RUU Perkelapasawitan Upaya Perluas Perampasan Tanah, Eksploitasi Sumber Daya Alam dan Penghisapan Terhadap Rakyat.
RUU Perkelapasawitan Upaya Perluas Perampasan Tanah, Eksploitasi Sumber Daya Alam dan Penghisapan Terhadap Rakyat. “Dampak buruk yang d...
https://www.infogsbi.or.id/2018/03/ruu-perkelapasawitan-upaya-perluas.html?m=0
RUU Perkelapasawitan Upaya Perluas Perampasan Tanah, Eksploitasi Sumber Daya Alam dan Penghisapan Terhadap Rakyat.
“Dampak buruk yang ditimbulkan perusahaan perkebunan sawit terhadap rakyat sebenarnya sudah bukan rahasia lagi, perampasan tanah rakyat, pengusiran masyarakat adat, tindak kekerasan, pelanggaran HAM, kriminalisasi, pelanggaran hak buruh kebun, pembakaran lahan dan hutan sudah kerap menghiasi berita di berbagai media.”
Pembahasan RUU perkelapasawitan di DPR RI telah mendekati babak akhir yaitu tahap penyempurnaan. RUU ini sejak awal telah mendapatkan penolakan dari masyarakat dan berbagai organisasi non pemerintah (NGO). Penolakan keras dilakukan sebab isi dan pasal-pasal di dalamnya akan semakin memperkuat posisi monopoli perusahaan perkebunan sawit besar atas tanah, produksi, maupun perdagangan komoditas sawit beserta produk turunannya.
Perusahaan perkebunan bahkan di berikan kemudahan oleh RUU ini untuk meluaskan tanah perkebunan dan pabriknya di atas tanah produktif milik rakyat dan juga masyarakat adat. Disaat yang bersamaan petani kecil, petani plasma dan buruh kebun tidak mendapatkan jaminan apapun untuk upah layak, penetapan harga yang adil maupun bagi hasil yang adil.
Ekspansi perkebunan sawit telah meningkatkan angka perampasan tanah rakyat dan mengusir masyarakat adat, selain itu hampir di setiap pengambilan tanah terjadi kekerasan, pelanggaran HAM dan kriminalisasi. Sepanjang 2016, Ombudsman RI mencatat 450 konflik agraria dengan luas 1.265.027 hektar. Perkebunan menduduki peringkat tertinggi, dengan 163 konflik atau 601.680 hektar, terbanyak di perkebunan sawit.
Perluasan perkebunan telah merampas jutaan hektar tanah subur milik rakyat juga tanah masyarakat adat, selain itu jutaan hektar hutan telah berubah fungsi menjadi perkebunan sawit yang tentunya mengusir rakyat dan masyarakat adat yang mendiami dan merawat hutan sebagai sumber hidup.
Selama ini perusahaan perkebunan besar kelapa sawit juga merampas hak petani kecil kelapa sawit baik itu petani swadaya maupun petani plasma melalui penetapan harga yang tidak adil, monopoli benih bersertifikat, pembebanan biaya angkut TBS kepada petani plasma, dan pemotongan harga jual TBS petani secara sepihak.
Praktek monopoli oleh perusahaan besar perkebunan dan pengolahan kelapa sawit menyebabkan petani kecil petani dan plasma harus menanggung kerugian atas beban biaya produksi pengolahan kebun yang angkanya di tetapkan secara tidak transparan juga oleh perusahaan perkebunan sebagai perusahaan inti penyedia kredit.
Monopoli Perkebunan Besar : Warisan Penjajahan Kolonial dan Agenda Liberalisasi Pertanian
Perkebunan dan negara merupakan dua lembaga yang sejak jaman penjajahan Belanda hingga kini selalu berkolaborasi. Negara, menggunakan perkebunan sebagai alat penghasil devisa (sumber pemasukan), sementara perkebunan menggunakan negara untuk menjamin dan memperbesar akumulasi keuntungannya.
