Lemahnya Pengawasan Pemerintah Faktor Dominan Banyak Pelanggaran Atas Hak THR Buruh
INFO GSBI-Jakarta. Masalah Tunjangan Hari Raya (THR) meski tentang pelaksanaan pembayarannya telah diatur dalam Permenaker No. 6 tahun ...
https://www.infogsbi.or.id/2017/06/lemahnya-pengawasan-pemerintah-faktor.html?m=0
INFO GSBI-Jakarta. Masalah Tunjangan Hari Raya (THR) meski tentang pelaksanaan pembayarannya telah diatur dalam Permenaker No. 6 tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan. Didalam aturan ini sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) Besaran THR Keagamaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) ditetapkan sebagai berikut; (a). Pekerja/Buruh yang telah mempunyai masa kerja 12 (dua belas) bulan secara terus menerus atau lebih, diberikan sebesar 1 (satu) bulan upah; (b). Pekerja/Buruh yang mempunyai masa kerja 1 (satu) bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 (dua belas) bulan, diberikan secara proporsional sesuai masa kerja dengan perhitungan: masa kerja/12 X 1 (satu) bulan upah.
Namun didalam implementasinya masih terdapat banyak masalah mengemuka. Beberapa yang paling sering ditemui adalah; pengusaha membayarkan THR Keagamaan tidak tepat waktunya dengan berdalih karena Permenaker membolehkan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum hari raya keagamaan (pasal 5 ayat 4). Bahkan seringkali ditemukan keterlambatan dalam pembayaran THR. Kasus lain yang juga sering terjadi adalah tidak dibayarkannya THR bagi pekerja kontrak, dengan alasan bahwa kontrak pekerja/buruh telah berakhir, THR tidak dibayarkan sesuai dengan aturan, dan berbagai bentuk contoh pelanggaran lainnya.
Menurut Ketua Umum GSBI Rudi HB Daman, Lemahnya pengawasan dari pemerintah adalah faktor yang paling dominan kenapa masih banyak pelanggaran atas hak THR bagi buruh, sehingga perusahaan-perusahaan berani untuk melakukan pelanggaran atas kebijakan Permenaker No. 6 tahun 2016. Tidak pernah ada tindakan yang tegas dari pemerintah atas berbagai pelanggaran dalam pelaksanaan THR. Sehingga memberikan kesempatan yang sangat besar bagi pengusaha untuk tidak menjalankan kewajibannya. Jelas Rudi.
Disisi yang lain, menjelang hari raya keagamaan, hal yang tidak dapat dihindari adalah naiknya harga-harga kebutuhan pokok bagi rakyat. Kegagalan pemerintah dalam melakukan kontrol terhadap harga kebutuhan bahan pokok memberikan dampak yang signifikan bagi klas buruh dan rakyat lainnya. Kenaikan harga bahan pokok telah merampas kembali upah yang diterima oleh buruh, termasuk akan merampas THR yang akan diterima oleh buruh nantinya. Lanjut Rudi.
Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) telah melakukan pemantauan dan suvei diberbagai tempat selama seminggu terakhir ditemui, harga beras, gula pasir, minyak goreng, daging, telur ayam, termasuk cabai, bawang merah dan bawang putih terus bergerak naik. Harga cabai dan bawang putih sudah diatas Rp. 40,000/kg, daging sudah menembus Rp. 110,000/kg, telur diwarung eceran sudah menyentuh Rp. 22,000/kg, dan dipastikan akan terus naik menjelang hari raya.
Kenaikan harga juga terjadi pada Tarif Dasar Listrik bagi pengguna daya 900VA. Selama enam bulan terakhir, TDL untuk pelanggan 900VA resmi naik sebanyak tiga kali; 1 Januari, 1 Maret dan terakhir 1 Mei 2017. Kenaikan TDL ini sesungguhnya juga telah merampas kenaikan upah yang diterima oleh klas buruh, karena saat ini hampir seluruh rumah kontrakan telah menggunakan listrik 900VA.
Kenaikan harga juga akan berlaku untuk sarana transportasi yang digunakan bagi buruh dan rakyat yang akan melakukan tradisi mudik atau pulang kampung selama libur hari raya. Pemerintah selalu saja gagal untuk menyediakan sarana transportasi yang murah, aman dan nyaman bagi rakyat untuk bisa mudik ke kampung halamannya. Menjelang hari raya, tiket bus sudah naik dua kali lipat dari harga biasa, sementara tiket untuk kereta api sudah tidak lagi tersedia untuk H-7 ataupun H+7 hari raya. Jika tiket untuk sarana transportasi mencapai Rp. 400,000/orang, maka bagi keluarga yang mempunyai dua anak dibutuhkan Rp. 1,600,000 untuk satu kali perjalanan, atau total sebesar Rp. 3,200,000 untuk perjalanan pulang pergi. Jika, THR yang diterima hanya satu bulan upah, maka itu hanya akan memenuhi kebutuhan transportasi saja, belum dapat memenuhi kebutuhan lainnya.
