Hari Perempuan Internasional (HPI) dan Mengenal Bentuk-Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan di Tempat Kerja
DOK GSBI: One Billion Rising Sebagai Rangkaian Kampanye GSBI Menuju Hari Perempuan Internasional 2020 - Depan Istana Negara RI, Jakarta. Har...
https://www.infogsbi.or.id/2020/06/hari-perempuan-internasinal-hpi-dan.html?m=0
DOK GSBI: One Billion Rising Sebagai Rangkaian Kampanye GSBI Menuju Hari Perempuan Internasional 2020 - Depan Istana Negara RI, Jakarta. |
Hari Perempuan Internasional (HPI) dan Mengenal Bentuk-Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan di Tempat Kerja
“Setiap tanggal 08 Maret diperinggati sebagai Hari Perempuan Internasional (HPI). Hari tonggak perlawanan buruh perempuan dalam memperjuangkan hak-haknya, perbaikan upah, jam kerja yang panjang, kondisi kerja yang buruk, masalah ekonomi dan kebudayaan yang bebas dari penghisapan dan penindasan oleh pengusaha dan negara termasuk perlawanan untuk menuntut persamaan hak secara politik “tuntutan untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum”.
Sejarah Hari Perempuan Internasional
International Women's Day (IWD) atau Hari Perempuan Internasional dirayakan seluruh dunia setiap tanggal 8 Maret. Sebagaimana di ikutip dari Internationalism in the Labour Movement 1830-1940 (1988) dan Temma Kaplan melalui tulisannya “On the Socialist Origins of International Women's Day”, yang dimuat di Feminist Studies (198 ). Penetapan tanggal 8 Maret sebagai hari Perempuan Internasional bermula adanya protes, demontrasi besar-besaran buruh perempuan pabrik tekstil di New York pada 8 Maret 1857 melawan penindasan, tindakan semena-mena pemilik pabrik, upah yang rendah, demonstrasi tersebut dibubarkan secara paksa oleh pihak kepolisian.
Lima puluh (50) tahun kemudian, terjadi hal yang sama, 8 Maret 1907 seperti yang tertulis dalam buku The Feminism Book: Big Ideas Simply Explained (2019), lebih dari 20 ribu buruh perempuan pabrik tekstil di New York mengadakan demonstrasi menuntut tentang kesetaraan upah dan memprotes kesewenang-wenangan, menuntut perbaikan upah, pemangkasan jam kerja yang panjang dan kondisi kerja yang buruk.
Tanggal 28 Februari1909 dimotori oleh Social Party of America (SPA) di New York ,peringatan hari perempuan internasional pertama (peringatan peristiwa 8 Maret 1857 dan 1907) dilakukan dalam rapat umum, unjuk rasa besar-besaran yang diikuti oleh perempuan kelas buruh dan para pendukungnya menuntut hak berpendapat dan berpolitik “tuntutan tentang hak politik perempuan untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum”. Gerakan ini dimotori Theresa Malkiel, aktivis perempuan kelahiran Rusia, tepatnya Ukraina. Sally M. Miller dalam From Sweatshop Worker to Labor Leader: Theresa Malkiel, A Case Study (1978) menjelaskan, keluarga Malkiel tiba di AS pada 1891. Malkiel bekerja sebagai buruh pabrik garmen di New York sejak berusia 17 tahun.
Aksi di New York tersebut, memicu terjadinya aksi-aksi dan gerakan serupa diberbagai negara di Eropa pada 19 Maret 1909 dengan tujuan sama, yakni memperjuangkan hak pilih untuk kaum perempuan. Jennifer Trainer Thompson dalam The Joy of Family Traditions (2011) menyebut aksi-aksi ini melibatkan lebih dari satu juta orang dari seluruh dunia.
Apalagi setelah terjadinya kebakaran di New York dibulan yang sama yang menewaskan 146 orang buruh perempuan. Kejadian tersebut sontak menjadi sorotan dunia, termasuk kondisi kerja yang buruk dan perlakuan buruk yang dialami kaum buruh perempuan kala itu, upah rendah, jam kerja panjang menjadi pemicu dari aksi-aksi dan hal ini semakin menguatkan tekad bahwa kaum perempuan sedunia harus bergerak bersama demi kesetaraan.
Tanggal 26 dan 27 Agustus 1910, diselenggarakan International Socialist Women's Conferences atau Konferensi Perempuan Sosialis Internasional di Kopenhagen, Denmark, yang dihadiri perwakilan dari puluhan negara di dunia. Sebelumnya, perhelatan serupa juga pernah dihelat di Stuttgart, Jerman, pada 17 Agustus 1907.
Dalam Konferensi Perempuan Sosialis Internasional di Kopenhagen, Denmark 1910, Clara Zetkin Pemimpin “Kantor Perempuan” pada partai Demokrasi Sosialis Jerman mengajukan sebuah gagasan untuk menetapkan Hari Perempuan Internasional yang menyarankan setiap negara merayakan satu hari dalam setahun untuk mendukung aksi tuntutan perempuan, sebagai hari perlawanan kaum perempuan kelas buruh dan upaya untuk membangkitkan gerakan pembebasan perempuan di dalam garis perjuangan di seluruh dunia.