Perkebunan besar menguasai tanah luas di Indonesia sejak penjajahan kolonial belanda. Sejak Abad ke-17 Tanah subur kaum tani di ambil paksa untuk ditanami tanaman yang laku di pasaran dunia seperti karet, kopi, kakao dan kelapa. Kemudian kelapa sawit mulai di tanam di perkebunan pada abad ke 19. Untuk memperbesar keuntungannya Pemerintah kolonial Belanda melakukan eksploitasi menggunakan sistem tanam paksa, kerja kontrak dan transmigrasi untuk memobilisasi tenaga kerja di perkebunan.
Monopoli tanah oleh perkebunan semakin luas dengan dikeluarkannya Undang-Undang Agraria Kolonial (agrarische wet) pada tahun 1870 yang memberikan hak pengusaha perkebunan swasta (hak erfpacht) untuk menguasai tanah. Pelaksanaan Agrarische Wet dalam bentuk administrasi tanah, perubahan kawasan hutan, pengakuan tanah kolonial, sewa tanah, pajak tanah dan pengakuan tanah kerajaan telah berhasil menyediakan tanah luas untuk perkebunan asing dan perkebunan Kolonial. Kemudian pembangunan infrastruktur jalan kereta dan jalan raya di galakkan untuk mempermudah pengangkutan komoditas perkebunan.
Ciri utama perkebunan kolonial pertama adalah penguasaan (monopoli) tanah oleh perusahaan pemerintah kolonial, swasta asing dengan bekerjasama dengan tuan tanah lokal. Ciri kedua adalah pergeseran dari tanaman pangan kebutuhan konsumsi sehari-hari (subsisten) menjadi tanaman komoditi untuk dipasarkan di eropa dan luar negeri. Ketiga adalah sistem kerja kontrak dan mobilisasi tenaga kerja murah melalui transmigrasi. Keempat adalah penerapan sewa tanah dan pajak tanah terhadap rakyat.
Sistem agraria dan perkebunan kolonial mengakibatkan krisis ekonomi dan pangan di tengah rakyat. Pada tahun 1880 tercatat hampir separuh penduduk pulau Jawa meninggal karena bencana kelaparan dan wabah penyakit. Disaat bersamaan perkebunan kolonial dan perkebunan swasta menghasilkan pemasukan besar bagi pemerintah kolonial, 70% pemasukan kerajaan belanda bersumber dari tanah jajahan di Hindia Belanda.
Krisis di tengah rakyat memunculkan perlawanan kaum tani, tercatat ratusan aksi perlawanan kaum tani terhadap penjajah pecah antara tahun 1830-1942 termasuk diantaranya pemberontakan tani di banten 1880, perlawanan kaum tani yang di pimpin entong gendut tahun 1916 juga pemberonta-kan kaum tani tahun 1926-1927. Bahkan kaum tani menjadi elemen paling besar yang ambil bagian dalam perjuangan kemerdekaan nasional Indonesia.
Terusirnya penjajah Belanda dan Jepang tidak otomatis menghapuskan sistem perkebunan kolonial yang memonopoli tanah rakyat. Perjanjian Konfrensi Meja Bundar (KMB) 1949 justru memberikan kembali tanah-tanah yang sudah dikuasai rakyat ke tangan asing, bahkan Indonesia harus memberikan ganti rugi kepada pemerintah kolonial Belanda.
Pemerintah orde baru dibawah Jendral Suharto semakin memperkuat monopoli perusahaan negara dan perusahaan swasta atas tanah luas di Indonesia. Program revolusi Hijau dan Liberalisasi Pertanian di bawah orde baru justru meningkatkan kemiskinan dan pengambilalihan lahan kaum tani, sedangkan lahan hutan tempat hidup rakyat juga dikuasai melalui Ijin HPH. PTPN dan Perhutani. Bahkan UUPA no.5 tahun 1960 pun tidak pernah dijalankan secara konsisten.
