Ini Isi Lengkap Petisi Warga Tuntut Batalkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja, Selamatkan Masyarakat dari Pandemi COVID-19!
INFO GSBI-Jakarta. Berikut ini isi lengkap Petisi Warga yang menuntut Batalkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja, Selamatkan Masyarakat dari Pa...
https://www.infogsbi.or.id/2020/04/ini-isi-lengkap-petisi-warga-tuntut.html
INFO GSBI-Jakarta. Berikut ini isi lengkap Petisi Warga yang menuntut Batalkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja, Selamatkan Masyarakat dari Pandemi COVID-19!.
Petisi ini pada Rabu 22 April 2020 oleh perwakilan dari LOKATARU, Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) organisasi mahasiswa dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah dan Universitas Trisaksi telah di serahkan ke Badan Legislasi DPR-RI dan Ketua DPR-RI.
Ini isi lengkap Petisinya:
=================
Petisi Warga
Batalkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja, Selamatkan Masyarakat dari Pandemi COVID-19!
Mengacu kepada keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk melanjutkan pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja di tengah pandemi COVID-19, melalui petisi ini kami menyatakan penolakan tegas, baik terhadap rencana tersebut maupun RUU Omnibus Law Cipta Kerja secara keseluruhan. Hal ini disebabkan oleh penyelewengan prosedural dan substansi dalam RUU Omnibus Law yang membuatnya semakin tak layak untuk menjadi prioritas DPR-RI saat krisis pandemi.
Alih-alih RUU Omnibus Law, prioritas utama yang seharusnya jadi agenda DPR RI saat ini adalah mengawasi penanganan wabah COVID-19 oleh pemerintah yang kian hari kian memprihatinkan. Kami menuntut DPR-RI untuk:
- Menghentikan segera pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja di tengah pandemi COVID-19
- Membatalkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang tidak memihak kesejahteraan tenaga kerja, kelestarian lingkungan, dan prinsip desentralisasi sebagai amanat reformasi.
- Memprioritaskan kerja-kerjanya pada pengawasan penanganan pandemi COVID-19 oleh Pemerintah, seperti pemenuhan alat tes dan fasilitas kesehatan baik untuk tenaga medis maupun pasien di rumah sakit di seluruh Indonesia, serta harmonisasi kebijakan penanganan pemerintah pusat dan daerah untuk memaksimalkan penanganan wabah COVID-19. DPR RI harus memastikan agar Pemerintah dapat memenuhi tanggung jawabnya memenuhi hak atas kesehatan seluruh warga.
Kita menyaksikan selama beberapa minggu terakhir ini, justru di saat masyarakat dan tenaga medis tengah berjuang mati-matian melawan pandemi, Pemerintah dan DPR-RI malah tergopoh-gopoh menggunakan kegentingan untuk memuluskan agenda investasi dan usaha yang hanya akan menguntungkan segelintir pihak via pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja: RUU yang sedari awal bermasalah secara prosedural dan substansial, seperti yang akan kami terangkan di bawah ini.
Proses Perumusan yang Tidak Transparan
Prinsip demokrasi mensyaratkan pemerintah untuk membuka ruang partisipasi sebesar-besarnya kepada publik dalam penggarapan RUU yang akan berdampak besar pada hidup jutaan warga. Namun, berkaca dari proses penyusunannya, pemerintah seolah menutup mata dan telinga rapat-rapat akan hal itu. Kita tak perlu buru-buru bicara tentang substansi RUU Omnibus Law Cipta Kerja karena perumusan RUU tersebut telah ngawur secara prosedural sedari awal.
Pada prosesnya, masyarakat sipil tidak diberikan ruang untuk terlibat dalam perumusan draft RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Namun di sisi lain, pemerintah juga tak mampu dan tak mau menjelaskan secara komprehensif tentang isi dari RUU Omnibus Law Cipta Kerja itu sendiri. Apalagi secara substansial sebagian dari muatan RUU ini merupakan RUU yang pada September tahun lalu telah ditolak beramai-ramai di jalanan pada rangkaian aksi #ReformasiDikorupsi. Sementara gelombang penolakan Omnibus Law mulai berkembang di jalanan, pemerintah tetap bekerja sembunyi-sembunyi merumuskan RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Tak satupun isi dan sistematika RUU tersebut diketahui secara mendetail oleh publik hingga hari dimana draft diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, proses penyusunan Omnibus Law ini tak lebih dari upaya penyelundupan pasal-pasal bermasalah yang berpotensi merugikan publik.