Gayung bersambut, gagasan itu diamini Konferensi perempuan dari 17 negara yang beranggotakan total 100 perempuan. Sehingga disepakati 19 Maret 1911 sebagai perayaan pertama Hari Perempuan Internasional di Austria, Jerman, Denmark dan Swiss.
Minggu terakhir Februari 1913, kaum perempuan di Rusia menyelenggarakan demontrasi untuk menentang Perang Dunia I. Setahun kemudian demonstrasi ini meluas ke seluruh Eropa, jatuh pada minggu pertama bulan Maret.
Tahun 1917, lagi-lagi kaum perempuan di Rusia melakukan demonstrasi besar pada minggu terakhir Februari dengan mengusung tuntutan “Bread and Peace!” (Roti dan Perdamaian). Empat hari kemudian, tepat tanggal 8 Maret dalam kalender Masehi, kekuasaan Tsar Rusia jatuh. Kemudian kaum perempuan mendapatkan hak pilih mereka. Dan sejak saat itu 1917 di Soviet Rusia setiap tanggal 8 Maret (Hari Perempuan Internasional) secara resmi dijadikan sebagai hari libur nasional, dan dirayakan secara luas di berbagai negara di belahan dunia.
Pada 1975, tanggal 8 Maret diakui keberadaannya sebagai hari Perempuan Internasional oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan mulai memperingatinya. Lalu pada tahun 1977, tanggal 08 Maret secara resmi ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangasa (PBB) sebagai hari Perempuan Internasional sebagai penghargaan atas kebangkitan kaum perempuan dalam memperjuangkan hak ekonomi dan politiknya untuk memperjuangkan hak perempuan dan mewujudkan perdamaian dunia. Bahkan pada tahun 2011, mantan Presiden AS Barack Obama menetapkan Maret sebagai 'Bulan Sejarah Perempuan'.
Hari Perempuan Internasional sendiri diperingati untuk menginggat dan menteladani perjuangan ratusan tahun lalu jutaan buruh perempuan dengan gagah berani berjuang untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik, lepas dari segala penindasan dan penghisapan untuk mendapatkan pengakuan bahwa perempuan memiliki derajat dan hak yang sama dengan laki-laki. Tujuannya agar menjadi insipirasi bagi kaum perempuan Indonesia, kembali bangkit menggelorakan perjuangan dan perlawanan atas apa yang menjadi haknya, mengingat perempuan Indonesia saat ini masih terbelenggu oleh penghisapan, penindasan serta pembodohan dibawah sistem setengah jajahan dan setengah feodal (SJ-SF) yang masih kuat dibawah dominasi kekuasaan kapitalis monopoli asing.
Poto DOK GSBI- Kegiatan Komite Perempuan GSBI Tangerang Raya |
Mengenal Bentuk-Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan di Tempat Kerja
Kaum perempuan se-dunia dan juga Indonesia mengalami penindasan dan penghisapan klas reaksioner yang berkuasa, negara reaksioner, patrialkal didominasi oleh kaum laki-laki, oleh ajaran filsafat reaksioner dan nilai-nilai agama yang disalah-gunakan untuk memelihara kekuasaan klas dan kaum laki-laki atas kaum perempuan. Penindasan dan Penghisapan kaum perempuan di Indonesia telah ada sejak kelahiran masyarakat berklas, setelah krisis dan kehancuran komunal primitif secara fundamental dan luas. Penindasan dan penghisapan ini semakin memburuk dan berlipat-ganda dibawah sistem SJSF (setengah jajahan dan setengah feodal) yang masih eksis saat ini dipimpin oleh Presiden Joko Widodo – Ma’ruf Amin.
Perempuan masih tertindas dan terus mengalami diskriminasi di berbagai aspek baik ekonomi, politik, maupun kebudayaan. Di aspek ekonomi, perempuan masih mengalami diskriminasi upah baik perempuan buruh pabrik maupun perempuan buruh tani dan buruh kebun di pedesaan. Di aspek politik, pastisipasi perempuan masih sangat rendah. Perempuan hanya di mobilisasi oleh partai politik sebagai syarat memenuhi kuota 30% dalam pemilu tanpa dibarengi dengan edukasi untuk memastikan keterlibatan perempuan semakin meningkat. Secara umum dapat dilihat komposisi keterwakilan perempuan di lembaga eksekutif hanya kurang lebih 17% saja. Di aspek kebudayaan, kondisi perempuan masih terbenam dalam kemiskinan karena akses terhadap pendidikan masih sangat rendah. Terbukti dari angka partisipasi masyarakat (APM) perempuan di perguruan tinggi yang dirilis kementrian perempuan dan anak pada tahun 2015 turun menjadi 19,09% dari tahun sebelumnya 20,60%. Hal ini berakibat banyaknya perempuan masih terjebak dalam perkawinan anak. Di pedesaan, dimana mayoritas masih didominasi kaum tani, perempuan terjebak dalam kemiskinan yang dalam. Karena minimnya akses terhadap tanah sebab monopoli dan perampasan yang masih eksis di Indonesia.
