GSBI Tolak TPP dan Tuntut WTO di Bubarkan
INFO GSBI. Jakarta,17/12/2015. Menanggapai Konferensi Tingkat Menteri WTO ke-10 yang di gelar di Nairobi, Kenya tanggal 15-18 Desember 20...
https://www.infogsbi.or.id/2015/12/gsbi-tolak-tpp-dan-tuntut-wto-di.html
INFO GSBI. Jakarta,17/12/2015. Menanggapai Konferensi Tingkat Menteri WTO ke-10 yang di gelar di Nairobi, Kenya tanggal 15-18 Desember 2015, Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) melalui release nya yang di terbitkan pada Selasa 15 Desember 2015 menyatakan, “WTO adalah Sampah, WTO Melanggengkan Pasar Tenaga Kerja Murah, JUNK WTO, Lawan FTA, Tolak TPP dan Seluruh Skema Neo-liberalisme Globalisasi, Serta Penjarahan Imperialisme”.
WTO berdiri sebagai instrumen yang paling komprehensif dan instrument dengan jangkauan yang lebih jauh untuk mempromosikan globalisasi neoliberal dan memperkuat kontrol kapitalis monopoli atas ekonomi global dan sumber daya dunia termasuk pangan, kesehatan (obat-obatan), air, tanah, hutan, infrastruktur, teknologi dan bahkan pengetahuan. Saat ini, WTO telah memiliki 60 perjanjian yang mencakup bidang-bidang seperti pertanian, jasa, investasi, keuangan, pengadaan barang publik (termasuk dalam belanja Negara), prosedur kepabeanan (Bea cukai), teknologi informasi dan komunikasi serta Hak kekayaan intelektual (HAKI), yang seluruhnya hanya memberikan keuntungan bagi negara-negara maju beserta perusahan korporasi monopoli TNC.
Menurut GSBI, bahwa WTO berkontribusi besar dalam melanggengkan pasar tenaga kerja murah melalui skema fleksibelitas pasar tenaga kerja (Labour Market Flexibility-LMF) dan serangkaian konsep program eksport tenaga kerja (Labor Export Programs-LEP) di seluruh dunia. Sehingga berdampak pada politik upah murah dan diterapkannya buruh kontrak dan outsoursing yang dialami buruh selama ini. Sementara di sektor pertanian, secara intensif dibahas dalam pertemuan KTM ke-9 WTO di Bali 2013 yang melahirkan Paket Bali. Salah-satu isinya mendorong kebijakan pencabutan subsidi pertanian di negara-negara berkembang yang berlaku sebaliknya bagi Negara-negara Maju (100% Subsidi pertanian). Kebijakan pencabutan subsidi ini menjadi usaha bagi WTO untuk memberi ruang seluas-luasnya kepada perusahaan korporasi dunia semacam Musanto, Cargill, Bayer untuk memonopoli sarana produksi dan hasil pertanian di negara-negara berkembang.
WTO secara jelas hanya menguntungkan negara-negara maju khususnya imperialis AS, karenanya WTO sudah pasti mendapatkan tantangan semakin keras dari rakyat seluruh dunia. Sejak berdiri, WTO telah menjadi sasaran perlawan rakyat dunia untuk menghentikan monopoli perdagangan dunia oleh negara-negara maju, khususnya imperialis AS. Perjuangan Battle Of Seatle di Amerika Serikat pada akhir tahun 1990an, Perjuangan Aliansi Rakyat Dunia di Bali 2013, hingga perlawanan yang meletus diberbagai Negeri menentang KTM ke-10 yang berlansung di Nairobi, Kenya saat ini menjadi penanda terus bangkit dan meluasnya kesadaran rakyat akan WTO yang sejatinya bagai sampah yang sama sekali tidak berguna bagi rakyat, melainkan sebagai kongsi dagang kapitalis monopli yang terus menghisap rakyat layaknya wabah yang terus menyebarkan penyakit menular yang menyengsarakan rakyat.
Menurut GSBI, Ketika WTO mengalami kebuntuan dalam putaran Negosiasinya di pertemuan KTM akibat tekanan-tekanan dari perjuangan rakyat, imperialis AS berusaha membangun skema perjanjian perdagangan regionalisme yang lebih intervensi dan mengikat. AS mengkooptasi Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) sebagai skema perdagangan baru yang lebih kejam dan jahat bagi negara-negara anggotanya.
Tapi ironinya, kunjugan Jokowi ke AS Oktober lalu, malah menyampaikan komitmennya kepada Presiden Barac Obama, untuk Indonesia bergabung ke TPP. TPP yang telah diikuti 12 negara (40% PDB dunia) akan melakukan kesepakatan perdagangan dengan standar paling tinggi yang ada saat ini. Karena memuat poin-poin yang selama ini tidak ada dan dinilai masih longgar dalam skema WTO, seperti Hak Kekayaan Intelektual (Intelectual Property Rights), Kebijakan kompetisi (Competition Policy) dan belanja pemerintah (Government Procurement) serta fasilitasi perdagangan hingga point perselisihan negara dan investor (Investment-State Disputed Settlement- ISDS).