Persoalan lain yang tidak kalah penting dalam situasi sekarang menurut pandangan GSBI adalah semakin menguatnya tindasan fasis yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi-JK. Sejak memenangkan Pemilu dan berkuasa tiga tahun yang lalu, pemerintahan Jokowi terus melancarkan tindasan fasis terhadap klas buruh dan rakyat di Indonesia. Demi menjalankan PP 78 tahun 2015 tentang Pengupahan, Jokowi-JK harus menangkap dan mengkriminalisasi kaum buruh. Ditempat yang lain, beberapa aktifis buruh dijadikan tahanan kota karena menentang kebijakan pemerintah. Kriminalisasi juga dilakukan terhadap kaum tani yang berusaha mempertahankan ha katas tanahnya. Hal yang sama juga dialami oleh mahasiswa. Semua yang menentang pemerintah, saat ini memiliki resiko besar untuk dikriminalisasikan.
Tidak cukup dengan itu, belum lama ini melalui menteri-menterinya Jokowi menyampaikan pesan akan membubarkan seluruh organisasi massa yang tidak sejalan dengan Pancasila. Situasi yang demikian mengingatkan kita pada era kediktatoran fasis Soeharto, dimana rakyat termasuk klas buruh berusaha dibungkam suaranya, dicabut haknya untuk tidak lagi memiliki kebebasan dalam berorganisasi dan menyampaikan aspirasi sejati. Bahkan Jokowi sendiri, memerintahkan kepada TNI dan Polri agar “menggebug” kelompok-kelompok yang bertentangan atau dianggap mengganggu pemerintahan yang saat ini berkuasa. Atas hal demikian, bukan tidak mungkin seluruh organisasi massa, serikat-serikat buruh sejati yang memiliki konsistensi perjuangan menentang kebijakan pemerintah yang anti rakyat dan anti demokrasi akan menjadi sasaran pembubaran dan “gebug” yang dijalankan oleh pemerintahan Jokowi.
Atas situasi demikian, GSBI menarik sebuah kesimpulan, bahwa kampanye massa perjuangan THR bagi buruh penting untuk diberikan perhatian. Penting juga didalam menjalankan kampanye perjuangan untuk THR senantiasa dihubungkan dengan situasi obyektif yang saat ini dihadapi oleh klas buruh dan rakyat di Indonesia. Perjuangan untuk THR, tidak dapat berdiri sendiri dan terpisah dengan tuntutan-tuntutan kongkret rakyat lainnya.
Lebih lanjut Rudi mengatakan, bahwa Tuntutan THR yang dijalankan oleh klas buruh disatu sisi, haruslah beriringan dengan tuntutan untuk diturunkannya harga-harga kebutuhan bahan pokok bagi rakyat. Juga dihubungkan dengan tuntutan penolakan pencabutan subsidi publik oleh pemerintah. Jika subsidi public terus dicabut dan kenaikan harga bahan kebutuhan pokok tidak terkendali, maka seberapapun besar kenaikan upah buruh dan juga THR yang diterima, tidak akan sanggup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum bagi buruh. Artinya, klas buruh akan tetap berada dalam keadaan yang menderita, dan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Pun demikian, tuntutan perjuangan untuk THR harus juga terhubung dengan tuntutan atas jaminan kebebasan berorganisasi serta menyampaikan pendapat. Tanpa jaminan kebebasan berorganisasi dan menyampaikan pendapat, klas buruh serta rakyat Indonesia akan sangat kesulitan untuk menyelenggarakan aksi-aksi maupun pemogokan untuk memenangkan tuntutannya. Bagaimana buruh bisa mendapatkan upah yang lebih tinggi jika dipabrik tidak diberikan kesempatan untuk berserikat, berunding apalagi menjalankan pemogokan. Bagaimana buruh dan rakyat dapat menuntut hak-hak demokratisnya apabila pemerintah membuat aturan-aturan yang membatasi aksi dilakukan. Disinilah relasi perjuangan THR harus terhubung dengan tuntutan atas jaminan kebebasan berorganisasi dan menyampaikan pendapat.Tegas Rudi, (red-2017)#