Krisis Imperialisme dan Skema Kebijakan Amerika Serikat (AS)
Krisis Imperialisme dan Skema Kebijakan Amerika Serikat (AS) Krisis Imperialime yang semakin akut akibat krisis finansial dan over-produk...
https://www.infogsbi.or.id/2018/04/krisis-imperialisme-dan-skema-kebijakan.html?m=0
Krisis Imperialisme dan Skema Kebijakan Amerika Serikat (AS)
Krisis Imperialime yang semakin akut akibat krisis finansial dan over-produksi telah mengakibatkan kemiskinan dan pengangguran yang semakin besar. Negeri-negeri imperialis, khususnya Amerika Serikat hingga saat ini terus mencari celah dan cara agar dapat mengatasi kondisi krisis yang semakin dalam. Berbagai skema kebijakan ekonomi, politik, militer dan keamanan yang dijalankan oleh negeri-negeri Imperialis terutama AS yang semakin memberikan beban krisis semakin dalam bagi negeri jajahan/setengah jajahan seperti di Indonesia. Melalui skema kebijakan ekonomi neo-liberalnya yang terus diperkuat serta ditopang oleh politik militernya yang bar-bar, AS terus berupaya memastikan diktenya di seluruh negeri.
Imperialis AS terus berusaha mempromosikan peningkatan produksi dan lapangan pekerjaan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi palsu yang menghisap dan menindas rakyat. Kapitalis monopoli internasional terus meraup super profit dengan cara menurunkan tingkat upah buruh, merampas tanah untuk sarana investasi, merampok uang rakyat dengan mencabut subsidi. Selain itu, krisis politik dalam bentuk perang agresi, intervensi, acaman perang nuklir, sanksi ekonomi terus bergejolak di berbagai negeri.
Di dalam negerinya, AS mengalami kemerosotan ekonomi yang semakin dalam. Hal ini tidak lain diakibatkan dari sistem neoliberal yang dijalankan telah nyata tidak mampu untuk menjawab problem rakyat. Kondisi rakyat AS hingga saat ini terus mengalami pemiskinan yang akut. Tahun 2017, jumlah pengangguran di AS meningkat hingga 5,000 jiwa. Kondisinya kini pun menyebabkan lebih dari 5 juta rakyat AS kehilangan akses fasilitas kesehatan karena pemangkasan anggaran publik untuk kesehatan. Sementara itu, dari sektor pendidikan terdapat fenomena tunggakan utang mahasiswa dari perguruan tinggi yang mencapai US $ 1.2 triliun, angka ini melonjak 10 kali lipat dalam jangka 10 tahun. Hal ini menyebabkan, pasca kelulusannya dari perguruan tinggi, mahasiswa di AS masih memiliki hutang yang harus dilunasinya.
Sebagaimana diketahui bersama, bahwa pemilu di Amerika Serikat (AS) pada 2016 telah dimenangkan oleh Donald Trump (DT) dari Partai Republik, dan secara resmi pada 20 Januari DT dilantik menjadi Presiden ke-45 AS. Kebijakan terbaru AS dibawah DT yang paling pokok adalah melanjutkan Kampanye Global Melawan Terorisme, sebagai cara untuk mengukuhkan dominasi kekuasaan atas dunia. Sekaligus mengoreksi berbagai kelemahan pada periode pemerintahan Obama yang dinilai lambat, tidak tegas, dan bimbang sehingga peranan AS dalam mengintervensi dunia mengalami persoalan. DT hadir untuk mempertegas dan memperkuat dominasi AS sebagai imperialis nomor satu didunia, selain juga tetap menjalankan kampanye perang melawan narkoba dan korupsi.
