksa kepolisian resort Karawang atas laporan General
Managernya. Pelaporan ini didasarkan hanya karena para buruh tersebut menuliskan
komentar mereka di jejaring sosial Facebook yang dianggap menghinanya. Bahkan
menurut pihak kepolisian kemungkinan akan lebih banyak buruh yang akan
diperiksa dalam kasus ini.
Sebelumnya, keempat
buruh tersebut aktif dan mengikuti pemogokan yang terjadi dilingkungan kerja PT
Beesco Indonesia. Pemogokan dilakukan buruh pada tanggal 23-27 September 2013 yang
lalu. Aksi mogok buruh tersebut sebagai akibat gagalnya perundingan dan
pelanggaran atas hak-hak normatif buruh dilingkungan kerja PT. Beesco
Indonesia. Sehingga tidak salah kalau kemudian para buruh meyakini bahwa
kriminalisasi ini adalah tindakan balasan dari pihak perusahaan atas pemogokan
para buruh.
Selanjutnya, diawal
tahun 2014 juga terjadi kembali kriminalisasi kepada buruh yang aktif dalam
kegiatan serikat buruh yaitu Sdr. Muhammad Sudrajat yang bekerja di PT. Panarub
Industry. M Sudrajat dilaporkan pihak perusahaan dengan tuduhan melakukan
pencurian. Pada tanggal 24
April 2014, M Sudrajat mendapat surat
panggilan kedua dari Polresta Tangerang, dengan didampingi oleh kuasa hukumnya
dari LBH Jakarta dan DPP GSBI, dimana dalam panggilan ini Sdr. Muhammad
Sudrajat sudah diperiksa dan membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Paska
pemeriksaan pihak penyidik menyatakan akan menahan M. Sudrajat, karna barang
bukti serta keterangan dari saksi sudah didapat oleh pihak kepolisian. Namun
penahanan ini dapat ditangguhkan setelah dinegosiasikan oleh tim kuasa hukum. Padahal
beberapa hari sebelumnya kasus ini sudah sempat diperiksa oleh polsek Karawaci,
tetapi dikembalikan kepada pihak perusahaan karena dianggap bahwa ini adalah
masalah ketenagakerjaan dan soal prosedural di tempat kerja.
Masih di Tangerang, adalah Sdr. Syarif salah satu
pimpinan SBGTS-GSBI PT. Shinta Group juga dilaporkan kepada kepolisian dengan sangkaan
dan tuduhan penggelapan oleh pihak perusahaan, dimana proses kasus ini masih
berada di pihak kepolisian.[5]
Dari uraian
kriminalisasi tersebut diatas, dalam menjalankan kegiatan serikat sering
ditemukan kasus dimana pengurus atau aktifis serikat dilaporkan pengusaha
kepada Kepolisian. Pasal-pasal yang kerap dituduhkan pada pengurus serikat
adalah pasal karet atau pasal sampah dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
antara lain pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan dan fitnah. Ironisnya,
berbagai kasus kriminalisasi ini diperparah dengan keengganan pihak kepolisian
untuk menangani dan atau menerima laporan buruh dan serikat buruh di
kepolisian, bahkan desakan agar adanya unit (desk) khusus di Kepolisian untuk menangani masalah perburuhan
hingga hari ini juga belum menemukan titik terang dan tanggapan serius dari
pihak kepolisian. Sehingga penyelesaian masalah atas laporan pelanggaran
kebebasan berserikat bergantung pada penyidik pada direktorat/unit yang
menangani kasus pidana perburuhan, yang pada akhirnya sudah dapat ditebak
hasilnya, yaitu Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Mengapa Pengusaha Melakukan Pemberangusan Serikat Buruh?
Alasan mendasar
mengapa perusahaan dan pengusaha melakukan union
busting dikarenakan mereka menganggap bahwa keberadaan serikat buruh bisa
berpengaruh buruk bagi kelangsungan bisnis perusahaan. Tuntutan serikat akan
upah yang layak, kondisi dan keselamatan kerja yang sehat, serta peningkatan
kesejahteraan bagi buruh merupakan hal yang merugikan bagi perusahaan, karena
perusahaan tidak akan lagi dapat mengumpulkan keuntungan sebesar-besarnya
dengan mengorbankan buruh. Pendeknya, keberadaan serikat buruh mengganggu
keleluasaan perusahaan dan pengusaha untuk membayar upah buruh semurah-murahnya
dan menelantarkan nasib kaum buruh.
Di Indonesia, setelah
disahkannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh, maka setiap
tindakan yang dapat dikategorikan sebagai pemberangusan serikat buruh adalah
merupakan tindak pidana yang dapat dihukum:
Bahwa Pasal 28 UU No.
