Ini Pernyataan Sikap FPR dalam Konferensi Perss 7 Desember 2016
Siaran Pers dan Pernyataan Sikap Front Perjuangan Rakyat (FPR) Dalam Menyikapi Pertemuan RCEP di Indonesia 6-10 Desember 2016 Poto: Kon...
https://www.infogsbi.or.id/2016/12/ini-pernyataan-sikap-fpr-dalam.html
Siaran Pers dan Pernyataan Sikap Front Perjuangan Rakyat (FPR)
Dalam Menyikapi Pertemuan RCEP di Indonesia 6-10 Desember 2016
“Tolak RCEP dan Lawan Seluruh Kesepakatan Perdagangan Bebas dan Investasi (FTAs)”
RCEP Mengintensifkan Serangan Neoliberal dan Memerosotkan Kehidupan Rakyat Indonesia.
Jakarta,07 Desember 2016. Kerjasama perdagangan bebas dan investasi (FTA) menjadi instrumen untuk mengintensikan serangan neoliberal di Asia Pasifik. Tujuan utamanya adalah memastikan kontrol ekonomi di Asia Pasifik, termasuk Indonesia melalui liberalisasi perdagangan dan investasi. Pasca kebuntuan negosiasi multilateral World Trade Organization (WTO), kapitalis monopoli mengintensifkan FTAs bilateral maupun regional seperti di Asia Pasifik, yakni TPPA (Trans-Pacific Partnership Agreement) atau Perjanjian Kerjasama Trans-Pasifik yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership) atau Kerjasama Ekonomi Regional Menyeluruh yang dipimpin oleh Cina.
Berbeda dengan TPPA yang telah rampung, RCEP masih dalam proses negosiasi. Saat ini memasuki Putaran ke-16 (16th Round of Trade Negotiating Commitee on RCEP) yang akan diselenggarakan pada tanggal 6 – 10 Desember 2016, di International Convention Exhibition (ICE) BSD, Serpong, Tangerang Selatan, Indonesia. Kegiatan ini dihadiri sekitar 600 delegasi dari 16 negara partisipan RCEP. Keanggotaan RCEP mencakup 10 negara ASEAN (Filipina, Thailand, Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, Myanmar, Laos, Kamboja, dan Vietnam) dan 5 negara mitra utama ekonomi Cina (Australia, Jepang, India, Korea Selatan, New Zealand).
Belum ada draft teks RCEP yang dapat diakses publik dan proses negosiasi berlangsung tertutup. Namun, beberapa bocoran teks menunjukkan bahwa isi RCEP menyerupai TPPA, bahkan cenderung lebih berbahaya dari TPPA. RCEP akan mengatur secara ketat tentang liberalisasi perdagangan barang, jasa, belanja pemerintah, E-Commerce, perlindungan hak atas kekayaan intelektual (termasuk paten atas obat-obatan, hak cipta, indikator geografis, sumber daya genetik, benih, dan lain-lain) hingga mengatur perlindungan dan penyelesaian sengketa dalam investasi.
RCEP sebagai mega-regional FTAs akan melanjutkan kebijakan liberalisasi, deregulasi dan privatisasi di berbagai sektor. Perjanjian semacam ini akan memaksa berbagai negara semakin berlomba mengundang investasi asing dengan menyajikan lingkungan bisnis yang semakin menarik bagi korporasi dan sebaliknya semakin tidak bersahabat bagi rakyat. Jika disahkan dan diimplementasikan, klas buruh, kaum tani, perempuan, buruh migran, mahasiswa, nelayan, kaum miskin perkotaan, masyarakat adat, suku bangsa minoritas, dan kelompok tertindas lainnya di Indonesia akan merasakan dampak buruk dari kerjasama ini.
RCEP semakin menjerat buruh dalam politik upah murah sebagai jaminan kenyamanan investasi dan perlindungan keuntungan bagi korporasi yang berbisnis di Indonesia. Perjuangan buruh atas upah layak dan hak-haknya akan mendapat hambatan berlipat. Jika negara menerapkan kebijakan yang menaikan upah, namun bertentangan dengan kepentingan korporasi sebagaimana diatur dalam perjanjian RCEP tentang perlindungan investasi dan keuntungan, maka korporasi dapat menggugat pemerintah dan menuntut kompensasi atas nilai kerugian korporasi.
