Apa itu Generalized System of Preferences (GSP) ?
Apa itu Generalized System of Preferences (GSP) ? INFO GSBI – Jakarta. Generalized System of Preferences (GSP) adalah kebijakan perdagangan ...
INFO GSBI – Jakarta. Generalized System of Preferences
(GSP) adalah kebijakan perdagangan suatu negara yang memberi pemotongan bea
masuk impor terhadap produk ekspor negara penerima. Ini merupakan kebijakan
perdagangan sepihak (unilateral) yang umumnya dimiliki negara maju (negeri-negeri
imperialis) untuk membantu perekonomian negara berkembang, tetapi tidak
bersifat mengikat bagi negara pemberi maupun penerima.
Negara pemilik program GSP bisa bebas menentukan
negara mana dan produk apa yang akan
diberikan pemotongan bea masuk impor.
Jadi Generalized System of Preferences , atau GSP adalah preferensial tarif sistem yang
menyediakan penurunan tarif pada berbagai produk. Konsep GSP sangat berbeda
dengan konsep " Most Favoured Nation " (MFN). Status MFN memberikan
perlakuan yang sama dalam hal tarif yang diberlakukan oleh suatu negara tetapi
dalam hal tarif diferensial GSP dapat diberlakukan oleh suatu negara di
berbagai negara tergantung pada faktor-faktor seperti apakah itu negara maju
atau negara berkembang.
GSP memberikan pengurangan tarif untuk negara kurang
berkembang tetapi MFN hanya untuk tidak mendiskriminasi di antara anggota WTO.
Kedua aturan tersebut (GSP dan MFN) berada di bawah
lingkup WTO .
Contoh, Indonesia mendapatkan GSP dari Amerika Serikat (AS), artinya Indonesia mendapatkan stimulus
perdagangan yang diberikan AS dalam bentuk fasilitas bebas bea masuk untuk produk ekspor Indonesia ke AS. Dengan GSP, maka ekspor
beberapa produk dari Indonesia ke AS tak dikenakan tarif bea masuk.
Sebagai informasi, GSP merupakan fasilitas perdagangan
berupa pembebasan tarif bea masuk, yang diberikan secara unilateral oleh
Pemerintah AS kepada negara-negara berkembang di dunia sejak tahun 1974.
Indonesia pertama kali mendapatkan fasilitas GSP dari AS pada tahun 1980.
Ada 3.572 produk ekspor yang masuk dalam daftar produk
bebas bea masuk dalam fasilitas GSP, di antaranya: ban
mobil, asam lemak, tas tangan dari kulit, aksesoris perhiasan, plywood bambu
laminasi, plywood kayu tipis kurang dari 66 mm, bawang bombai kering, sirup
gula, madu buatan, karamel, barang rotan khusus untuk kerajinan tangan, dan
sebagainya.
Namun, berdasarkan keterangan resmi Kementerian
Perdagangan (Kemendag) yang diterbitkan pada Oktober 2019 lalu, pemanfaatan
tarif preferensi
GSP oleh para pelaku usaha baru sekitar 836 produk dari total 3.572 produk.
Setiap akhir tahun, AS melakukan evaluasi dari jumlah
volume dan nilai ekspor produk-produk yang mendapatkan fasilitas GSP. AS akan
mencatat
apakah perdagangan dengan Indonesia mengalami defisit atau tidak.
Sehingga, akan ada produk-produk yang tidak bisa lagi
mendapatkan GSP jika sudah memiliki daya saing tanpa dihapuskan bea masuknya.
Misalnya
saja, pada April-Oktober 2019 lalu, USTR melakukan evaluasi terhadap negara-negara
mitra AS seperti Pakistan, Thailand, Brasil, Ekuador, Brasil, dan Indonesia.
Menurut Menteri Perdagangan Agus Suparmanto, AS melakukan penilaian terhadap
enam produk ekspor asal Indonesia.
Dari keenam produk tersebut, hanya produk asam stearat
(HS 38231100) yang tidak lagi mendapatkan tarif preferensi. Hal ini dikarenakan
nilai ekspornya telah melebihi batas ketentuan kompetitif (competitive needs
limitations/CNL). Artinya, produk asam stearat dinilai sudah sangat berdaya
saing dan memiliki pangsa pasar yang sangat baik di AS sehingga tidak perlu
lagi mendapatkan perlakuan khusus atau masuk dalam daftar GSP.
Dilansir dari keterangan resmi Kemlu, Senin
(9/11/2020), selama tahun 2019, United States International Trade Commission
(USITC), mencatat ekspor Indonesia yang menggunakan GSP mencapai US$ 2,61
miliar. Angka ini setara dengan 13,1% dari total ekspor Indonesia ke AS, yakni
US$ 20,1 miliar.
Ekspor GSP Indonesia di tahun 2019 berasal dari 729
pos tarif barang dari total 3.572 pos tarif produk yang mendapatkan preferensi
tarif GSP.
Hingga Agustus 2020, nilai ekspor GSP Indonesia ke AS
tercatat sebesar US$ 1,87 miliar atau naik 10,6% dibandingkan periode sama di
tahun sebelumnya. Indonesia saat ini merupakan negara pengekspor GSP terbesar
ke-2 di AS setelah Thailand (US$ 2,6 miliar).
Sejarah GSP
Gagasan tentang
preferensi tarif untuk negara-negara berkembang menjadi subyek diskusi yang
cukup besar dalam Konferensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) pada
tahun 1960-an. Di antara kekhawatiran lainnya, negara berkembang mengklaim
bahwa MFN menciptakan dis-insentif bagi negara kaya untuk mengurangi dan
menghapus tarif dan pembatasan perdagangan lainnya dengan kecepatan yang cukup
untuk menguntungkan negara berkembang.
Pada tahun
1971, GATT mengikuti
jejak UNCTAD dan memberlakukan dua keringanan kepada MFN yang mengizinkan
preferensi tarif diberikan untuk barang-barang negara berkembang. Kedua
keringanan ini dibatasi waktu hingga sepuluh tahun. Pada tahun 1979, GATT
menetapkan pengecualian permanen untuk kewajiban MFN melalui klausul pengaktifan . Pengecualian ini memungkinkan
pihak kontraktor GATT (setara dengan anggota WTO saat ini) untuk menetapkan
sistem preferensi perdagangan untuk negara lain, dengan peringatan bahwa sistem
ini harus "digeneralisasi, non-diskriminatif dan non-timbal balik
'sehubungan dengan negara yang mereka manfaatkan (yang disebut negara
"penerima"). Negara tidak seharusnya membuat program GSP yang hanya
menguntungkan beberapa "teman" mereka.
Dari perspektif negara berkembang sebagai sebuah kelompok, program GSP telah mencapai kesuksesan yang beragam. Di satu sisi, sebagian besar negara kaya telah memenuhi kewajiban untuk menggeneralisasi program mereka dengan menawarkan manfaat kepada sebagian besar penerima manfaat, umumnya termasuk hampir setiap negara non-anggota OECD. Tentunya, setiap program GSP menerapkan beberapa batasan. Amerika Serikat, misalnya, telah mengecualikan negara-negara dari cakupan GSP karena alasan-alasan seperti komunis ( Vietnam ), ditempatkan dalam daftar negara-negara yang mendukung terorisme ( Libya ) Departemen Luar Negeri AS , dan gagal menghormati undang-undang kekayaan intelektual AS. [rd-gsbi2021]#