Terlepas belum adanya doktrin baru yang menjadi koreksi atas kebijakan luar negeri AS dan peranannya diregional, DT tetap berusaha memajukan posisi AS, menuntut Eropa memberikan kontribusi yang lebih besar (dua persen dari PDB) bagi keamanan dunia di bawah NATO, sebagaimana disampaikan dalam Pidato pertama DT didepan Kongres AS. Hal ini dilakukan untuk memastikan agar formasi NATO dapat efektif digunakan sebagai instrumen dalam mengatasi krisis. Disisi lain, juga menghambat perkembangan maju Rusia, khususnya dalam masalah Suriah. Untuk kebijakan dalam negeri, DT berusaha memperkuat ekonomi nasional dengan memaksa industri-industri besar di AS memperkuat kedudukannya ditengah kehancuran industri (otomotif), termasuk memaksa menerapkan pajak lebih tinggi bagi pengusaha yang tidak menyokong rencana ekonomi AS.
Pada awal 2018, dua kali sudah pemerintah AS mengalami shutdown pada bulan Januari dan Februari. Shutdown adalah situasi yang terjadi ketika tidak adanya kesepakatan di Senat AS tentang rencana keuangan tahunan pemerintah. Karena tidak ada kesepakatan, maka tidak ada dana yang dicairkan, sehingga memaksa berbagai lembaga pemerintah untuk meliburkan aktifitasnya, kecuali beberapa lembaga penting akan tetap bekerja, namun pekerjanya tidak akan menerima gaji.
Pemerintah AS dibawah DT memang berusaha untuk menggantikan program Obama Care, subsidi kesehatan kepada rakyat di AS, dan ini memicu kontradiksi antara rakyat dengan DT. Kebijakan lain yang juga memicu pertentangan adalah kebijakan imigrasi DT, yang akan membangun tembok diperbatasan AS-Meksiko, melarang umat muslim masuk ke AS, dan tidak menyediakan anggaran bagi rencana deportasi 800 ribu imigran yang akan dilakukan pada bulan Maret tahun ini. Kebijakan politik ini adalah konsekuensi dari janji kampanye politik DT kepada para pendukungnya.
Secara ekonomi, terpilihnya DT sebagai presiden AS tidak akan memberikan kontribusi terhadap berakhirnya kemerosotan ekonomi sebagai akibat krisis di AS. DT hanya akan melanjutkan kebijakan AS sebelumnya, yang justru akan semakin mempertajam kontradiksi dan perlawanan rakyat di AS.
Di bawah rezim Donald Trump, imperialis AS makin menjelma sebagai raja perang agresi dan intervensi ke berbagai negeri. Sejak awal berkuasa, Trump telah mengeluarkan kebijakan sovinis dengan tajuk “American First” atau “Make American Great Again”. Demi mendukung penetrasi bisnis korporasi di dalam negeri, Trump menetapkan kebijakan pajak masuk yang lebih tinggi bagi industri manufaktur yang tidak memiliki pabrik di AS. Dalam proposal tentang kebijakan Pajak, Trump juga menerapkan pemotongan pajak bagi perusahaan dari 35% menjadi 15%. Dalam Forum G20 di Hamburg, Jerman, Trump menekankan agar perusahaan yang memiliki impor lebih tinggi dari ekspornya untuk dikenakan sanksi/penalty pajak. Hal tersebut tidak lain demi mendorong perusahaan besar mereka kembali membangun pabrik manufaktur di dalam negeri untuk menanggulangi pengangguran.
Dalam rangka melindungi kestabilan anggaran dan bisnis dalam negeri, Trump juga memutuskan keluar dari Kesepakatan Iklim Paris (UNFCCC) yang dinilai merugikan anggaran negara sebesar US$ 3 Triliun dan memangkas 6,5 juta lapangan kerja. AS lepas tanggung jawab atas krisis iklim dunia, meski mereka adalah penyumbang 15% emisi karbon global.