Krisis ekonomi dunia yang terjadi terus-menerus pada tahun 1980, tahun 1998 dan krisis finansial (financial meltdown) 2008 mendorong semakin meluasnya pengambilalihan lahan serta sumber alam oleh perusahaan transnasional dan multinasional melalui program liberalisasi.
Liberalisasi pertanahan dan sumber daya alam Indonesia di kawal oleh Bank Dunia melalui proyek administrasi tanah yaitu Land Administration Project (LAP) tahun 1994 dan proyek Land Management and Policy Development Project (LMPDP) tahun 2004. Program tersebut memudahkan pengambilalihan tanah melalui sertifikasi, pasar tanah (liberalisasi pertanahan), kredit perbankan dan jual beli sertifikat. Selain itu Bank Dunia ini mendorong pemerintah Indonesia memberikan kemudahan pemberian ijin penguasaan tanah oleh investor asing dan perkebunan besar melalui alih fungsi kawasan hutan menjadi perkebunan komoditas.
Ekspansi perkebunan besar kelapasawit di Indonesia sejak tahun 1980 meningkat 40 kali lipat hingga tahun 2017 yang luasnya kini mencapai lebih dari 11 juta hektar. Jumlah tersebut termasuk areal perkebunan plasma dan kebun rakyat yang di monopoli hasilnya oleh perusahaan perkebunan.
Dampak Buruk Perkebunan Sawit di Indonesia
Praktek monopoli tanah luas untuk tanaman komoditi sawit tidak memberikan kesejahteraan dan jaminan sosial bagi kaum Tani. Dampak monopoli dan perampasan tanah oleh perkebunan sawit besar adalah meningkatnya jumlah petani miskin di Indonesia, saat ini Sekitar 65% dari petani Indonesia adalah petani miskin dan petani tidak memiliki tanah.
Lahan merupakan sumber ekonomi utama yang dimiliki oleh masyarakat pedesaan yang secara langsung dapat diakses untuk meningkatkan taraf hidup. Hadirnya perkebunan kelapa sawit telah menghilangkan akses masyarakat sekitar kebun atas lahan karena telah terjadi peralihan penguasan ke tangan perusahaan besar.
Sumber makanan di desa juga mengalami perubahan, yang semula di dapat dari hasil bercocok tanam atau mengambil dari hutan seperti sayuran dan beras sekarang berubah dengan cara membeli dari pasar atau warung yang ada sekitar dusun. Mata pencaharian pun berubah dari berladang menjadi berkebun atau menjadi buruh di perusahan. Proses perubahan ini berimbas pada biaya hidup dan bertani yang cukup tinggi. Dampak lain adalah hilangnya budaya gotong royong dan berbagi antar sesama.
Kehidupan buruh kebun juga tidak lebih baik, Sistem kerja di perkebunan sawit berbasis pada jam kerja dan borongan disertai dengan sanksi (denda). Perkebunan menerapkan sistem kerja berdasarkan jam kerja dan pencapaian target tertentu. Implikasinya, bila seorang buruh telah bekerja 7 jam/hari tetapi belum mencapai target yang telah ditentukan, buruh tidak diperkenankan pulang sebelum target kerja tercapai. Sebaliknya bila target telah tercapai namun belum mencapai 7 jam kerja, buruh belum dibenarkan pulang hingga 7 jam kerja terpenuhi.
Pola rekrutmen buruh oleh perkebunan menggunakan sistem buruh kontrak yang di upah murah. Perusahaan perkebunan mengambil keuntungan dengan cara meminimalisasi “buruh tetap” hanya untuk level manajemen, sementara buruh lapangan lebih menggunakan buruh harian lepas (BHL). Hubungan kerja faktor paling berpengaruh terhadap upah dan akses terhadap kesejahteraan.
