Perppu Ormas Harus di Tolak, Ini Pendapat Para Tokoh
INFO GSBI-Jakarta. Setelah diumumkan Presiden Jokowi pada 10 Juli 2017, Perppu Nomor 2 tahun 2017 tentang Ormas ini mendapat sorotan dari...
https://www.infogsbi.or.id/2017/08/perppu-ormas-harus-di-tolak-ini.html
INFO GSBI-Jakarta. Setelah diumumkan Presiden Jokowi pada 10 Juli 2017, Perppu Nomor 2 tahun 2017 tentang Ormas ini mendapat sorotan dari masyarakan. Hal ini, karena, keberadaan Perppu tersebut dinilai dapat membuat pemerintah sewenang-wenang dalam membubarkan ormas. Dalam Perppu, pemerintah bisa langsung membubarkan suatu ormas tanpa perlu melewati mekanisme pengadilan. Hal ini bisa menimbulkan polemik lantaran pembubaran didasari pandangan pemerintah saja.
Berikut ini redaksi kutif pendapat dari Prof.Yusril Ihza Mahendra (Pakar Hukum Tata Negara), Haris Azhar (Mantan Direktur Kontras), Rudi HB Daman (Ketu Umum GSBI), Ir. Said Iqbal (Presiden KSPI) dan Al Araf (Direktur Imparsial) tentang pendapatnya mengenai soal Perppu Ormas.
Yusril Ihza Mahendra (Pakar Hukum Tata Negara)
Yusril Ihza Mahendra menilai, setidaknya ada enam alasan pihaknya menolak perppu, hingga kemudian berencana mengajukan uji materi ke MK:
Pertama, perppu dinilai telah memberi kewenangan absolut bagi pemerintah untuk secara sepihak membubarkan sebuah ormas, tanpa melalui proses peradilan. Kewenangan itu dinilai bertentangan UUD 1945, yang menjamin warga negara untuk berserikat dan berkumpul.
Kedua, tidak ada hal kegentingan yang memaksa untuk diterbitkannya perppu. Kebijakan yang diambil dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Dalam Pasal 22 UUD 1945 disebut perppu hanya bisa diterbitkan dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa.
Ketiga, perppu dinilai menabrak tafsir kegentingan yang memaksa sebagaimana diatur dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009. Dalam putusan didefinisikan, perppu boleh diterbitkan bila belum ada undang-undang yang mengatur terkait suatu hal. Dalam hal ini terkait keberadaan ormas. Selain itu disebutkan, perppu bisa diterbitkan bila undang-undangnya ada, namun tidak memadai dan dirasa mendesak untuk diadakan. Sementara jika menunggu persetujuan DPR, memerlukan waktu yang cukup lama.
Keempat, perppu dinilai tumpang-tindih dengan pengaturan terkait delik penodaan agama yang telah diatur dalam KUHP. Dikhawatirkan dapat menghilangkan kepastian hukum yang dijamin dalam UUD 1945.
Kelima, perppu juga dinilai tumpang-tindih dengan pengaturan terkait delik permusuhan yang bersifat suku, agama, ras dan golongan yang telah diatur dalam KUHP. Dikhawatirkan bisa menghilangkan kepastian hukum yang dijamin dalam UUD 1945.
Keenam, perppu dinilai tumpangtindih dengan pengaturan terkait delik makar yang sudah diatur dalam KUHP. Dikhawatirkan dapat menghilangkan kepastian hukum yang dijamin dalam UUD 1945.
Haris Azhar (Mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Hariz Azhar bependapat, Secara hukum Perppu Ormas ini ngawur. Secara Politis kayaknya ada sesuatu. Saya curiga ada yang bermain di air keruh. Penerbitan Perppu hanya untuk keadaan mendesak atau ‘keadaan genting’. Sedangkan ukuran objektif penerbitan Perppu sudah dijelaskan dalam Putusan MK. Ada tiga syarat sebagai parameter adanya ‘kegentingan yang memaksa’ bagi Presiden untuk menetapkan Perppu: Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Jika itu terkait rencana pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia atau HTI, menurut Haris, Pemerintah RI sampai sekarang tidak pernah menjelaskan dan menguji di depan hukum, apa masalah HTI dan UU Ormas? Sebagaimana yang disebutkan dalam keputusan MK tersebut.