Kondisi ini diperparah dengan instruksi Presiden Joko Widodo yang meminta Kepolisian Republik Indonesia dan Badan Intelijen Negara untuk melakukan pendekatan terhadap organisasi masyarakat sipil yang menolak Omnibus Law. Demi melancarkan agenda investasi, partisipasi masyarakat justru ditekan dengan dalih ‘pendekatan komunikasi’. Padahal, pihak-pihak yang ditunjuk Presiden merupakan alat keamanan negara dan tidak memiliki fungsi komunikasi sebagaimana yang dimaksud.
Dampak dari instruksi ini kentara: berbagai diskusi publik mengenai Omnibus Law disatroni aparat. Kantor organisasi buruh seperti KASBI didatangi gerombolan demonstran “pro-omnibus” yang tidak jelas asal usulnya. Di daerah, kepolisian bahkan mengundang perwakilan masyarakat sipil untuk ‘berdiskusi’ mengenai Omnibus Law di kantor kepolisian. Maraknya intimidasi terhadap kelompok yang menolak Omnibus Law Cipta Kerja menguatkan tendensi pemerintah untuk menggunakan tindakan represif. Praktis instruksi Presiden adalah perintah terselubung untuk menggalakkan intimidasi dan pengkerdilan kebebasan sipil di lapangan.
Malapetaka Bagi Tenaga Kerja
RUU Omnibus Law Cipta Kerja menyasar fleksibilitas tenaga kerja untuk dieksploitasi. Aspek filosofis UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengenai upah layak, kerja layak dan keberlangsungan bekerja tak lagi tercermin dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Pasal-pasal dalam RUU ini jelas mengeksploitasi dan memperbesar ketimpangan tenaga kerja dan pengusaha.
RUU Omnibus Law Cipta Kerja menghapus ketentuan batas PKWT yang sebelumnya diatur dalam Pasal 59 UU Ketenagakerjaan. Kerentanan buruh untuk terjebak dalam status pekerja kontrak akan meningkat karena perusahaan tak lagi wajib untuk mengangkat buruh menjadi pekerja tetap. Penambahan pengaturan mengenai jam kerja pada Pasal 77A RUU Omnibus Law Cipta Kerja juga memfasilitasi perusahaan untuk mengeksploitasi tenaga kerja. Hal ini disebabkan oleh Pasal 77A ayat (1) yang memperbolehkan perusahaan mengatur waktu kerja yang melebihi ketentuan untuk jenis dan pekerjaan atau sektor usaha tertentu. Ketentuan jam lembur juga naik dari 3 jam menjadi 4 jam per hari.
Selain itu, penghapusan Pasal 91 UU Ketenagakerjaan yang mengatur agar pengupahan yang disepakati tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan dinilai akan melemahkan kebijakan upah minimum. Selain itu, penghapusan Pasal 95 mengenai pengenaan denda kepada pengusaha akibat kelalaian pembayaran upah berpotensi melonggarkan perusahaan untuk semakin sewenang-wenang dengan tenaga kerjanya. Dari pasal-pasal ini terlihat, Pemerintah telah terang-terangan lepas tangan terhadap kesejahteraan tenaga kerja.
Peran serta serikat buruh juga dipangkas khususnya dalam soal pemberhentian tenaga kerja (PHK). Kini pemberi kerja tidak lagi wajib mengambil tindakan preventif dan melakukan negosiasi dengan serikat buruh dimana individu itu tergabung. Dengan membaca RUU Omnibus Law Cipta Kerja, kita dapat memprediksi bahwa union busting alias pemberangusan serikat akan semakin meningkat. Masih banyak lagi pasal-pasal dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang melemahkan hak-hak pekerja seperti kewajiban perusahaan untuk membayar upah pekerja yang cuti akibat alasan-alasan yang sah, perubahan ketentuan pesangon bagi PHK akibat penggabungan, penutupan, atau perubahan status kepemilikan perusahaan, dan lain-lain.