Trump juga memberlakukan politik anti imigran dan anti kedaulatan suatu negeri. Larangan masuk bagi imigran, khususnya dari 7 negara yakni; Iran, Irak, Libya, Somalia, Sudan, Suriah dan Yaman. Akibatnya, sekitar 120 ribu orang terlantar di bandara-bandara AS, dan sekitar 60 ribu pengajuan visa ke AS ditolak. Jutaan warga asing di AS, baik pengungsi maupun buruh migran banyak yang ditahan, dikriminalisasi dan terancam deportasi, termasuk sekitar 40 ribu WNI yang ada di AS. Kebijakan rasis, diskriminatif, dan menyebarkan teror xenophobia untuk alasan keamanan dan stabilitas yang justru mengkambing hitamkan rakyat sebagai sumber masalah kemiskinan, penyelundupan narkoba dan terorisme.
Dengan dalih perlindungan “demokrasi dan keamanan global”, kampanye “War on Terror” menjadi cover pembaruan politik militer AS pasca “serangan teror 9/11”. Kampanye ini menerapkan pendekatan multidimensi sebagaimana diuraikan dalam dokumen Counter Insurgency/COIN untuk mengkolaborasikan peran militer ke dalam aspek sipil, khususnya pembangunan. Dengan anggaran militer terbesar di dunia, AS terus memperluas jangkauan kekuatan militernya. Tahun 2016, diperkirakan mencapai USD 610 miliar atau nyaris tiga kali lipat dari anggaran militer Tiongkok sebagai negara yang memiliki anggaran terbesar kedua di dunia yaitu 216 miliar USD. Anggaran militer AS bahkan lebih besar dari gabungan anggaran militer 14 negara dibawahnya.
Perdagangan senjata milik AS tercatat sebagai yang terbesar di dunia. Pasar terbesarnya adalah wilayah Timur Tengah seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Turki, Irak, Mesir dan Qatar. Industri senjata AS juga menyasar kawasan panas dan sekutunya di Asia seperti Taiwan, Australia, India, Korea Selatan, Singapura dan Jepang. Di tahun 2016, nilai perdagangan senjata AS berjumlah US$ 9,9 miliar.
Pertentangan Diantara Imperialis untuk Mempertahankan Dominasi Ekonomi, Politik dan Keamanan Diberbagai Negeri dan Kawasan.
Dalam analisa atas situasi pada periode sebelumnya juga telah disampaikan. Bahwa kedudukan amerika Serikat (AS) sebagai negeri imperialis juga memiliki kontradiksi dengan berbagai negeri imperialis lainnya, dengan Rusia salah satunya. Dalam kasus Suriah, nampak jelas terlihat bagaimana kepentingan AS dan Rusia ada disana guna mengukuhkan dominasinya. Selain di Suriah, Rusia juga berusaha memperkuat dominasinya seperti di Ukraina maupun Moldova.
Meski demikian, apa yang dilakukan Rusia masih terbatas pada usaha menghimpun kekuatan melalui kerjasama dengan beberapa negara. Situasi demikian masih kalah jauh levelnya dengan apa yang sudah dilakukan AS dimana telah berhasil membangun sekutu (NATO). Kerjasama Rusia dan AS, dalam posisi sekarang tidak kontradiktif, karena keduanya sama-sama mendapatkan keuntungan dalam upaya memperkuat peranannya untuk menyelamatkan ekonomi nasional.
China atau Tiongkok adalah negeri kapitalis yang ingin berkembang, tetapi tidak melakukan perlawanan terhadap AS dan peranannya ditingkat global. Tiongkok tidak saja berkembang secara ekonomi, melainkan juga diaspek militer. Tiongkok saat ini memiliki dua kapal induk yang mampu mengangkat beban 70 ribu ton. Memiliki armada siluman dan pesawat tempur yang setara dengan AS, rudal antar benua, memproduksi amphibi, dan memiliki kekuatan perang teknologi dan komunikasi. Tiongkok memperluas pengaruh hingga di Afrika dan mengganggu pengaruh AS di Eropa dengan memberikan bantuan kepada negeri-negeri Eropa Timur.