“Jadi, Pemerintah itu ikuti taffsir apa dan siapa?” kata Haris Azhar. “Jadi secara hukum Perppu Ormas ini ngawur. Secara Politis kayaknya ada sesuatu. Saya curiga ada yang bermain di air keruh,” kata dia.
Haris Azhar kemudian mengatakan, solusinya tetap memakai saja UU Ormas bukan Perppu Ormas, meskipun ia mempercayai UU ini pun masih banyak masalahnya juga. “Nanti serahkan kepada hakim, biar hakim yang tentukan. Tapi sekali lagi kayaknya Pemerintah takut bawa ke pengadilan. Takut kalah. Jadi Pemerintah mau main kayu, alias sepihak membubarkan,” katanya.
Rudi HB Daman, (Ketua Umum GSBI)
Lahirnya Perppu No.2 tahun 2017 menambah daftar panjang langkah pemerintah membatasi kebebasan berorganisasi dan menyampaikan pendapat yang menjadi hak dasar bagi rakyat Indonesia. Selama ini usaha pemberangusan kebebasan berorganisasi dan menyampaikan pendapat secara sistematis telah dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Masih tersimpan dalam memori kita, pada tahun 2015, diterbitkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 228 tahun 2015 tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian Pendapat Dimuka Umum Diruang Terbuka. Melalui aturan ini, aksi demonstrasi di Jakarta hanya diperbolehkan ditiga tempat, yaitu; Parkir Timur Senayan, Alun-Alun Demokrasi DPR dan Silang Selatan Monas. Bulan Januari Tahun 2017 ini, Walikota Tangerang mengeluarkan Peraturan Walikota Nomor 2 tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Penyampaian Pendapat di Muka Umum di Tangerang, menyatakan bahwa, “Penyampaian pendapat di muka umum dilarang dilakukan pada waktu: (a) Hari Sabtu dan Minggu, (b) Hari besar nasional dan hari besar lainnya yang ditentukan oleh pemerintah dan atau pemerintah daerah; dan (c) diluar ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1).
Ketiga peraturan diatas secara esensi mempunyai persamaan, yaitu melakukan pembatasan terhadap rakyat yang hendak menyampaikan aspirasi demokratisnya. Tempat penyelenggaraan aksi dibatasi, hari untuk menyelenggarakan aksi juga dibatasi, dan puncaknya melalui Perppu No.2 tahun 2017, pemerintah dapat membubarkan organisasi-organisasi yang dianggap tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila. Kebijakan-kebijakan tersebut sekaligus menjadi bukti nyata bahwa pemerintahan Jokowi-JK adalah rejim yang anti rakyat dan anti demokrasi.
Menurut Rudi, Hadirnya Perppu No. 2 tahun 2017 tidak dapat dipisahkan dengan situasi krisis yang terjadi dewasa ini. Dalam kondisi krisis yang terus memburuk, tidak ada pilihan bagi kapitalisme monopoli selain mengintensifkan tindasan terhadap rakyat diberbagai negeri. Memaksa pemerintah dinegeri-negeri setengah jajahan untuk menjalankan berbagai kebijakan yang dipandang perlu untuk bisa keluar dari krisis, di Indonesia termanifestasi dalam skema paket kebijakan ekonomi Jokowi-JK. Faktanya, paket kebijakan ekonomi Jokowi-JK tidak satupun bertujuan memberikan perbaikan penghidupan bagi rakyat Indonesia, sebaliknya paket kebijakan ekonomi lebih identik sebagai dikte imperialisme terhadap pemerintahan boneka Jokowi-JK. Melapangkan jalan bagi hadirnya investasi dengan berbagai kemudahan peraturan, disisi yang lain mengurangi dan mencabut subsidi publik, salah satunya dengan menetapkan formulasi pengupahan yang merugikan buruh.
Implementasi paket kebijakan ekonomi Jokowi-JK terang menhadirkan tindasan bagi rakyat Indonesia, termasuk memberikan pukulan bagi lawan-lawan politiknya. Tindasan ini pula yang kemudian menghadirkan perlawanan terhadap pemerintahan Jokowi-JK. Dalam keadaan demikian, rejim Jokowi-JK membutuhkan sebuah sarana yang jauh efektif untuk meredam seluruh usaha perlawanan rakyat menentang kebijakan pemerintah yang anti demokrasi, sehingga lahirlah Perppu No.2 tahun 2017.