Ekspansi perkebunan kelapa sawit berbanding lurus dengan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Tahun 2016 pembakaran hutan dan lahan mengakibatkan petaka bagi rakyat dan negara Indonesia. Pembakaran telah mengakibatkan 24 orang meninggal dunia, lebih dari 600 ribu jiwa menderita ISPA, dan sebanyak 60 juta jiwa terpapar asap. Seluas 2,6 juta hektar hutan dan lahan terbakar mengakibatkan kerugian sebesar 221 Trilyun rupiah, negara harus mengeluarkan dana sebesar 720 milyar untuk mengatasi kebakaran (BNPB, 2015).
Pembahasan RUU Perkelapasawitan harus di hentikan
Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkelapasawitan di DPR RI sejak 2016 di latar belakangi besarnya nilai bisnis sawit. Pemerintah bahkan menggenjot bisnis sawit dengan mengundang investor asing menanamkan modal dengan berbagai kemudahan perijinan dan pajak. Dengan kebijakan tersebut pemerintah menargetkan naiknya ekspor minyak sawit mencapai 40 juta ton di tahun 2020. Ironisnya tindakan pemerintah ini dilakukan di tengah tidak jelasnya moratorium pemberian ijin baru perkebunan kelapa sawit.
Baik RUU Perkelapasawitan, regulasi pemerintah dan program reforma agraria yang sedang dijalankan pemerintah sesungguhnya menguntungkan pengusaha kelapa sawit, bukan petani miskin dan buruh tani. RUU perkelapasawitan sendiri tidak sama sekali memuat perlindungan terhadap hak rakyat yang selama ini menjadi korban perampasan tanah, kekerasan, kriminalisasi maupun penghisapan yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan besar. Persoalan jaminan pemenuhan hak buruh kebun bahkan seolah-olah hilang dalam naskah RUU ini.
RUU ini justru melegitimasi perluasan areal perkebunan besar melalui kemudahan perijinan, penyediaan lahan plasma, pengalihan fungsi hutan dan gambut serta memperbolehkan tanah rakyat menjadi bagian areal perkebunan kelapa sawit. Bahkan tanah ulayat milik masyarakat adat pun di perbolehkan menjadi sasaran ekspansi perkebunan.
Perusahaan perkebunan juga diperbolehkan memonopoli pemilikan lahan hingga 100.000 hektar, disaat jutaan kaum tani miskin hanya memiliki tanah dengan luas dibawah 0,25 hektar saja bahkan tanpa tanah. Tentunya ini bertentangan dengan semangat reforma agraria yang juga tertuang dalam UUPA no 5 tahun 1960 yang memprioritaskan tanah produktif dikuasai oleh rakyat dan untuk kemakmuran rakyat.
Persoalan petani kecil kelapasawit dan petani plasma atas rendahnya harga beli TBS oleh perusahaan besar dan pembebananan biaya angkut serta biaya produksi juga tidak menjadi perhatian. RUU ini justru memperkuat monopoli perkebunan besar kelapa sawit atas penguasaan hasil produksi kebun petani kecil melalui dewan penetapan harga yang didominasi pengusaha, pengenaan potongan harga TBS dan monopoli bibit bersertifikat yang saat ini hanya dikuasai pe-rusahaan seperti Wilmar dan Grup Sinarmas.
Meluasnya perkebunan kelapasawit telah menghadirkan penderitaan bagi kaum tani serta ancaman kedaulatan pangan, ketika puluhan juta hektar tanah produktif dijadikan tanaman komoditi ekspor semacam sawit.
Maka RUU perkelapasawitan bukanlah kebijakan yang memberikan harapan bagi ekonomi rakyat. RUU ini adalah upaya eksploitasi terhadap sumber alam, perampasan tanah, eksploitasi buruh serta penghisapan terhadap rakyat. RUU ini warisan sistem kolonial yang berbasis monopoli tanah luas oleh perkebunan untuk tanaman komoditi ekspor dengan memeras keringat rakyat. RUU ini menguatkan posisi monopoli atas tanah, sumberdaya alam, pasar dan tenaga kerja dengan tambahan “bedak” neoliberal dalam bentuk pasar tanah dan kredit perbankan.