Monopoli dan perampasan tanah akan semakin meluas karena RCEP memfasilitasi hak korporasi untuk menguasai tanah di berbagai negeri. Petani, perempuan, masyarakat adat, dan suku bangsa minoritas akan sangat rentan menjadi korban anjloknya harga produk pertanian akibat dumping impor produk, dan kriminalisasi atas penggunaan benih dan varietas tanaman tertentu tanpa izin dari perusahaan pemilik hak paten. Hal ini sebagai bentuk implementasi perjanijian RCEP yang kemungkinan akan menerapkan UPOV 1991. UPOV 1991 merupakan kesepakatan internasional yang menerapkan serangkaian standar umum dan mengatur bagaimana negara-negara mesti menerapkan proteksi benih dan varietas tanaman.
Sektor jasa layanan publik sebagai sasaran RCEP dalam liberalisasi, privatisasi, dan komersialisasi akan menghilangkan hak dan akses rakyat atas pelayanan publik berkualitas. Anak-anak, pemuda, mahasiswa akan semakin sulit mengakses pendidikan karena biaya semakin mahal. Begitupun kesulitan rakyat untuk pelayanan kesehatan, transportasi, air, listrik, telekomunikasi, dll. Obat-obatan akan semakin mahal dan tak terjangkau oleh masyarakat luas karena RCEP akan melegalkan korporasi atas hak paten dan monopoli produksi obat-obatan tertentu dan menetapkan harga yang tinggi tanpa kompensasi atas penyediaan obat generik.
Lebih lanjut, kemerosotan hidup rakyat di berbagai sektor akibat penerapan RCEP akan menyebabkan meningkatnya migrasi paksa masyarakat Indonesia ke berbagai negara. Di sisi lain, privatisasi pengelolaan layanan bagi buruh migran dan monopoli keuangan telah terjadi melalui penerapan overcharging, penerapan Roadmap 2017, KUR dan cash transfer melalui 5 bank yang telah ditunjuk oleh pemerintah. Baik sebelum dan sesudah RCEP diterapkan, praktik kebijakan seperti ini akan semakin menghisap dan menindas jutaan buruh migran Indonesia.
Singkatnya, seluruh sektor dan lapisan masyarakat Indonesia akan rentan akibat berbagai dampak buruk penerapan RCEP. Berdasar atas kondisi tersebut, Front Perjuangan Rakyat (FPR) secara tegas menayatakan sikap menolak RCEP dan menuntut agar negosiasi ini segera dihentikan. Secara khusus, kami mendesak pemerintah Indonesia agar secara tegas menghentikan keterlibatannya dalam negosiasi RCEP. Selain itu,FPR juga menuntut:
1. Laksanakan reforma agraria sejati dan industrialisasi nasional sebagai dasar pembangunan ekonomi dan kerjasama yang menjamin keadilan, kedaulatan rakyat dan memenuhi kebutuhan rakyat.
2. Hentikan monopoli dan perampasan tanah, kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi rakyat.
3. Naikkan upah buruh sesuai standar hidup layak dan cabut PP No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan.
4. Berikan jaminan atas akses sarana produksi pertanian bagi petani dan perlindungan terhadap harga produksi pertanian.
5. Hentikan privatisasi, liberalisasi, dan komersialisasi sektor pendidikan, kesehatan, dan sektor pelayanan publik vital lainnya.
6. Hentikan monopoli obat-obatan dan sediakan pelayanan kesehatan gratis dan berkualitas bagi rakyat.
7. Cabut Undang-Undang No. 39 tahun 2014 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, hentikan kebijakan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan cash transfer, serta berikan perlindungan sejati bagi buruh migran Indonesia dan keluarganya.
FPR juga menyerukan pentingnya membangun solidaritas, edukasi, pengorganisasian massa, mobilisasi, dan kampanye di seluruh Indonesia untuk melawan seluruh bentuk perjanjian perdagangan bebas (FTA) baik bilateral dan regional yang hanya merugikan rakyat di Indonesia dan berbagai negara.
JUNK RCEP! STOP RCEP!!
Jayalah perjuangan rakyat!