Melalui Perppu No.2 tahun 2017, pemerintah mempunyai legitimasi untuk membubarkan organisasi-organisasi massa yang tidak berasaskan Pancasila ataupun organisasi yang dianggap memberikan ancaman terhadap keutuhan NKRI. Didalam Perppu juga diatur (Pasal 59), bahwa ormas dilarang untuk melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras atau golongan. Yang dimaksud dengan tindakan permusuhan adalah ucapan, pernyataan, sikap atau aspirasi, baik secara lisan maupun tertulis, baik melalui media elektronik maupun tidak melalui media elektronik yang menimbulkan kebencian, baik terhadap kelompok tertentu maupun terhadap setiap orang termasuk ke penyelenggara negara. Pasal ini memberikan ancaman yang serius terhadap organisasi massa termasuk pimpinan organisasi ketika menyampaikan aspirasi dan tuntutan kepada pemerintah.
Tindasan yang akan hadir melalui Perppu ini tidak hanya terkait dengan pembubaran organisasi massa yang dianggap tidak sejalan dengan Pancasila dan memberikan ancaman terhadap NKRI. Perppu juga mencantumkan pasal pidana, yakni dapat menghukum anggota dan pengurus ormas yang dianggap sengaja melanggar dengan pidana paling singkat 6 bulan dan paling lama 1 tahun bagi pelanggaran Pasal 59 ayat 3 huruf c (tindakan kekerasan, menganggu ketertiban umum, merusak fasilitas) dan d (melakukan kegiatan yang bukan menjadi tugas dan wewenang penegak hukum), dan pidana penjara seumur hidup, pidana paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun bagi pelanggar poin pasal 59 ayat 3 huruf a (tindakan permusuhan terhadap suku, agama, dan ras, golongan) dan b (penyalahgunaan, penistaan, penodaan terhadap agama). Ancaman pidana ini akan menambah banyak jumlah aktifis massa yang dikriminalisasi.
Ketua Umum GSBI Rudi HB Daman menilai, bahwa seolah-olah Perppu ini diarahkan ke ormas tertentu yaitu HTI dan kalangan Islam fundamentalis, padahal dampak dari keberadaan Perppu ini akan mengancam dan menyasar semua Ormas. Termasuk serikat buruh.
Satu hal yang membuat miris, Perppu ini memperkenalkan adanya sanksi pidana yang hukumannya seumur hidup. Perppu ini juga melarang orang berpikir diluar frame yang ditentukan pemerintah, warga negara harus berfikir hanya Pancasila, UUD 45 dan NKRI diluar itu haram. Hal lain, Perppu Ormas juga menempatkan pejabat negara lebih superior daripada warga negara, karena ada pasal terkait penghinaan terhadap pejabat negara, baca saja pasal 59 dan juga penjelasannya. Hal ini menegaskan arogansi negara karena mengabaikan serta meniadakan proses hukum dalam pembekuan dan pembubaran Ormas karena dalam Perppu ini mengatur pembubaran ormas yang tidak lagi harus menunggu putusan dari pengadilan.
Bagi Rudi, keluarnya Perppu Ormas akan menghambat gerakan rakyat. Karena sejak Jokowi berkuasa, sudah terbit 15 paket kebijakan ekonomi yang sepenuhnya di abdikan untuk melayani kepentingan kapitalis monopoli asing, tuan tanah besar dan borjuasi komprador. paket kebijakan ekonomi Jokowi anti buruh, Contohnya adalah PP 78/2015 tentang Pengupahan turunan dari Paket Kebijakan Ekonomi jilid 4. Oleh karena itu, keberadaan Perppu Ormas akan semakin menyulitkan gerakan rakyat untuk berjuang agar kebijakan yang salah tersebut bisa dihapus, karena kita tidak bisa mencap tindakan negara melalui aparatusnya dengan sebutan yang dapat dianggap menimbulkan kebencian.
“Oleh karena itu, gerakan buruh perlu bersikap, karena Perppu Ormas ini merupakan pembungkaman terhadap hak demokrasi, kebebasan berserikat/berorgansiasi termasuk hak menyampaikan pendapat secara bebas” ujar Rudi. Lebih lanjut Rudi mengatakan, Perppu Ormas bagian dari upaya untuk menjaga kestabilan politik bagi kepentingan investasi dan melanggengkan kekuasaan.
Ir. Said Iqbal (Presiden KSPI)
Keberadaan Perppu ini mengancam kebebasan berserikat bagi masyarakat sipil. Tidak hanya itu, keberadaan Perppu ini juga dinilai bisa menjadi pintu masuk kembalinya rezim otoriter.