21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, menegaskan :
Siapapun dilarang
menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak
membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau
tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan
serikat pekerja/serikat buruh dengan cara:
a.
Melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan
sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi;
b.
Tidak membayar atau mengurangi upah pekerja/buruh;
c.
Melakukan intimidasi dalam bentuk apapun;
d.
Melakukan kampanye anti pembentukan serikat
pekerja/serikat buruh.
Jo Pasal 43 UU No. 21
Tahun 2000:
(1)
Barang siapa yang menghalang-halangi atau memaksa
pekerja/ buruh sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,-
(seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta
rupiah).
(2)
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
merupakan tindak pidanan kejahatan.
(3)
Melawan Pemberangusan
Serikat buruh.
Kebebasan berorganisasi
adalah perubahan yang cukup signifikan dalam tonggak sejarah perjuangan klas
buruh di Indonesia. Melalui ratifikasi
Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak
untuk Berorganisasi pada 5 Juni 1998 lalu, jaminan kepada buruh akan kebebasan
untuk mendirikan dan menjadi anggota organisasi serikat buruh demi kemajuan dan
kepastian dari kepentingan-kepentingan pekerjaan buruh yang dilindungi baik
secara internasional dan nasional.
Bahkan dengan adanya
jaminan hukum yang diberikan oleh undang-undang No. 21 tahun 2000 dan Konvensi
ILO No. 87, harusnya praktek pemberangusan serikat buruh sudah tak terdengar
lagi pada klas buruh Indonesia. Namun, pada kenyataannya hal yang sebaliknya
justru makin massif terjadi. Praktek pemberangusan serikat buruh semakin
meningkat dan semakin mengkhawatirkan.
Sebagaimana dibahas
dimuka mengharapkan sepenuhnya kepada negara dalam hal ini pemerintah dan rejim
yang berkuasa SBY-Boediono atas perbaikan kebijakan perburuhan di Indonesia
adalah sesuatu yang tidak mungkin terjadi, karena faktanya perampasan hak-hak
buruh justru semakin massif selama sepuluh tahun SBY berkuasa. Bahkan,
kebijakan-kebijakan perburuhan yang hadir selama ini semakin membatasi
kebebasan berserikat bagi buruh. Sebagai contoh adalah UU tentang Penetapan
Kawasan Industri dan Perusahaan menjadi Obyek Vital Nasional Indonesia (OVNI),
UU Ormas dan Keamanan Nasional. Semua kebijakan dilahirkan agar aspirasi maju
klas buruh, khususnya dalam berorganisasi, menyampaikan pendapat, berjuang
untuk kenaikan upah dapat diminimalisir bahkan dihilangkan dengan menggunakan
milter sebagai alat pemaksa.
Maka, sebagai jawaban
perlawanan atas situasi ini tidak lain adalah dengan melakukan penguatan
terhadap seluruh serikat buruh. Penguatan yang dimaksudkan adalah memperkuat
pengetahuan, meningkatkan kesadaran klas buruh, sehingga mampu mengerti dan
memahami siapa dirinya, siapa musuh klasnya. Dan didalam prakteknya mengerti
bagaimana strategi membangun organisasi yang tepat, memperkuat, memperbesar dan
memperluas organisasi ditengah ancaman pemberangusan serikat buruh yang semakin
masif. Hanya serikat buruh sejati yang akan dapat melakukan pekerjaan demikian,
tidak pernah berhenti, tidak akan mau menyerah dan selalu melahirkan
taktik-taktik baru melawan pengusaha serta pemerintah yang tidak berpihak
terhadap kepentingan buruh.
Selanjutnya adalah
mengorganisasikan perlawanan terhadap kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai
dengan aspirasi buruh. Pengorganisasian perlawanan terhadap kebijakan ini harus
secara kontinyu dilakukan dengan cara membangun aliansi sektoral dan
multisektoral seluas mungkin, menggunakan berbagai macam metode yang efektif
untuk terus mendesak pemerintah sebagai pembuat kebijakan agar setahap demi
setahap memperbarui kebijakan perburuhan di Indonesia. ###
[1] Presentasi ini disampaikan dalam acara People
Tribunal, Untuk Upah Layak dan Kondisi Kerja Layak, Asian Floor Wage, Jakarta
21-24 Juni 2014
[2] Kepala Departemen Hukum dan Advokasi, Dewan Pimpinan
Pusat Gabungan Serikat Buruh Independen (DPP-GSBI)
[4] http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f9f57f3436ef/kasus-pelanggaran-hak-berserikat-meningkat