Hormat kami,
Front Perjuangan Rakyat (FPR)
Rudi HB Daman
Koordinator
081213172878
FRONT PERJUANGAN RAKYAT (FPR) :
GSBI – Gabungan Serikat Buruh Indonesia
AGRA – Aliansi Gerakan Reforma Agraria
FMN – Front Mahasiswa Nasional
SERUNI – Serikat Perempuan Indonesia
SPJ – Serikat Pemuda Jakarta
PMII – Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Kota Bandung
FPR – Front Perjuangan Rakyat Ciayumajakuning
JAPI – Jaringan Aksi Perubahan Indonesia
Kabar Bumi – Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia
INDIES – Institute for National and Democratic Studies
APC – Asian Peasant Coalition
POP – People Over Profit
ILPS – International League of People’s Struggle
Dalam Menyikapi Pertemuan RCEP di Indonesia 6-10 Desember 2016
Poto: Konferensi Perss FPR 7/12/2016 di Gedung YLBHI Lt 1 Jakarta |
RCEP Mengintensifkan Serangan Neoliberal dan Memerosotkan Kehidupan Rakyat Indonesia.
Jakarta,07 Desember 2016. Kerjasama perdagangan bebas dan investasi (FTA) menjadi instrumen untuk mengintensikan serangan neoliberal di Asia Pasifik. Tujuan utamanya adalah memastikan kontrol ekonomi di Asia Pasifik, termasuk Indonesia melalui liberalisasi perdagangan dan investasi. Pasca kebuntuan negosiasi multilateral World Trade Organization (WTO), kapitalis monopoli mengintensifkan FTAs bilateral maupun regional seperti di Asia Pasifik, yakni TPPA (Trans-Pacific Partnership Agreement) atau Perjanjian Kerjasama Trans-Pasifik yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership) atau Kerjasama Ekonomi Regional Menyeluruh yang dipimpin oleh Cina.
Berbeda dengan TPPA yang telah rampung, RCEP masih dalam proses negosiasi. Saat ini memasuki Putaran ke-16 (16th Round of Trade Negotiating Commitee on RCEP) yang akan diselenggarakan pada tanggal 6 – 10 Desember 2016, di International Convention Exhibition (ICE) BSD, Serpong, Tangerang Selatan, Indonesia. Kegiatan ini dihadiri sekitar 600 delegasi dari 16 negara partisipan RCEP. Keanggotaan RCEP mencakup 10 negara ASEAN (Filipina, Thailand, Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, Myanmar, Laos, Kamboja, dan Vietnam) dan 5 negara mitra utama ekonomi Cina (Australia, Jepang, India, Korea Selatan, New Zealand).
Belum ada draft teks RCEP yang dapat diakses publik dan proses negosiasi berlangsung tertutup. Namun, beberapa bocoran teks menunjukkan bahwa isi RCEP menyerupai TPPA, bahkan cenderung lebih berbahaya dari TPPA. RCEP akan mengatur secara ketat tentang liberalisasi perdagangan barang, jasa, belanja pemerintah, E-Commerce, perlindungan hak atas kekayaan intelektual (termasuk paten atas obat-obatan, hak cipta, indikator geografis, sumber daya genetik, benih, dan lain-lain) hingga mengatur perlindungan dan penyelesaian sengketa dalam investasi.
RCEP sebagai mega-regional FTAs akan melanjutkan kebijakan liberalisasi, deregulasi dan privatisasi di berbagai sektor. Perjanjian semacam ini akan memaksa berbagai negara semakin berlomba mengundang investasi asing dengan menyajikan lingkungan bisnis yang semakin menarik bagi korporasi dan sebaliknya semakin tidak bersahabat bagi rakyat. Jika disahkan dan diimplementasikan, klas buruh, kaum tani, perempuan, buruh migran, mahasiswa, nelayan, kaum miskin perkotaan, masyarakat adat, suku bangsa minoritas, dan kelompok tertindas lainnya di Indonesia akan merasakan dampak buruk dari kerjasama ini.
RCEP semakin menjerat buruh dalam politik upah murah sebagai jaminan kenyamanan investasi dan perlindungan keuntungan bagi korporasi yang berbisnis di Indonesia. Perjuangan buruh atas upah layak dan hak-haknya akan mendapat hambatan berlipat. Jika negara menerapkan kebijakan yang menaikan upah, namun bertentangan dengan kepentingan korporasi sebagaimana diatur dalam perjanjian RCEP tentang perlindungan investasi dan keuntungan, maka korporasi dapat menggugat pemerintah dan menuntut kompensasi atas nilai kerugian korporasi.
Monopoli dan perampasan tanah akan semakin meluas karena RCEP memfasilitasi hak korporasi untuk menguasai tanah di berbagai negeri. Petani, perempuan, masyarakat adat, dan suku bangsa minoritas akan sangat rentan menjadi korban anjloknya harga produk pertanian akibat dumping impor produk, dan kriminalisasi atas penggunaan benih dan varietas tanaman tertentu tanpa izin dari perusahaan pemilik hak paten. Hal ini sebagai bentuk implementasi perjanijian RCEP yang kemungkinan akan menerapkan UPOV 1991. UPOV 1991 merupakan kesepakatan internasional yang menerapkan serangkaian standar umum dan mengatur bagaimana negara-negara mesti menerapkan proteksi benih dan varietas tanaman.