Lebih lanjut Presdien KSPI ini menegaskan, bahwa keberadaan Perppu ini akan menghambat gerakan sipil – termasuk gerakan buruh — dalam meperjuangan hak-haknya. Hal ini, karena, dengan adanya Perppu Ormas ini, Pemerintah akan dengan mudah bisa membubarkan Ormas yang dianggap tidak sejalan dengan kepentingan dan kemauan pemerintah. “Wewenang pemerintah untuk membubarkan ormas secara sepihak bertentangan dengan prinsip negara hukum,” katanya.
Said Iqbal menilai, tidak menutup kemungkinan Pemerintah juga membubarkan serikat buruh tanpa melalui proses pengadilan. Lebih lanjut pria yang juga menjadi Governing Body ILO ini menegaskan, arogansi kekuasaan tercium sangat kuat dalam Perppu Ormas ini.
Sekedar mengingatkan, saat masih berupa RUU, KSPI dan buruh Indonesia sudah ikut mengawal pembahasan RUU Ormas. Saat itu buruh berpendapat, RUU Ormas kala itu menutup kebebasan masyarakat sipil karena yang mendapat represi adalah kelompok buruh dan rakyat adat, sebab bisa jadi setiap tuntutan mereka akan disebut sebagai ancaman keamanan nasional. Karena itulah, kata Said Iqbal, ketika kemudian diterbitkan Perppu Ormas yang berpotensi mengekang kebebasan berserikat dan berekspresi, maka KSPI akan bergerak kembali dan menegaskan sikapnya Menolak Perppu Ormas ini.
Lebih lanjut Said Iqbal menjelaskan, mendukung upaya pemerintah memberantas paham radikalisme, terorisme, dan segala hal yang bertentangan dengan idiologi Pancasila. Tetapi tidak dengan menerbitkan Perppu Ormas. Karena tuduhan seperti itu harus dibuktikan terlebih dahulu di pengadilan.
Bahwa keberadaan Perppu Ormas tidak tepat. “Pemerintah seperti kurang kerjaan dengan menerbitkan Perppu Ormas. Ditengah kelesuan ekonomi dan menurunnya daya beli masyarakat akibat upah murah (dikarenakan terbitnya PP 78/2015), sehingga mengancam PHK besar-besaran di sektor ritel seperti 7-eleven dan Hypermart, dan tidak menutup kemungkinan potensi PHK pekerja ritel di Hero, Ramayana, hingga Giant.
Alih-alih mencari solusi penyelesaian, Pemerintah malah mengeluarkan Perppu Ormas yang tidak bermanfaat bagi masyarakat untuk saat ini. “Di tengah menumpuknya hutang pemerintah yang semakin menggunung dan kelesuan ekonomi, seharusnya pemerintah fokus pada masalah ini. Bukan malah melakukan pengalihan isu, dengan mengeluarkan Perppu Ormas.”
Sementara itu, banyaknya perusahaan yang melakukan PHK dan tidak membayar THR seperti PT Smelting di Gresik dan PT Freeport di Papua. Terkait kasus ini pun tidak ada penyelesaian oleh Menteri Ketenagakerjaan. Termasuk pengusiran terhadap TKI di Malaysia, dan mahalmya gas industri di sektor keramik yang berdampak pada PHK besar-besaran di industri keramik. “Seharusnya permasalahan inilah yang dikedepankan pemerintah, ketimbang mengeluarkan Perppu Ormas. Buruh dan rakyat kecil tidak butuh Perppu Ormas”.tegas Said Iqbal.
AL Araf (Direktur Imparsial)
Perppu Ormas bersifat represif yang mengancam demokrasi serta hak asasi manusia.
Al Araf menilai, langkah pemerintah menerbitkan Perppu Ormas sangat keliru. Dari segi hukum sudah ada undang-undang yang mengatur ormas, yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyaraatan (UU Ormas). Dalam UU tersebut, kata Al Araf, sudah diatur mekanisme pembubaran ormas. Mulai dari persuasi, peringatan satu sampai tiga dan pemberhentian sementara selama enam bulan. Pembubaran bisa diajukan pemerintah ke pengadilan dan hakim yang akan menentukan pembubaran tersebut.