Dalam RUU Perkelapasawitan, Perusahaan perkebunan diperbolehkan memonopoli pemilikan lahan hingga 100.000 hektar, disaat jutaan kaum tani miskin hanya memiliki tanah dengan luas dibawah 0,25 hektar saja bahkan tak bertanah samasekali. [].
“Dampak buruk yang ditimbulkan perusahaan perkebunan sawit terhadap rakyat sebenarnya sudah bukan rahasia lagi, perampasan tanah rakyat, pengusiran masyarakat adat, tindak kekerasan, pelanggaran HAM, kriminalisasi, pelanggaran hak buruh kebun, pembakaran lahan dan hutan sudah kerap menghiasi berita di berbagai media.”
Pembahasan RUU perkelapasawitan di DPR RI telah mendekati babak akhir yaitu tahap penyempurnaan. RUU ini sejak awal telah mendapatkan penolakan dari masyarakat dan berbagai organisasi non pemerintah (NGO). Penolakan keras dilakukan sebab isi dan pasal-pasal di dalamnya akan semakin memperkuat posisi monopoli perusahaan perkebunan sawit besar atas tanah, produksi, maupun perdagangan komoditas sawit beserta produk turunannya.
Perusahaan perkebunan bahkan di berikan kemudahan oleh RUU ini untuk meluaskan tanah perkebunan dan pabriknya di atas tanah produktif milik rakyat dan juga masyarakat adat. Disaat yang bersamaan petani kecil, petani plasma dan buruh kebun tidak mendapatkan jaminan apapun untuk upah layak, penetapan harga yang adil maupun bagi hasil yang adil.
Ekspansi perkebunan sawit telah meningkatkan angka perampasan tanah rakyat dan mengusir masyarakat adat, selain itu hampir di setiap pengambilan tanah terjadi kekerasan, pelanggaran HAM dan kriminalisasi. Sepanjang 2016, Ombudsman RI mencatat 450 konflik agraria dengan luas 1.265.027 hektar. Perkebunan menduduki peringkat tertinggi, dengan 163 konflik atau 601.680 hektar, terbanyak di perkebunan sawit.
Perluasan perkebunan telah merampas jutaan hektar tanah subur milik rakyat juga tanah masyarakat adat, selain itu jutaan hektar hutan telah berubah fungsi menjadi perkebunan sawit yang tentunya mengusir rakyat dan masyarakat adat yang mendiami dan merawat hutan sebagai sumber hidup.
Selama ini perusahaan perkebunan besar kelapa sawit juga merampas hak petani kecil kelapa sawit baik itu petani swadaya maupun petani plasma melalui penetapan harga yang tidak adil, monopoli benih bersertifikat, pembebanan biaya angkut TBS kepada petani plasma, dan pemotongan harga jual TBS petani secara sepihak.
Praktek monopoli oleh perusahaan besar perkebunan dan pengolahan kelapa sawit menyebabkan petani kecil petani dan plasma harus menanggung kerugian atas beban biaya produksi pengolahan kebun yang angkanya di tetapkan secara tidak transparan juga oleh perusahaan perkebunan sebagai perusahaan inti penyedia kredit.
Monopoli Perkebunan Besar : Warisan Penjajahan Kolonial dan Agenda Liberalisasi Pertanian
Perkebunan dan negara merupakan dua lembaga yang sejak jaman penjajahan Belanda hingga kini selalu berkolaborasi. Negara, menggunakan perkebunan sebagai alat penghasil devisa (sumber pemasukan), sementara perkebunan menggunakan negara untuk menjamin dan memperbesar akumulasi keuntungannya.
Perkebunan besar menguasai tanah luas di Indonesia sejak penjajahan kolonial belanda. Sejak Abad ke-17 Tanah subur kaum tani di ambil paksa untuk ditanami tanaman yang laku di pasaran dunia seperti karet, kopi, kakao dan kelapa. Kemudian kelapa sawit mulai di tanam di perkebunan pada abad ke 19. Untuk memperbesar keuntungannya Pemerintah kolonial Belanda melakukan eksploitasi menggunakan sistem tanam paksa, kerja kontrak dan transmigrasi untuk memobilisasi tenaga kerja di perkebunan.