Bom Waktu Konflik Agraria
Dalam sektor agraria, RUU Omnibus Law Cipta Kerja dianggap hanya akan menajamkan ketimpangan dan memperparah konflik agraria karena mengkhianati amanat UUD 1945, UUPA 1960, dan TAP MPR IX/2001 dengan memperdagangkan sumber-sumber agraria. Hak Pengelolaan (HPL) yang selama ini menyebabkan kekacauan penguasaan tanah serta merupakan bentuk penyimpangan dari Hak Menguasai Negara diperkuat dan diperluas pada Pasal 129 RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Padahal, pada prakteknya HPL telah sedemikian rupa dikuasai oleh oligarki ekstraktif dan militer untuk mengamankan sumber dayanya. HPL nantinya dapat diberikan kepada instansi pemerintah, BUMN/BUMD, Badan Hukum yang ditunjuk pemerintah, serta dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga.
Selain itu, RUU Omnibus Law Cipta Kerja akan menghambat objek prioritas agenda Reformasi Agraria yaitu pengelolaan tanah perkebunan yang ditelantarkan perusahaan. Perusahaan tidak lagi wajib mengusahakan lahan perkebunannya dan pemerintah tidak dapat memberikan sanksi terhadapnya. Akibatnya, status tanah terlantar yang menjadi salah satu syarat dicabutnya HGU berpotensi hilang.
Tingginya konflik agraria yang saat ini telah terjadi bahkan sebelum disahkannya RUU Omnibus Law Cipta Kerja, diproyeksikan meningkat karena Undang-Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan dan Undang-Undang No. 18/2013 tentang Pencegahan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) semakin diperkuat. Kedua UU tersebut kerap dipakai untuk mengkriminalisasi petani dan masyarakat yang terlibat konflik kawasan lahan. Pasal 37 RUU Omnibus Law Cipta Kerja misalnya, memudahkan proses pengukuhan kawasan hutan melalui teknologi informasi dan koordinat geografis tanpa melalui partisipasi masyarakat. Perubahan ini meningkatkan resiko kriminalisasi warga desa atas tuduhan merambah kawasan hutan, memanen atau memungut hasil hutan, dan sebagainya. Di tahun 2019 sendiri, catatan Konsorsium Pembaharuan Agraria mencatat setidaknya ada 279 kasus konflik agraria yang meliputi sektor perkebunan (87), infrastruktur (83), properti (46), tambang (24), kehutanan (20), fasilitas militer (10), pesisir dan pulau-pulau kecil (6), pertanian (3).
RUU Omnibus Law Cipta Kerja juga mengembalikan wacana pembentukan Bank Tanah yang tidak sesuai dengan agenda Reforma Agraria. Bank Tanah sepenuhnya didirikan untuk mempercepat proses pengadaan tanah untuk kepentingan infrastruktur, Kawasan Ekonomi Khusus, pariwisata, bisnis properti dan investasi lainnya. Terlebih, Bank Tanah juga berlandaskan pada HPL. Tujuan Reforma Agraria untuk mencapai keadilan sosial tidak akan tercapai dengan RUU Omnibus Law Cipta Kerja.
Penghancuran Sistematis Lingkungan Hidup
Dalam konteks ancaman terhadap lingkungan, RUU Omnibus Law Cipta Kerja mengkerdilkan peran analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) serta penghapusan Izin Lingkungan. Pasal 23 RUU Omnibus Law hanya mewajibkan AMDAL bagi usaha atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup, sosial, ekonomi, dan budaya yang nantinya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sedangkan bentuk usaha lainnya hanya diwajibkan memenuhi standar UKL-UPL dalam Pasal 34 dan dimonitor oleh pemerintah. Pemerintah tentu akan memiliki kekuasaan yang luas untuk mengatur kriteria di atas, dengan potensi memberikan kelonggaran-kelonggaran lainnya.
Padahal, AMDAL dan seperangkat birokrasi lingkungan lainnya pada esensinya dibuat untuk melindungi kelestarian lingkungan dan kepentingan masyarakat yang lebih besar. Perubahan di atas serta dihapusnya syarat lingkungan lainnya seperti kelayakan strategis, rencana alih fungsi tanah, dan lain-lain, tentu akan meningkatkan risiko kerusakan lingkungan dan mempercepat perubahan tata ruang pertanian di Indonesia. Di tengah krisis ekologi yang semakin menjadi-jadi, pemerintah justru menghilangkan salah satu pertahanan masyarakat terhadap potensi kerusakan lingkungan hidup yang lebih besar demi meringankan biaya usaha perusahaan.