“Pembubaran ormas yang awalnya berdasarkan hukum jadi berdasarkan kekuasaan. Pada UU Ormas, pembubaran ada di yudikatif (pengadilan), tapi di perppu otoritas pembubaran di tangan pemerintah, ini potensi timbulkan abuse of power,” kata Al Araf. Lebih lanjut, Al Araf berpendapat, pemerintah yang represif justru memperkuat pengikut organisasi yang dibubarkan. Ia mencontohkan situasi di era rezim Orde Baru yang bertindak represif. Bukannya bubar, sejumlah ormas malah melakukan tindakan radikalisme. (rd-Red2017-di olah dari berbagai sumber)#.
Berikut ini redaksi kutif pendapat dari Prof.Yusril Ihza Mahendra (Pakar Hukum Tata Negara), Haris Azhar (Mantan Direktur Kontras), Rudi HB Daman (Ketu Umum GSBI), Ir. Said Iqbal (Presiden KSPI) dan Al Araf (Direktur Imparsial) tentang pendapatnya mengenai soal Perppu Ormas.
Yusril Ihza Mahendra (Pakar Hukum Tata Negara)
Yusril Ihza Mahendra menilai, setidaknya ada enam alasan pihaknya menolak perppu, hingga kemudian berencana mengajukan uji materi ke MK:
Pertama, perppu dinilai telah memberi kewenangan absolut bagi pemerintah untuk secara sepihak membubarkan sebuah ormas, tanpa melalui proses peradilan. Kewenangan itu dinilai bertentangan UUD 1945, yang menjamin warga negara untuk berserikat dan berkumpul.
Kedua, tidak ada hal kegentingan yang memaksa untuk diterbitkannya perppu. Kebijakan yang diambil dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Dalam Pasal 22 UUD 1945 disebut perppu hanya bisa diterbitkan dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa.
Ketiga, perppu dinilai menabrak tafsir kegentingan yang memaksa sebagaimana diatur dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009. Dalam putusan didefinisikan, perppu boleh diterbitkan bila belum ada undang-undang yang mengatur terkait suatu hal. Dalam hal ini terkait keberadaan ormas. Selain itu disebutkan, perppu bisa diterbitkan bila undang-undangnya ada, namun tidak memadai dan dirasa mendesak untuk diadakan. Sementara jika menunggu persetujuan DPR, memerlukan waktu yang cukup lama.
Keempat, perppu dinilai tumpang-tindih dengan pengaturan terkait delik penodaan agama yang telah diatur dalam KUHP. Dikhawatirkan dapat menghilangkan kepastian hukum yang dijamin dalam UUD 1945.
Kelima, perppu juga dinilai tumpang-tindih dengan pengaturan terkait delik permusuhan yang bersifat suku, agama, ras dan golongan yang telah diatur dalam KUHP. Dikhawatirkan bisa menghilangkan kepastian hukum yang dijamin dalam UUD 1945.
Keenam, perppu dinilai tumpangtindih dengan pengaturan terkait delik makar yang sudah diatur dalam KUHP. Dikhawatirkan dapat menghilangkan kepastian hukum yang dijamin dalam UUD 1945.
Haris Azhar (Mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Hariz Azhar bependapat, Secara hukum Perppu Ormas ini ngawur. Secara Politis kayaknya ada sesuatu. Saya curiga ada yang bermain di air keruh. Penerbitan Perppu hanya untuk keadaan mendesak atau ‘keadaan genting’. Sedangkan ukuran objektif penerbitan Perppu sudah dijelaskan dalam Putusan MK. Ada tiga syarat sebagai parameter adanya ‘kegentingan yang memaksa’ bagi Presiden untuk menetapkan Perppu: Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Jika itu terkait rencana pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia atau HTI, menurut Haris, Pemerintah RI sampai sekarang tidak pernah menjelaskan dan menguji di depan hukum, apa masalah HTI dan UU Ormas? Sebagaimana yang disebutkan dalam keputusan MK tersebut.
“Jadi, Pemerintah itu ikuti taffsir apa dan siapa?” kata Haris Azhar. “Jadi secara hukum Perppu Ormas ini ngawur. Secara Politis kayaknya ada sesuatu. Saya curiga ada yang bermain di air keruh,” kata dia.
Haris Azhar kemudian mengatakan, solusinya tetap memakai saja UU Ormas bukan Perppu Ormas, meskipun ia mempercayai UU ini pun masih banyak masalahnya juga. “Nanti serahkan kepada hakim, biar hakim yang tentukan. Tapi sekali lagi kayaknya Pemerintah takut bawa ke pengadilan. Takut kalah. Jadi Pemerintah mau main kayu, alias sepihak membubarkan,” katanya.