Monopoli tanah oleh perkebunan semakin luas dengan dikeluarkannya Undang-Undang Agraria Kolonial (agrarische wet) pada tahun 1870 yang memberikan hak pengusaha perkebunan swasta (hak erfpacht) untuk menguasai tanah. Pelaksanaan Agrarische Wet dalam bentuk administrasi tanah, perubahan kawasan hutan, pengakuan tanah kolonial, sewa tanah, pajak tanah dan pengakuan tanah kerajaan telah berhasil menyediakan tanah luas untuk perkebunan asing dan perkebunan Kolonial. Kemudian pembangunan infrastruktur jalan kereta dan jalan raya di galakkan untuk mempermudah pengangkutan komoditas perkebunan.
Ciri utama perkebunan kolonial pertama adalah penguasaan (monopoli) tanah oleh perusahaan pemerintah kolonial, swasta asing dengan bekerjasama dengan tuan tanah lokal. Ciri kedua adalah pergeseran dari tanaman pangan kebutuhan konsumsi sehari-hari (subsisten) menjadi tanaman komoditi untuk dipasarkan di eropa dan luar negeri. Ketiga adalah sistem kerja kontrak dan mobilisasi tenaga kerja murah melalui transmigrasi. Keempat adalah penerapan sewa tanah dan pajak tanah terhadap rakyat.
Sistem agraria dan perkebunan kolonial mengakibatkan krisis ekonomi dan pangan di tengah rakyat. Pada tahun 1880 tercatat hampir separuh penduduk pulau Jawa meninggal karena bencana kelaparan dan wabah penyakit. Disaat bersamaan perkebunan kolonial dan perkebunan swasta menghasilkan pemasukan besar bagi pemerintah kolonial, 70% pemasukan kerajaan belanda bersumber dari tanah jajahan di Hindia Belanda.
Krisis di tengah rakyat memunculkan perlawanan kaum tani, tercatat ratusan aksi perlawanan kaum tani terhadap penjajah pecah antara tahun 1830-1942 termasuk diantaranya pemberontakan tani di banten 1880, perlawanan kaum tani yang di pimpin entong gendut tahun 1916 juga pemberonta-kan kaum tani tahun 1926-1927. Bahkan kaum tani menjadi elemen paling besar yang ambil bagian dalam perjuangan kemerdekaan nasional Indonesia.
Terusirnya penjajah Belanda dan Jepang tidak otomatis menghapuskan sistem perkebunan kolonial yang memonopoli tanah rakyat. Perjanjian Konfrensi Meja Bundar (KMB) 1949 justru memberikan kembali tanah-tanah yang sudah dikuasai rakyat ke tangan asing, bahkan Indonesia harus memberikan ganti rugi kepada pemerintah kolonial Belanda.
Pemerintah orde baru dibawah Jendral Suharto semakin memperkuat monopoli perusahaan negara dan perusahaan swasta atas tanah luas di Indonesia. Program revolusi Hijau dan Liberalisasi Pertanian di bawah orde baru justru meningkatkan kemiskinan dan pengambilalihan lahan kaum tani, sedangkan lahan hutan tempat hidup rakyat juga dikuasai melalui Ijin HPH. PTPN dan Perhutani. Bahkan UUPA no.5 tahun 1960 pun tidak pernah dijalankan secara konsisten.
Krisis ekonomi dunia yang terjadi terus-menerus pada tahun 1980, tahun 1998 dan krisis finansial (financial meltdown) 2008 mendorong semakin meluasnya pengambilalihan lahan serta sumber alam oleh perusahaan transnasional dan multinasional melalui program liberalisasi.