Hilangnya izin lingkungan juga berarti hilangnya kesempatan bagi masyarakat untuk mengajukan upaya hukum sebagai kontrol terhadap keputusan-keputusan negara berkaitan dengan lingkungannya. Sedangkan dalam praktiknya, perlawanan masyarakat sipil melalui gugatan izin lingkungan atau AMDAL dalam beberapa kesempatan berhasil dimenangkan. Hambatan inilah yang berusaha Pemerintah cabut dari akarnya sekaligus meniadakan ruang bagi masyarakat sipil untuk membela hak-hak lingkungannya.
Eksploitasi Minerba dan Migas
RUU Omnibus Law Cipta Kerja adalah fasilitas khusus yang disiapkan oleh pemerintah kepada Pelaku Usaha karbon tinggi untuk menumpuk kekayaan melalui perampasan ruang hidup rakyat atau Oligarki Ekstraktif. Dengan dalih memangkas rantai korupsi, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menyederhanakan perizinan dalam sektor tambang dimana satu izin dapat mencakup semua tahapan kegiatan pertambangan (eksplorasi hingga operasi produksi). Pada dasarnya hal ini hanya akan memudahkan para oligarki ekstraktif melanggengkan kekayaannya.
Kemudian, luas wilayah izin usaha produksi (WIUPK) mineral dan batubara (minerba) yang tadinya dibatasi kini tidak lagi diatur batasannya. Pasal 83 (c) RUU Omnibus Law Cipta Kerja menentukan WIUPK berdasarkan hasil evaluasi Pemerintah Pusat terhadap rencana kerja seluruh wilayah yang diusulkan oleh pelaku usaha pertambangan khusus. Pihak yang paling diuntungkan oleh perubahan ini adalah pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang beberapa kontraknya akan habis tahun ini. Perusahaan-perusahaan tambang raksasa ini tak lagi perlu menyesuaikan batasan luas wilayah kegiatan operasi produksinya jika RUU Omnibus Law Cipta Kerja berhasil disahkan.
Selain itu, perubahan-perubahan lainnya dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja seperti penghapusan masa izin tambang juga akan mengantar Indonesia pada bencana lingkungan yang lebih besar. Terkhusus di sektor minerba, pemegang KK dan PKP2b yang habis masa berlakunya akan langsung mendapatkan perpanjangan tanpa harus mengembalikan konsesi negara dan mengikuti lelang. Pemerintah hanya menjamin kepastian berusaha bagi perusahaan tambang, tapi tidak menjamin keselamatan warga yang bergantung pada kelestarian lingkungan dan ruang hidupnya.
Kembalinya Sentralisasi
Desentralisasi sebagai salah satu amanat reformasi akan dipangkas melalui RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Hal tersebut diantaranya dilakukan melalui penarikan kewenangan pemerintah provinsi dalam mengelola minerba ke pemerintah pusat serta peraturan presiden yang dapat membatalkan perda. Dua kewenangan yang sangat strategis dan berkaitan dengan otonomi daerah.
Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota berhak mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi. Dengan mengaburkan kewenangan otonomi daerah, RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja telah bertentangan dengan amanat UUD 1945 di atas dengan menghilangkan hak bagi daerah mengatur diri sendiri dan menjelma menjadi instansi lain di bawah kekuasaan presiden.
Selain itu, Pasal 170 memuat aturan jika ada hal-hal yang belum dijangkau oleh RUU Cipta Kerja maka bisa diatur selanjutnya oleh Peraturan Pemerintah (PP). Padahal, tatanan legal formal kita tidak memperbolehkan materi undang-undang untuk diatur dengan peraturan pemerintah.
Stop Pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja, Fokus Tangani COVID-19!