Rudi HB Daman, (Ketua Umum GSBI)
Lahirnya Perppu No.2 tahun 2017 menambah daftar panjang langkah pemerintah membatasi kebebasan berorganisasi dan menyampaikan pendapat yang menjadi hak dasar bagi rakyat Indonesia. Selama ini usaha pemberangusan kebebasan berorganisasi dan menyampaikan pendapat secara sistematis telah dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Masih tersimpan dalam memori kita, pada tahun 2015, diterbitkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 228 tahun 2015 tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian Pendapat Dimuka Umum Diruang Terbuka. Melalui aturan ini, aksi demonstrasi di Jakarta hanya diperbolehkan ditiga tempat, yaitu; Parkir Timur Senayan, Alun-Alun Demokrasi DPR dan Silang Selatan Monas. Bulan Januari Tahun 2017 ini, Walikota Tangerang mengeluarkan Peraturan Walikota Nomor 2 tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Penyampaian Pendapat di Muka Umum di Tangerang, menyatakan bahwa, “Penyampaian pendapat di muka umum dilarang dilakukan pada waktu: (a) Hari Sabtu dan Minggu, (b) Hari besar nasional dan hari besar lainnya yang ditentukan oleh pemerintah dan atau pemerintah daerah; dan (c) diluar ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1).
Ketiga peraturan diatas secara esensi mempunyai persamaan, yaitu melakukan pembatasan terhadap rakyat yang hendak menyampaikan aspirasi demokratisnya. Tempat penyelenggaraan aksi dibatasi, hari untuk menyelenggarakan aksi juga dibatasi, dan puncaknya melalui Perppu No.2 tahun 2017, pemerintah dapat membubarkan organisasi-organisasi yang dianggap tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila. Kebijakan-kebijakan tersebut sekaligus menjadi bukti nyata bahwa pemerintahan Jokowi-JK adalah rejim yang anti rakyat dan anti demokrasi.
Menurut Rudi, Hadirnya Perppu No. 2 tahun 2017 tidak dapat dipisahkan dengan situasi krisis yang terjadi dewasa ini. Dalam kondisi krisis yang terus memburuk, tidak ada pilihan bagi kapitalisme monopoli selain mengintensifkan tindasan terhadap rakyat diberbagai negeri. Memaksa pemerintah dinegeri-negeri setengah jajahan untuk menjalankan berbagai kebijakan yang dipandang perlu untuk bisa keluar dari krisis, di Indonesia termanifestasi dalam skema paket kebijakan ekonomi Jokowi-JK. Faktanya, paket kebijakan ekonomi Jokowi-JK tidak satupun bertujuan memberikan perbaikan penghidupan bagi rakyat Indonesia, sebaliknya paket kebijakan ekonomi lebih identik sebagai dikte imperialisme terhadap pemerintahan boneka Jokowi-JK. Melapangkan jalan bagi hadirnya investasi dengan berbagai kemudahan peraturan, disisi yang lain mengurangi dan mencabut subsidi publik, salah satunya dengan menetapkan formulasi pengupahan yang merugikan buruh.
Implementasi paket kebijakan ekonomi Jokowi-JK terang menhadirkan tindasan bagi rakyat Indonesia, termasuk memberikan pukulan bagi lawan-lawan politiknya. Tindasan ini pula yang kemudian menghadirkan perlawanan terhadap pemerintahan Jokowi-JK. Dalam keadaan demikian, rejim Jokowi-JK membutuhkan sebuah sarana yang jauh efektif untuk meredam seluruh usaha perlawanan rakyat menentang kebijakan pemerintah yang anti demokrasi, sehingga lahirlah Perppu No.2 tahun 2017.
Melalui Perppu No.2 tahun 2017, pemerintah mempunyai legitimasi untuk membubarkan organisasi-organisasi massa yang tidak berasaskan Pancasila ataupun organisasi yang dianggap memberikan ancaman terhadap keutuhan NKRI. Didalam Perppu juga diatur (Pasal 59), bahwa ormas dilarang untuk melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras atau golongan. Yang dimaksud dengan tindakan permusuhan adalah ucapan, pernyataan, sikap atau aspirasi, baik secara lisan maupun tertulis, baik melalui media elektronik maupun tidak melalui media elektronik yang menimbulkan kebencian, baik terhadap kelompok tertentu maupun terhadap setiap orang termasuk ke penyelenggara negara. Pasal ini memberikan ancaman yang serius terhadap organisasi massa termasuk pimpinan organisasi ketika menyampaikan aspirasi dan tuntutan kepada pemerintah.