Untuk itu GSBI menuntut Presiden Jokowi-JK untuk segera menarik Indonesia dari Keanggotaan WTO! dan GSBI Tolak Rencana Jahat Jokowi dan Thomas Lembong (Menteri Perdagangan RI) untuk Indonesia bergabung ke dalam TPP!
Sikap ini kami keluarkan sangat jelas bahwa, doktrin “perdagangan bebas” tidak mampu mengatasi kebutuhan rakyat miskin di dunia. Pertumbuhan cepat dalam dunia investasi dan perdagangan dunia yang dimunculkan oleh WTO tidak hanya memperburuk kesenjangan antar negara dan di dalam negeri terutama di negara-negara sedang berkembang. Dengan membiarkan banjir subsidi terhadap produk-produk dari negara-negara industri maju dampak yang dirasakan tidak saja para produsen barang berskala besar dapat menjual barang-barang produksi mereka dibawah ongkos produksi yang sebenarnya namun yang mengenaskan ialah para petani di negara-negara berkembang yang bekerja dengan modal terbatas dan hanya untuk menghidupi keluarganya harus menghadapi beban yang sangat berat dengan kerugian dan hilangnya pendapatan sebagai petani mencapai 24 triliun USD setiap tahun. Di benua Afrika, puluhan tahun masuknya barang-barang impor bersubsidi dari negara-negara Amerika, Kanada dan Uni Eropa telah menghancurkan sistim penghasil makanan di pedesaan yang tradisional dan memperburuk kemiskinan di kalangan petani kecil. Industri-industri kecil di negara-negara yang kurang berkembang tidak mampu bertahan dan akhirnya ditutup ditengah persaingan menghadapi arus barang impor murah.
Menurut GSBI, dari situasi tersebut yang di butuhkan oleh kaum buruh dan rakyat seluruh dunia bukanlah WTO, FTA dan TPP tapi perdagangan yang adil bagi rakyat. Rakyat membutuhkan perubahan mendasar dalam sistim pemerintahan yang ada saat ini, yaitu sebuah rezim perdagangan yang sungguh-sungguh melayani kepentingan rakyat, yang harus mengutamakan bentuk-bentuk alternative pertukaran internasional yang bersandar pada solidaritas, saling menguntungkan dan melengkapi dalam rangka menyediakan kebutuhan-kebutuhan penduduk. Penghormatan pada kedaulatan bangsa, peraturan ketat di sektor keuangan dan pengembangan industrialisasi di dalam negeri adalah komponen-komponen yang diperlukan bagi sistim perdagangan yang pro-rakyat. Alternatif-alternatif terhadap perdagangan Neoliberal bisa diwujudkan, membuktikan bahwa sistim perdagangan yang baru – yang mengedepankan agenda kerakyatan - bukanlah hal yang mustahil. (re-SI2015)#
WTO berdiri sebagai instrumen yang paling komprehensif dan instrument dengan jangkauan yang lebih jauh untuk mempromosikan globalisasi neoliberal dan memperkuat kontrol kapitalis monopoli atas ekonomi global dan sumber daya dunia termasuk pangan, kesehatan (obat-obatan), air, tanah, hutan, infrastruktur, teknologi dan bahkan pengetahuan. Saat ini, WTO telah memiliki 60 perjanjian yang mencakup bidang-bidang seperti pertanian, jasa, investasi, keuangan, pengadaan barang publik (termasuk dalam belanja Negara), prosedur kepabeanan (Bea cukai), teknologi informasi dan komunikasi serta Hak kekayaan intelektual (HAKI), yang seluruhnya hanya memberikan keuntungan bagi negara-negara maju beserta perusahan korporasi monopoli TNC.
Menurut GSBI, bahwa WTO berkontribusi besar dalam melanggengkan pasar tenaga kerja murah melalui skema fleksibelitas pasar tenaga kerja (Labour Market Flexibility-LMF) dan serangkaian konsep program eksport tenaga kerja (Labor Export Programs-LEP) di seluruh dunia. Sehingga berdampak pada politik upah murah dan diterapkannya buruh kontrak dan outsoursing yang dialami buruh selama ini. Sementara di sektor pertanian, secara intensif dibahas dalam pertemuan KTM ke-9 WTO di Bali 2013 yang melahirkan Paket Bali. Salah-satu isinya mendorong kebijakan pencabutan subsidi pertanian di negara-negara berkembang yang berlaku sebaliknya bagi Negara-negara Maju (100% Subsidi pertanian). Kebijakan pencabutan subsidi ini menjadi usaha bagi WTO untuk memberi ruang seluas-luasnya kepada perusahaan korporasi dunia semacam Musanto, Cargill, Bayer untuk memonopoli sarana produksi dan hasil pertanian di negara-negara berkembang.