RUU Omnibus Law Cipta Kerja dielu-elukan oleh para pendukungnya sebagai RUU Sapu Jagat yang akan memangkas birokrasi usaha yang bertele-tele, serta menyegarkan iklim perekonomian. Namun wabah COVID-19 yang berkecamuk sejak awal Maret ini telah menerangi fakta kelam yang tragisnya tidak pernah jadi prioritas Pemerintah: birokrasi kesehatan yang macet, infrastruktur kesehatan publik yang centang-perenang, koordinasi amburadul Pemerintah Pusat dan Daerah, politisi yang anti-sains dan meremehkan wabah, monopoli informasi yang membingungkan publik, serta tendensi otoritarian Pemerintah di tengah krisis.
Di momen ini DPR selaku lembaga legislatif seharusnya memainkan perannya sebagai pengawas kekuasaan. Ia dipilih dan disumpah untuk memastikan penguasa dapat konsisten menjalankan amanat Undang-undang Dasar: melindungi keselamatan publik. Jika RUU Omnibus masih relevan untuk dibicarakan di tengah krisis ini, maka yang dibutuhkan tak lain dan tak bukan adalah RUU Omnibus Penanganan Bencana. Akan tetapi, perkembangan situasi baru-baru ini membuktikan sebaliknya.
Keputusan DPR untuk melanjutkan pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja adalah wujud nyata kombinasi mematikan lembaga eksekutif dan legislatif yang memanfaatkan kebingungan warga di tengah bencana untuk menyelundupkan dan memuluskan agenda-agenda investasi. Ketika masyarakat luas tengah berusaha menyelamatkan diri dan sesamanya dari wabah COVID-19 yang mematikan, pemerintah justru memprioritaskan kepentingan pengusaha dan elit politik dibandingkan keselamatan warga. Hal ini membuktikan DPR telah abai terhadap nasib warga yang akan dihantam telak oleh imbas pandemi COVID-19.
Per 21 April sebaran kasus positif COVID-19 tercatat telah mencapai 257 Kabupaten/Kota dan 34 Provinsi. 7.135 orang teridentifikasi positif virus COVID-19 serta 616 orang meninggal dunia. Angka ini bisa terus melonjak drastis, karena hampir dua bulan setelah pengumuman pasien pertama, dengan populasi 267 juta penduduk (2018), Indonesia baru melakukan tes COVID-19 dengan metode polymerase chain reaction (PCR) sebanyak 42,2 ribu kali (sebagai perbandingan, Korea Selatan sanggup melakukan 15 ribu tes per hari). Tempo hari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bahkan mengkonfirmasi bahwa data kasus yang dimiliki pemerintah pusat tidak sinkron dengan pemerintah daerah. Hal ini menimbulkan pertanyaan di benak publik akan jumlah sesungguhnya warga yang terjangkit COVID-19 serta kompetensi dan keseriusan seluruh perangkat pemerintah dalam menangani penyebaran wabah.
Sementara itu, puluhan dokter dan tenaga kesehatan yang menjadi garda terdepan dalam memerangi wabah satu persatu gugur akibat minimnya pemenuhan kebutuhan tenaga medis di lapangan. Ketersediaan alat kesehatan yang seharusnya diberikan oleh pemerintah kini malah bergantung kepada penggalangan dana masyarakat sipil. Sementara hak atas kesehatan masyarakat terus terbengkalai akibat tidak memadainya fasilitas medis di berbagai rumah sakit rujukan.
Beberapa waktu ini indikasi konflik sosial akibat COVID-19 mulai timbul di berbagai daerah. Masyarakat mulai dihantui ketakutan akan kekacauan akibat potensi langkanya kebutuhan dasar di tengah ekonomi yang terus melemah akibat pandemi. Kondisi-kondisi ini yang seharusnya menjadi prioritas anggota DPR sebagai wakil rakyat. Negara yang sedang diambang kehancuran tidak membutuhkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang akan menjerumuskan masyarakat lebih jauh dan tidak akan memperbaiki krisis kesehatan publik akibat COVID-19.