Tindasan yang akan hadir melalui Perppu ini tidak hanya terkait dengan pembubaran organisasi massa yang dianggap tidak sejalan dengan Pancasila dan memberikan ancaman terhadap NKRI. Perppu juga mencantumkan pasal pidana, yakni dapat menghukum anggota dan pengurus ormas yang dianggap sengaja melanggar dengan pidana paling singkat 6 bulan dan paling lama 1 tahun bagi pelanggaran Pasal 59 ayat 3 huruf c (tindakan kekerasan, menganggu ketertiban umum, merusak fasilitas) dan d (melakukan kegiatan yang bukan menjadi tugas dan wewenang penegak hukum), dan pidana penjara seumur hidup, pidana paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun bagi pelanggar poin pasal 59 ayat 3 huruf a (tindakan permusuhan terhadap suku, agama, dan ras, golongan) dan b (penyalahgunaan, penistaan, penodaan terhadap agama). Ancaman pidana ini akan menambah banyak jumlah aktifis massa yang dikriminalisasi.
Ketua Umum GSBI Rudi HB Daman menilai, bahwa seolah-olah Perppu ini diarahkan ke ormas tertentu yaitu HTI dan kalangan Islam fundamentalis, padahal dampak dari keberadaan Perppu ini akan mengancam dan menyasar semua Ormas. Termasuk serikat buruh.
Satu hal yang membuat miris, Perppu ini memperkenalkan adanya sanksi pidana yang hukumannya seumur hidup. Perppu ini juga melarang orang berpikir diluar frame yang ditentukan pemerintah, warga negara harus berfikir hanya Pancasila, UUD 45 dan NKRI diluar itu haram. Hal lain, Perppu Ormas juga menempatkan pejabat negara lebih superior daripada warga negara, karena ada pasal terkait penghinaan terhadap pejabat negara, baca saja pasal 59 dan juga penjelasannya. Hal ini menegaskan arogansi negara karena mengabaikan serta meniadakan proses hukum dalam pembekuan dan pembubaran Ormas karena dalam Perppu ini mengatur pembubaran ormas yang tidak lagi harus menunggu putusan dari pengadilan.
Bagi Rudi, keluarnya Perppu Ormas akan menghambat gerakan rakyat. Karena sejak Jokowi berkuasa, sudah terbit 15 paket kebijakan ekonomi yang sepenuhnya di abdikan untuk melayani kepentingan kapitalis monopoli asing, tuan tanah besar dan borjuasi komprador. paket kebijakan ekonomi Jokowi anti buruh, Contohnya adalah PP 78/2015 tentang Pengupahan turunan dari Paket Kebijakan Ekonomi jilid 4. Oleh karena itu, keberadaan Perppu Ormas akan semakin menyulitkan gerakan rakyat untuk berjuang agar kebijakan yang salah tersebut bisa dihapus, karena kita tidak bisa mencap tindakan negara melalui aparatusnya dengan sebutan yang dapat dianggap menimbulkan kebencian.
“Oleh karena itu, gerakan buruh perlu bersikap, karena Perppu Ormas ini merupakan pembungkaman terhadap hak demokrasi, kebebasan berserikat/berorgansiasi termasuk hak menyampaikan pendapat secara bebas” ujar Rudi. Lebih lanjut Rudi mengatakan, Perppu Ormas bagian dari upaya untuk menjaga kestabilan politik bagi kepentingan investasi dan melanggengkan kekuasaan.
Ir. Said Iqbal (Presiden KSPI)
Keberadaan Perppu ini mengancam kebebasan berserikat bagi masyarakat sipil. Tidak hanya itu, keberadaan Perppu ini juga dinilai bisa menjadi pintu masuk kembalinya rezim otoriter.
Lebih lanjut Presdien KSPI ini menegaskan, bahwa keberadaan Perppu ini akan menghambat gerakan sipil – termasuk gerakan buruh — dalam meperjuangan hak-haknya. Hal ini, karena, dengan adanya Perppu Ormas ini, Pemerintah akan dengan mudah bisa membubarkan Ormas yang dianggap tidak sejalan dengan kepentingan dan kemauan pemerintah. “Wewenang pemerintah untuk membubarkan ormas secara sepihak bertentangan dengan prinsip negara hukum,” katanya.