Liberalisasi pertanahan dan sumber daya alam Indonesia di kawal oleh Bank Dunia melalui proyek administrasi tanah yaitu Land Administration Project (LAP) tahun 1994 dan proyek Land Management and Policy Development Project (LMPDP) tahun 2004. Program tersebut memudahkan pengambilalihan tanah melalui sertifikasi, pasar tanah (liberalisasi pertanahan), kredit perbankan dan jual beli sertifikat. Selain itu Bank Dunia ini mendorong pemerintah Indonesia memberikan kemudahan pemberian ijin penguasaan tanah oleh investor asing dan perkebunan besar melalui alih fungsi kawasan hutan menjadi perkebunan komoditas.
Ekspansi perkebunan besar kelapasawit di Indonesia sejak tahun 1980 meningkat 40 kali lipat hingga tahun 2017 yang luasnya kini mencapai lebih dari 11 juta hektar. Jumlah tersebut termasuk areal perkebunan plasma dan kebun rakyat yang di monopoli hasilnya oleh perusahaan perkebunan.
Dampak Buruk Perkebunan Sawit di Indonesia
Praktek monopoli tanah luas untuk tanaman komoditi sawit tidak memberikan kesejahteraan dan jaminan sosial bagi kaum Tani. Dampak monopoli dan perampasan tanah oleh perkebunan sawit besar adalah meningkatnya jumlah petani miskin di Indonesia, saat ini Sekitar 65% dari petani Indonesia adalah petani miskin dan petani tidak memiliki tanah.
Lahan merupakan sumber ekonomi utama yang dimiliki oleh masyarakat pedesaan yang secara langsung dapat diakses untuk meningkatkan taraf hidup. Hadirnya perkebunan kelapa sawit telah menghilangkan akses masyarakat sekitar kebun atas lahan karena telah terjadi peralihan penguasan ke tangan perusahaan besar.
Sumber makanan di desa juga mengalami perubahan, yang semula di dapat dari hasil bercocok tanam atau mengambil dari hutan seperti sayuran dan beras sekarang berubah dengan cara membeli dari pasar atau warung yang ada sekitar dusun. Mata pencaharian pun berubah dari berladang menjadi berkebun atau menjadi buruh di perusahan. Proses perubahan ini berimbas pada biaya hidup dan bertani yang cukup tinggi. Dampak lain adalah hilangnya budaya gotong royong dan berbagi antar sesama.
Kehidupan buruh kebun juga tidak lebih baik, Sistem kerja di perkebunan sawit berbasis pada jam kerja dan borongan disertai dengan sanksi (denda). Perkebunan menerapkan sistem kerja berdasarkan jam kerja dan pencapaian target tertentu. Implikasinya, bila seorang buruh telah bekerja 7 jam/hari tetapi belum mencapai target yang telah ditentukan, buruh tidak diperkenankan pulang sebelum target kerja tercapai. Sebaliknya bila target telah tercapai namun belum mencapai 7 jam kerja, buruh belum dibenarkan pulang hingga 7 jam kerja terpenuhi.
Pola rekrutmen buruh oleh perkebunan menggunakan sistem buruh kontrak yang di upah murah. Perusahaan perkebunan mengambil keuntungan dengan cara meminimalisasi “buruh tetap” hanya untuk level manajemen, sementara buruh lapangan lebih menggunakan buruh harian lepas (BHL). Hubungan kerja faktor paling berpengaruh terhadap upah dan akses terhadap kesejahteraan.
Ekspansi perkebunan kelapa sawit berbanding lurus dengan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Tahun 2016 pembakaran hutan dan lahan mengakibatkan petaka bagi rakyat dan negara Indonesia. Pembakaran telah mengakibatkan 24 orang meninggal dunia, lebih dari 600 ribu jiwa menderita ISPA, dan sebanyak 60 juta jiwa terpapar asap. Seluas 2,6 juta hektar hutan dan lahan terbakar mengakibatkan kerugian sebesar 221 Trilyun rupiah, negara harus mengeluarkan dana sebesar 720 milyar untuk mengatasi kebakaran (BNPB, 2015).