Jakarta, 22 April 2020
(Narahubung: Mirza Fahmi - 0857-9598-8644)
Kami yang menuntut
Organisasi & Komunitas
1. Lokataru Foundation
2. Aliansi Serikat Masyarakat Bergerak Banyumas (SEMARAK); HMI Cabang Purwokerto, GMNI Cabang Purwokerto, PMII Cabang Purwokerto, PMKRI Cabang Purwokerto, GMKI Cabang Purwokerto, IMM Cabang Banyumas, KAMMI Cabang Purwokerto, BEM UNSOED, BEM UNWIKU, DEMA IAIN, DPM UM, BEM AMIKOM, FMN Cabang Purwokerto, BEM FAPET UNSOED, BEM FH UNSOED, BEM FPIK UNSOED, BEM FMIPA UNSOED, BEM FIKES UNSOED, BEM FT UNSOED, BEM FK UNSOED, BEM FH UMP, Black Farm.
3. Insersium Universitas Hasanuddin
4. Generasi Muda Peduli Kota Ternate
5. Lembaga Ekonomi Mahasiswa Islam Cabang Ternate
6. HMI Cabang Ternate
7. HMI Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
8. HMI Komisariat FKIP UNSAM Aceh
9. Forum Ikatan Mahasiswa Kalumata Ternate
10. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Kota Makassar
11. Gerakan Mahasiswa Deli Serdang
12. Forum Mahasiswa Peduli Tanjung Morawa
13. BEM Universitas Khairun Ternate
14. ISMEI Wilaya XI
15. HMI Fakultas Hukum Universitas Trisakti
16. HMI Komisariat Universitas Medan Area
17. Serikat Pekerja Kereta Api Jabodetabek
18. Serikat Pekerja PT. Hero Supermarket Tbk. (SPHS) - Aspek Indonesia KSPI
19. Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI)
20. Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP)
21. Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR)
22. KAMMI Komisariat Bela Negara Surabaya
23. Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia Riau (KSBSI Riau)
24. Federasi Serikat Buruh NIKEUBA Pekanbaru
25. Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang dan Kulit, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP TSK-KSPSI)
26. Federasi Serikat Pekerja Pertanian & Perkebunan - Serikat Pekerja Seluruh Indonesia PT. GGF Group Lampung
27. Front Perjuangan Rakyat (FPR)
28. Gerak Merah, Fakultas Syariah & Hukum UIN Syarif Hidayatullah
29. BEM Fakultas Hukum Universitas Trisakti
30. BEM Fakultas Hukum Universitas Pattimura
31. BEM Fakultas Hukum Universitas Buana Perjuangan Karawang
32. BEM Fakultas Hukum Universitas Airlangga
33. BEM Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjajaran
34. BEM KEMA Telkom University
35. BEM Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar
36. BEM STH Indonesia Jentera
37. BEM Fakultas Ilmu Politik Universitas Negeri Makassar
38. Dewan Perwakilan Mahasiswa FH Universitas Hasanuddin
39. Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas Islam Indonesia
40. Mahkamah Keluarga Mahasiswa (MKM) FH Universitas Hasanuddin
41. Himpunan Mahasiswa Evav Universitas Pattimura
42. MPM KM-Politeknik STTT Bandung
43. LBH Salewangang Maros
44. LKBHMI Cabang Bondowoso - Situbondo
45. LKBHMI Cabang Ambon
46. Front Mahasiswa Nasional Universitas Sebelas Maret
47. Forum Komunikasi Aneuk Hukom (Forkah) Universitas Syiah Kuala
48. Komunitas Genmuda Flobamora
49. Komunitas Aksi Pribumi
50. Dewan Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar
51. PW HIMA PERSIS DIY
52. Jenewa Institute
53. Jurusawala Institute
54. Asosiasi Mahasiswa HTN se-Indonesia
55. Frontier Bali
56. Barisan Rakyat Pro-Demokrasi (BERAKSI) Tolak Omnibus Law