Said Iqbal menilai, tidak menutup kemungkinan Pemerintah juga membubarkan serikat buruh tanpa melalui proses pengadilan. Lebih lanjut pria yang juga menjadi Governing Body ILO ini menegaskan, arogansi kekuasaan tercium sangat kuat dalam Perppu Ormas ini.
Sekedar mengingatkan, saat masih berupa RUU, KSPI dan buruh Indonesia sudah ikut mengawal pembahasan RUU Ormas. Saat itu buruh berpendapat, RUU Ormas kala itu menutup kebebasan masyarakat sipil karena yang mendapat represi adalah kelompok buruh dan rakyat adat, sebab bisa jadi setiap tuntutan mereka akan disebut sebagai ancaman keamanan nasional. Karena itulah, kata Said Iqbal, ketika kemudian diterbitkan Perppu Ormas yang berpotensi mengekang kebebasan berserikat dan berekspresi, maka KSPI akan bergerak kembali dan menegaskan sikapnya Menolak Perppu Ormas ini.
Lebih lanjut Said Iqbal menjelaskan, mendukung upaya pemerintah memberantas paham radikalisme, terorisme, dan segala hal yang bertentangan dengan idiologi Pancasila. Tetapi tidak dengan menerbitkan Perppu Ormas. Karena tuduhan seperti itu harus dibuktikan terlebih dahulu di pengadilan.
Bahwa keberadaan Perppu Ormas tidak tepat. “Pemerintah seperti kurang kerjaan dengan menerbitkan Perppu Ormas. Ditengah kelesuan ekonomi dan menurunnya daya beli masyarakat akibat upah murah (dikarenakan terbitnya PP 78/2015), sehingga mengancam PHK besar-besaran di sektor ritel seperti 7-eleven dan Hypermart, dan tidak menutup kemungkinan potensi PHK pekerja ritel di Hero, Ramayana, hingga Giant.
Alih-alih mencari solusi penyelesaian, Pemerintah malah mengeluarkan Perppu Ormas yang tidak bermanfaat bagi masyarakat untuk saat ini. “Di tengah menumpuknya hutang pemerintah yang semakin menggunung dan kelesuan ekonomi, seharusnya pemerintah fokus pada masalah ini. Bukan malah melakukan pengalihan isu, dengan mengeluarkan Perppu Ormas.”
Sementara itu, banyaknya perusahaan yang melakukan PHK dan tidak membayar THR seperti PT Smelting di Gresik dan PT Freeport di Papua. Terkait kasus ini pun tidak ada penyelesaian oleh Menteri Ketenagakerjaan. Termasuk pengusiran terhadap TKI di Malaysia, dan mahalmya gas industri di sektor keramik yang berdampak pada PHK besar-besaran di industri keramik. “Seharusnya permasalahan inilah yang dikedepankan pemerintah, ketimbang mengeluarkan Perppu Ormas. Buruh dan rakyat kecil tidak butuh Perppu Ormas”.tegas Said Iqbal.
AL Araf (Direktur Imparsial)
Perppu Ormas bersifat represif yang mengancam demokrasi serta hak asasi manusia.
Al Araf menilai, langkah pemerintah menerbitkan Perppu Ormas sangat keliru. Dari segi hukum sudah ada undang-undang yang mengatur ormas, yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyaraatan (UU Ormas). Dalam UU tersebut, kata Al Araf, sudah diatur mekanisme pembubaran ormas. Mulai dari persuasi, peringatan satu sampai tiga dan pemberhentian sementara selama enam bulan. Pembubaran bisa diajukan pemerintah ke pengadilan dan hakim yang akan menentukan pembubaran tersebut.
“Pembubaran ormas yang awalnya berdasarkan hukum jadi berdasarkan kekuasaan. Pada UU Ormas, pembubaran ada di yudikatif (pengadilan), tapi di perppu otoritas pembubaran di tangan pemerintah, ini potensi timbulkan abuse of power,” kata Al Araf. Lebih lanjut, Al Araf berpendapat, pemerintah yang represif justru memperkuat pengikut organisasi yang dibubarkan. Ia mencontohkan situasi di era rezim Orde Baru yang bertindak represif. Bukannya bubar, sejumlah ormas malah melakukan tindakan radikalisme. (rd-Red2017-di olah dari berbagai sumber)#.