Sektor jasa layanan publik sebagai sasaran RCEP dalam liberalisasi, privatisasi, dan komersialisasi akan menghilangkan hak dan akses rakyat atas pelayanan publik berkualitas. Anak-anak, pemuda, mahasiswa akan semakin sulit mengakses pendidikan karena biaya semakin mahal. Begitupun kesulitan rakyat untuk pelayanan kesehatan, transportasi, air, listrik, telekomunikasi, dll. Obat-obatan akan semakin mahal dan tak terjangkau oleh masyarakat luas karena RCEP akan melegalkan korporasi atas hak paten dan monopoli produksi obat-obatan tertentu dan menetapkan harga yang tinggi tanpa kompensasi atas penyediaan obat generik.
Lebih lanjut, kemerosotan hidup rakyat di berbagai sektor akibat penerapan RCEP akan menyebabkan meningkatnya migrasi paksa masyarakat Indonesia ke berbagai negara. Di sisi lain, privatisasi pengelolaan layanan bagi buruh migran dan monopoli keuangan telah terjadi melalui penerapan overcharging, penerapan Roadmap 2017, KUR dan cash transfer melalui 5 bank yang telah ditunjuk oleh pemerintah. Baik sebelum dan sesudah RCEP diterapkan, praktik kebijakan seperti ini akan semakin menghisap dan menindas jutaan buruh migran Indonesia.
Singkatnya, seluruh sektor dan lapisan masyarakat Indonesia akan rentan akibat berbagai dampak buruk penerapan RCEP. Berdasar atas kondisi tersebut, Front Perjuangan Rakyat (FPR) secara tegas menayatakan sikap menolak RCEP dan menuntut agar negosiasi ini segera dihentikan. Secara khusus, kami mendesak pemerintah Indonesia agar secara tegas menghentikan keterlibatannya dalam negosiasi RCEP. Selain itu,FPR juga menuntut:
1. Laksanakan reforma agraria sejati dan industrialisasi nasional sebagai dasar pembangunan ekonomi dan kerjasama yang menjamin keadilan, kedaulatan rakyat dan memenuhi kebutuhan rakyat.
2. Hentikan monopoli dan perampasan tanah, kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi rakyat.
3. Naikkan upah buruh sesuai standar hidup layak dan cabut PP No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan.
4. Berikan jaminan atas akses sarana produksi pertanian bagi petani dan perlindungan terhadap harga produksi pertanian.
5. Hentikan privatisasi, liberalisasi, dan komersialisasi sektor pendidikan, kesehatan, dan sektor pelayanan publik vital lainnya.
6. Hentikan monopoli obat-obatan dan sediakan pelayanan kesehatan gratis dan berkualitas bagi rakyat.
7. Cabut Undang-Undang No. 39 tahun 2014 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, hentikan kebijakan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan cash transfer, serta berikan perlindungan sejati bagi buruh migran Indonesia dan keluarganya.
FPR juga menyerukan pentingnya membangun solidaritas, edukasi, pengorganisasian massa, mobilisasi, dan kampanye di seluruh Indonesia untuk melawan seluruh bentuk perjanjian perdagangan bebas (FTA) baik bilateral dan regional yang hanya merugikan rakyat di Indonesia dan berbagai negara.
JUNK RCEP! STOP RCEP!!
Jayalah perjuangan rakyat!
Hormat kami,
Front Perjuangan Rakyat (FPR)
Rudi HB Daman
Koordinator
081213172878
FRONT PERJUANGAN RAKYAT (FPR) :
GSBI – Gabungan Serikat Buruh Indonesia
AGRA – Aliansi Gerakan Reforma Agraria
FMN – Front Mahasiswa Nasional
SERUNI – Serikat Perempuan Indonesia
SPJ – Serikat Pemuda Jakarta
PMII – Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Kota Bandung
FPR – Front Perjuangan Rakyat Ciayumajakuning
JAPI – Jaringan Aksi Perubahan Indonesia
Kabar Bumi – Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia
INDIES – Institute for National and Democratic Studies
APC – Asian Peasant Coalition
POP – People Over Profit
ILPS – International League of People’s Struggle