Situasi ini diperparah dengan niat pemerintah untuk mempercepat proses pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja dan RUU Ketahanan Keluarga yang akan semakin mendiskriminasi perempuan di lapangan pekerjaan, serta mengembalikan perempuan ke ranah domestic, melanggengkan praktek tindakan kekerasan dalam berbagai bentuk terhadap perempuan.
Kekerasan Terhadap Perempuan adalah tindakan tindakan kekerasan berbasis gender yang berakibat pada, atau kemungkinan mengakibatkan, kerugian fsik, seksual atau psikologis atau penderitaan bagi perempuan, termasuk ancaman untuk melakukan tindakan demikian, paksaan atau perampasan kebebasan sewenangwenang, baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi. (Declaration of Elimination against Violence Against Women (DEVAW) , 1993 Pasal 1).
Sedangkan Pengertian Kekerasan Berbasis Gender adalah Kekerasan yang ditujukan terhadap perempuan karena ia adalah perempuan atau yang mempengaruhi perempuan dengan cara tertentu. (CEDAW, Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women). Adapun yang di maksud Kekerasan Terhadap Perempuan Ditempat Kerja, tindakan-tindakan kekerasan yang terjadi di tempat kerja bisa berupa tindakan kekerasan fisik, ancaman, pelecehan, intimidasi, atau perilaku mengganggu lainnya yang mengganggu yang terjadi di tempat kerja.
Kekerasan terhadap perempuan ditempat kerja sudah terjadi sejak proses rekruitmen, diruang produksi (saat bekerja) sampai pada kebijakan baik yang dikeluarkan oleh perusahaan maupun negara.
Dalam Proses Rekruitmen: kekerasan terjadi dalam bentuk Persyaratan yang mengharuskan untuk mendapat ijin dari suami/keluarga; Larangan berjilbab atau harus memakai rok pendek. Diruang produksi (saat bekerja) terjadi dalam bentuk Kekerasan Fisik seperti; dilempar benda keras; di jewer; dipukul; didorong; dihukum ketika tidak masuk kerja atau tidak mendapat target dll, serta Kekerasan Verbal seperti ; dimaki-maki dengan kata-kata kasar; tidak diberi pekerjaan. Adapaun Dalam soal Kebijakan yaitu: Tidak diperbolehkan menggunakan jilbab; Membatasi pengunaan toilet missal untuk ketoilet harus memakai kartu atau dibatasi jam Istirahat; Buruh perempuan bekerja shift malam; Pemerikasaan (body check) waktu mengajukan cuti haid; Persyaratan cuti melahirkan harus ada surat nikah. Diputus kontrak kerja ketika mengambil cuti melahirkan; Tidak mendapat cuti keguguran dan melahirkan; Jam kerja panjang; Tidak ada ruang laktasi; Pelecehan seksual diruang produksi: Dijepret tali BH; Dicolek-colek; disuit-suit; Diintip rok dan kerah baju rendah; Untuk menjadi buruh PKWTT harus kencan dengan atasan kerja.
Secara umum ada empat (4) bentuk utama kekerasan perempuan di tempat yang sering terjadi dan di temukan. Pertama, kekerasan seksual seperti mengomentari bentuk tubuh atau cara berpakaian buruh perempuan, dicolek-colek dan disuit-suit, diintip rok dan kerah baju yang rendah, dipaksa kencan oleh atasan bahkan diperkosa. Kemudian, saat mengajukan cuti haid buruh perempuan yang bersangkutan diperiksa dengan cara menunjukan darahnya (body check). Kedua, kekerasan fisik seperti dipukul, dijewer, dicubit, dilempar benda keras dan digebrak meja, didorong, dihukum dengan cara berdiri ketika terlambat masuk kerja dan/atau tidak masuk kerja dan tidak mendapat target. Ketiga, kekerasan verbal misalnya diancam atau diintimidasi dengan kata kasar, menakut-nakuti, menghina dan memaki termasuk tidak diberikan pekerjaan (non-job). Keempat, pelanggaran hak maternitas seperti keguguran di tempat kerja tidak dianggap kecelakaan kerja, tidak ada fasilitas bagi ibu hamil dan ruang laktasi. Lalu sulitnya mendapat cuti haid dan tidak ada tunjangan bagi buruh yang hamil dan melahirkan.
Buruh perempuan mengalami double violation (atau pelanggaran ganda) di tempat kerja dan lingkungannya. Maka sudah saatnya buruh perempuan terlibat aktif dalam organisasi buruh yang progresif. Membangun kekuatan dan menambah kemampuan serta pengetahuan apa yang menjadi akar persoalan buruh perempuan. Dengan berorganisasi maka buruh perempuan akan mampu menyuarakan semua persoalan yang dihadapi di keluarga, ditempat kerja ataupun lingkungan bahkan dalam hal kebijakan negara. [si-20]
Keterangan:
Tulisan ini juga dipublikasikan dalam Bulletin Suara Independen (SI) Edisi Maret-April 2020