Pembahasan RUU Perkelapasawitan harus di hentikan
Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkelapasawitan di DPR RI sejak 2016 di latar belakangi besarnya nilai bisnis sawit. Pemerintah bahkan menggenjot bisnis sawit dengan mengundang investor asing menanamkan modal dengan berbagai kemudahan perijinan dan pajak. Dengan kebijakan tersebut pemerintah menargetkan naiknya ekspor minyak sawit mencapai 40 juta ton di tahun 2020. Ironisnya tindakan pemerintah ini dilakukan di tengah tidak jelasnya moratorium pemberian ijin baru perkebunan kelapa sawit.
Baik RUU Perkelapasawitan, regulasi pemerintah dan program reforma agraria yang sedang dijalankan pemerintah sesungguhnya menguntungkan pengusaha kelapa sawit, bukan petani miskin dan buruh tani. RUU perkelapasawitan sendiri tidak sama sekali memuat perlindungan terhadap hak rakyat yang selama ini menjadi korban perampasan tanah, kekerasan, kriminalisasi maupun penghisapan yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan besar. Persoalan jaminan pemenuhan hak buruh kebun bahkan seolah-olah hilang dalam naskah RUU ini.
RUU ini justru melegitimasi perluasan areal perkebunan besar melalui kemudahan perijinan, penyediaan lahan plasma, pengalihan fungsi hutan dan gambut serta memperbolehkan tanah rakyat menjadi bagian areal perkebunan kelapa sawit. Bahkan tanah ulayat milik masyarakat adat pun di perbolehkan menjadi sasaran ekspansi perkebunan.
Perusahaan perkebunan juga diperbolehkan memonopoli pemilikan lahan hingga 100.000 hektar, disaat jutaan kaum tani miskin hanya memiliki tanah dengan luas dibawah 0,25 hektar saja bahkan tanpa tanah. Tentunya ini bertentangan dengan semangat reforma agraria yang juga tertuang dalam UUPA no 5 tahun 1960 yang memprioritaskan tanah produktif dikuasai oleh rakyat dan untuk kemakmuran rakyat.
Persoalan petani kecil kelapasawit dan petani plasma atas rendahnya harga beli TBS oleh perusahaan besar dan pembebananan biaya angkut serta biaya produksi juga tidak menjadi perhatian. RUU ini justru memperkuat monopoli perkebunan besar kelapa sawit atas penguasaan hasil produksi kebun petani kecil melalui dewan penetapan harga yang didominasi pengusaha, pengenaan potongan harga TBS dan monopoli bibit bersertifikat yang saat ini hanya dikuasai pe-rusahaan seperti Wilmar dan Grup Sinarmas.
Meluasnya perkebunan kelapasawit telah menghadirkan penderitaan bagi kaum tani serta ancaman kedaulatan pangan, ketika puluhan juta hektar tanah produktif dijadikan tanaman komoditi ekspor semacam sawit.
Maka RUU perkelapasawitan bukanlah kebijakan yang memberikan harapan bagi ekonomi rakyat. RUU ini adalah upaya eksploitasi terhadap sumber alam, perampasan tanah, eksploitasi buruh serta penghisapan terhadap rakyat. RUU ini warisan sistem kolonial yang berbasis monopoli tanah luas oleh perkebunan untuk tanaman komoditi ekspor dengan memeras keringat rakyat. RUU ini menguatkan posisi monopoli atas tanah, sumberdaya alam, pasar dan tenaga kerja dengan tambahan “bedak” neoliberal dalam bentuk pasar tanah dan kredit perbankan.
Dalam RUU Perkelapasawitan, Perusahaan perkebunan diperbolehkan memonopoli pemilikan lahan hingga 100.000 hektar, disaat jutaan kaum tani miskin hanya memiliki tanah dengan luas dibawah 0,25 hektar saja bahkan tak bertanah samasekali. [].