57. Himpunan Mahasiswa Kriminologi Universitas Budiluhur
58. Tampomas Bicara
59. Tena Mate
60. Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda
61. BEM FEB Universitas Mulawarman
62. HMI Cabang Malang Bidang Hukum dan HAM
63. YLBH Insan Cita Maluku
64. BEM Fakultas Ilmu Kesehatan UPNV Jakarta
65. Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa Luhu Huamual Makassar
66. Sekolah Ideologi Maluku Utara
67. PC IMM Gowa Raya
68. Pelajar Mahasiswa XTC Indonesia
69. HMI Komisariat STT Tekstil
70. DPC GMNI Karawang
71. BEM - KM Universitas Suryakancana
72. Aliansi BEM Universitas Negeri Surakarta (BEM FISIP, BEM FEB, BEM FH, BEM FMIPA, BEM FK, BEM SV, BEM FIB, BEM FP, BEM FT, BEM UNS, BEM FKIP)
73. Front Mahasiswa Karet Bivak
74. Sarekat Mahasiswa Peduli Literasi
75. Sarekat Mahasiswa Univ Mpu Tantular
76. HMI Universitas Pertamina
77. Pijak Suar
78. Pusat Studi Ilmu Kemasyarakatan Parahyangan (PUSIK Parahyangan)
79. Satuan Emansipasi, Tinjau dan Aksi
80. Forum Peduli Literasi Masyarakat
81. Forum Demokrasi Maluku
82. Gerakan Bangsa Merdeka (Gerbang Merdeka)
83. DEMA UIN Sumatera Utara
84. Intelligentsia Study Club Jakarta Selatan
85. HIMA MPIE Politeknik APP Jakarta
86. Kepresidenan Mahasiswa Universitas Trisakti
87. BEM STAI Luqman Al Hakim Surabaya
88. BEM UNISMA
89. BEM Universitas Mandalika Nusa Tenggara Barat
90. DEMA Universitas Islam Negeri Jakarta
91. DEMA IAIN Pontianak
92. DEMA PTKIN Indonesia
Individu
1. Anshar R. (Mahasiswa - Sulawesi Selatan)
1. Adinda Putri Ayu (Mahasiswi - UINSU Medan)
2. Irman Saputra (Mahasiswa - Tangerang)
3. Hendik Pujo Saputro (Buruh - Pasuruan)
4. Alamzah Amir
5. Surya Citra (Mahasiswa - Samarinda)
6. Muhammad Ali Suneth (Mahasiswa - Makassar)
7. Okki Riyandhana (Advokat)
8. Hermanshah Efendi (Wiraswasta)
9. M. Aqil Siradj (Mahasiswa - Pidie)
10. Fariz Amrullah (Senat Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Banten)
11. Arsyad Fajar Wirawan (Karyawan Swasta)
12. Agus Musyafa Ali (Anggota Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia)
13. Ikhsan Nurhayatin (Mahasiswa UIN Ar-Raniry Banda Aceh)
14. Iqbal Ardiyansyah (Karyawan Swasta)
15. Ahmat Suudy (Mahasiswa - Tegal)
16. Muttaqin (Mahasiswa - Yogyakarta)
17. Henri Ompusunggu (Mahasiswa Universitas Brawijaya)
18. Dio Krismanto Fani (Karyawan Ritel)
19. Afiq Makarim (Mahasiswa - Mataram)
20. Rasmana Kristian Ady (Mahasiswa - Salatiga)
21. Eka Susiana (Karyawan Swasta - Tangerang)
22. Muhari Syahputra (Mahasiswa - Riau)
23. Fitri Panji Insan (Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Aceh)
24. Edi Sabran (Wiraswasta - Jambi)
25. Rudi HB. Daman (Ketua Umum GSBI)
26. Miftahul Huda (Mahasiswa UIN Suska Riau)
27. Taufik Paku Alam (Mahasiswa Universitas Negeri Padang)
28. Damianus Babur (Mahasiswa Universitas Kanjuruhan Malang)
29. Hizkia Greeny Delpbel Oktobrian (Mahasiswa Universitas Sebelas Maret)
30. Jul Hanafi (Mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia)
31. Yulyanto Imlabla (Freelance Programmer)
32. Ayu Apriliyanti Cahyaningrum (Mahasiswa Fakultas Hukum UII)
33. Agung Rusdiansyah (Mahasiswa - Palopo)
34. Abdul Zaki (Mahasiswa Fakultas Kehutanan UGM)