WTO secara jelas hanya menguntungkan negara-negara maju khususnya imperialis AS, karenanya WTO sudah pasti mendapatkan tantangan semakin keras dari rakyat seluruh dunia. Sejak berdiri, WTO telah menjadi sasaran perlawan rakyat dunia untuk menghentikan monopoli perdagangan dunia oleh negara-negara maju, khususnya imperialis AS. Perjuangan Battle Of Seatle di Amerika Serikat pada akhir tahun 1990an, Perjuangan Aliansi Rakyat Dunia di Bali 2013, hingga perlawanan yang meletus diberbagai Negeri menentang KTM ke-10 yang berlansung di Nairobi, Kenya saat ini menjadi penanda terus bangkit dan meluasnya kesadaran rakyat akan WTO yang sejatinya bagai sampah yang sama sekali tidak berguna bagi rakyat, melainkan sebagai kongsi dagang kapitalis monopli yang terus menghisap rakyat layaknya wabah yang terus menyebarkan penyakit menular yang menyengsarakan rakyat.
Menurut GSBI, Ketika WTO mengalami kebuntuan dalam putaran Negosiasinya di pertemuan KTM akibat tekanan-tekanan dari perjuangan rakyat, imperialis AS berusaha membangun skema perjanjian perdagangan regionalisme yang lebih intervensi dan mengikat. AS mengkooptasi Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) sebagai skema perdagangan baru yang lebih kejam dan jahat bagi negara-negara anggotanya.
Tapi ironinya, kunjugan Jokowi ke AS Oktober lalu, malah menyampaikan komitmennya kepada Presiden Barac Obama, untuk Indonesia bergabung ke TPP. TPP yang telah diikuti 12 negara (40% PDB dunia) akan melakukan kesepakatan perdagangan dengan standar paling tinggi yang ada saat ini. Karena memuat poin-poin yang selama ini tidak ada dan dinilai masih longgar dalam skema WTO, seperti Hak Kekayaan Intelektual (Intelectual Property Rights), Kebijakan kompetisi (Competition Policy) dan belanja pemerintah (Government Procurement) serta fasilitasi perdagangan hingga point perselisihan negara dan investor (Investment-State Disputed Settlement- ISDS).
Untuk itu GSBI menuntut Presiden Jokowi-JK untuk segera menarik Indonesia dari Keanggotaan WTO! dan GSBI Tolak Rencana Jahat Jokowi dan Thomas Lembong (Menteri Perdagangan RI) untuk Indonesia bergabung ke dalam TPP!
Sikap ini kami keluarkan sangat jelas bahwa, doktrin “perdagangan bebas” tidak mampu mengatasi kebutuhan rakyat miskin di dunia. Pertumbuhan cepat dalam dunia investasi dan perdagangan dunia yang dimunculkan oleh WTO tidak hanya memperburuk kesenjangan antar negara dan di dalam negeri terutama di negara-negara sedang berkembang. Dengan membiarkan banjir subsidi terhadap produk-produk dari negara-negara industri maju dampak yang dirasakan tidak saja para produsen barang berskala besar dapat menjual barang-barang produksi mereka dibawah ongkos produksi yang sebenarnya namun yang mengenaskan ialah para petani di negara-negara berkembang yang bekerja dengan modal terbatas dan hanya untuk menghidupi keluarganya harus menghadapi beban yang sangat berat dengan kerugian dan hilangnya pendapatan sebagai petani mencapai 24 triliun USD setiap tahun. Di benua Afrika, puluhan tahun masuknya barang-barang impor bersubsidi dari negara-negara Amerika, Kanada dan Uni Eropa telah menghancurkan sistim penghasil makanan di pedesaan yang tradisional dan memperburuk kemiskinan di kalangan petani kecil. Industri-industri kecil di negara-negara yang kurang berkembang tidak mampu bertahan dan akhirnya ditutup ditengah persaingan menghadapi arus barang impor murah.
Menurut GSBI, dari situasi tersebut yang di butuhkan oleh kaum buruh dan rakyat seluruh dunia bukanlah WTO, FTA dan TPP tapi perdagangan yang adil bagi rakyat. Rakyat membutuhkan perubahan mendasar dalam sistim pemerintahan yang ada saat ini, yaitu sebuah rezim perdagangan yang sungguh-sungguh melayani kepentingan rakyat, yang harus mengutamakan bentuk-bentuk alternative pertukaran internasional yang bersandar pada solidaritas, saling menguntungkan dan melengkapi dalam rangka menyediakan kebutuhan-kebutuhan penduduk. Penghormatan pada kedaulatan bangsa, peraturan ketat di sektor keuangan dan pengembangan industrialisasi di dalam negeri adalah komponen-komponen yang diperlukan bagi sistim perdagangan yang pro-rakyat. Alternatif-alternatif terhadap perdagangan Neoliberal bisa diwujudkan, membuktikan bahwa sistim perdagangan yang baru – yang mengedepankan agenda kerakyatan - bukanlah hal yang mustahil. (re-SI2015)#