Terdapat beberapa fakta Tiongkok bisa menjadi persoalan serius bagi AS. Tetapi fakta lainnya, Tiongkok juga dapat mengalami krisis yang sangat parah. Dengan hutang swastanya yang tinggi, atau buble di sektor property yang dapat menghadirkan masalah besar seperti kasus subprime mortgages. AS telah lama menetapkan Asia sebagai kawasan yang strategis, untuk itulah AS akan terus berusaha menghambat perkembangan Tiongkok, salah satunya dengan menggunakan rejim boneka di kawasan, serta memperkuat pangkalan militernya di Asia.
Isu lain dikawasan yang juga penting mendapatkan perhatian adalah uji coba Nuklir Korea Utara (DPRK), dan tentu saja memicu reaksi perlawanan dari AS. Atas situasi ini, China dan Rusia hanya bersifat pasif, berkepentingan agar perang AS dengan Korut tidak menggangu kepentingan politk dan ekonomi mereka. Keadaan ini berakibat pada munculnya desakan di Jepang untuk mengubah konstitusi negaranya guna kembali memperkuat armada militernya sebagai antisipasi apabila perang Korea terjadi.
Ekspansi kapital imperialis mensyaratkan kontrol kuat atas berbagai wilayah dunia melalui agenda ekonomi politik dan militer. AS sebagai pemegang dominasi dunia, memaksakan investasi ke berbagai negeri, disisi lain mengintensifkan tekanan terhadap kekuatan ekonomi lain yang tumbuh sebagai pesaing, seperti intimidasi yang dilakukan terhadap China, Rusia, Iran, dan RDR Korea.
Liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi terus diintensifkan melalui kerjasama investasi dan perdagangan untuk melancarkan perampasan dan akumulasi super profit. Jika skema ini mendapat rintangan, maka perang agresi dan intervensi politik militer menjadi jawaban, seperti yang telah dialami oleh Irak, Afganistan, Libya, Mesir, dan Suriah saat ini. Bagi negeri boneka, AS menerapkan “jalan damai” melalui kontrol politik dalam negeri dengan penerapan regulasi berwatak fasis, dan promosi demokrasi palsu yang hakikatnya mengekang hak rakyat dan melayani borjuasi komparador dan tuan tanah untuk akumulasi kapital, seperti yang terjadi di Indonesia saat ini.
Pada akhirnya, di era pemerintahan Donald Trump (DT), AS berusaha agar kekuasaan atas wilayah tidak terganggu dan tidak akan mau membagikan dengan negeri imperialis lainnya, serta menyingkirkan rivalnya yang berani mengganggunya dengan berbagai skema.
Kedudukan AS sebagai negeri imperialis yang paling berkuasa saat ini harus dipahami oleh gerakan buruh militan di Indonesia secara utuh dengan baik. Negeri-negeri imperialis berhasil membangun dominasi ekonomi karena mereka melakukan penindasan dan penghisapan terhadap kelas buruh diseluruh negeri, termasuk di Indonesia. Keuntungan besar yang mereka dapatkan berasal dari merampas upah buruh dan pengerukan sumber daya alam (SDA) diberbagai negeri. Gerakan buruh militan adalah gerakan anti-imperialisme pada hakekatnya. Untuk itulah, gerakan buruh harus memahami benar dalam peranan, tugas dan tanggung jawabnya sebagai gerakan buruh yang militan untuk berlawan terhadap seluruh kebijakan imperialisme. Perlawanan-perlawanan tersebut harus termanifestasi dalam kerja-kerja politik dan organisasi, seperti; melakukan kampanye secara kontinyu menentang kebijakan AS di Indonesia, serta mengorganisasikan gerakan buruh militan diberbagai perusahaan-perusahaan milik imperialisme atau yang terhubung dengan imperialisme. (gsbi-2018)#