35. M. Awal Septian Nur B. (Mahasiswa - Makassar)
36. Dede Indra (Mahasiswa STMIK Nusa Mandiri)
37. Aldiansyah MF (Karyawan Swasta)
38. Rifaq Elmo (Mahasiswa)
39. Darma Try Putra (Mahasiswa UNIKOM Bandung)
40. Fransiska Ayel
41. Fansah Adila (Pedagang Pakaian)
42. Dilla Nur Fadilah (Mahasiswa Universitas Widyatama)
43. Abdullah Azzam (Estimator)
44. Lisa Aprilia (Mahasiswa Universitas Mulawarman)
45. Syarief Dharma (Mahasiswa Universitas Lampung)
46. Sultan Rafy Rabany (Tenaga Honorer)
47. Edho Pratomo (Advokat)
48. Fahrulliadi (Pengemudi Ojek Online)
49. Nurdiansyah (Security Pabrik)
50. Satria Adi Nugraha (Buruh)
51. Wineu Cahyati (Pelajar)
52. Sujinal (Penjual Nasi Goreng)
53. Rizky Pratama Jawahir (Mahasiswa - Malang)
54. Firdaus Tuharea (Mahasiswa Universitas Pattimura)
55. Sona Agustin (Mahasiswa Universitas Trisakti)
56. Satiri (Pengusaha Steam Motor)
57. Muhammad Ridho Rosidqi (Mahasiswa - Aceh)
58. Achmad Maksum (Pedagang Asongan)
59. M. Solihin (Mahasiswa - Medan)
60. Arief Rahman Ruslan (Mahasiswa UII)
61. Panji Dirgahayu (Mahasiswa - Bogor)
62. Doni Putra (Mahasiswa - Yogyakarta)
63. Dewa Putu Dharma Yudinta (Freelance)
64. Edwin (Pegawai BUMN)
65. Fathul Khairul Anam (Mahasiswa - Lombok Timur)
66. Hafidz Dzimar Mahendra (Kader HMI Malang)
67. Eko Saputra (Mahasiswa S2 Universitas Trisakti)
68. Mursidi Pratama (Pengemudi Ojek Online)
69. Panca Situmorang (Mahasiswa - Rantauprapat)
70. Muhammad Ridlo Rizki Tsanian (Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang)
71. Khaerul Amin (Buruh Pabrik - Tangerang)
72. Abdurrahman Harits (Mahasiswa Universitas Pertamina)
73. Zaqi Fatahillah (Karyawan Swasta)
74. Salman Alfarisy (Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung)
75. Arufura Laksamana Pantar (Staf Legal Perusahaan Fashion)
76. Azhar Abdillah ( Mahasiswa Universitas Pasundan)
77. Ridho Al Aziz (Mahasiswa Universitas Brawijaya)
78. Alvi Khair Danni (Mahasiswa Universitas Islam Riau)
79. Iqbal Ramadhan (Mahasiswa Universitas Al Azhar)
80. Pascal Wilhard Pardamean (Mahasiswa Universitas Persada YAI)
81. Utari Widri (Mahasiswa Universitas Pasundan)
82. Dadang Putra Hadi(Mahasiswa Universitas Pasundan)
83. Brian Immanue Langi (Mahasiswa Kalbis Institute)
84. Muhammad Wahid (Mahasiswa Institut Sains dan Teknologi)
85. Randi Pratama (Mahasiswa Universitas Parahyangan)
86. Hafizh Anshori (Buruh Kontrak)
87. Rima Ayuningsih Wibowo (Mahasiswa London School of Public Relations)
88. Herlin Nurdiani (Mahasiswa Universitas Pasundan)
89. Naufal Aulia (Mahasiswa Universitas Pasundan)
90. Delpiero Hegelian (Mahasiswa Universitas Parahyangan)
91. Farid Alverdo (Karyawan PT Indah Kiat)
92. Mohammad Firman Abd R (Mahasiswa IST AKPRIND Yogyakarta)
93. Putri Amalia Dwinita (Mahasiswa Universitas Pasundan)
94. Muhammad Fadil (Universitas Indonesia)
95. Aria Muhammad Arlan (Mahasiswa Universitas Pasundan)
96. Ananda Faila (Mahasiswa Universitas Pasundan)
97. Kartono (Wirausaha)
98. Handika Sapta Yasin (Freelancer)
99. Bey Kanza Firdaus (Mahasiswa Universitas Pasundan)
100. Ilham Ika Pratama (Mahasiswa Universitas Pasundan)
101. Dadang Putra Hadi (Mahasiswa Universitas Pasundan)
102. Risno Pakur (Mahasiswa S2 Universitas Trisakti)