GSBI : Penanganan Pandemic Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Mengutamakan Perlindungan Kepentingan Imperialis, Tuan Tanah Besar dan Borjuasi Komprador
INFO GSBI – Jakarta, 8 Agustus 2021. Jaringan Transnational Palm Oil Labour Solidarity (TPOLS) dalam menyikapi kondisi buruh perkebunan saw...
INFO GSBI – Jakarta, 8 Agustus 2021. Jaringan Transnational Palm Oil Labour Solidarity (TPOLS) dalam menyikapi kondisi buruh perkebunan sawit di masa pandemi Covid19 menggelar Konferensi Pers Virtual Minggu 9 Agustus 2021 melalui Zoom dengan menghadirkan pembicara salah satunya Ketua Umum GSBI, Zidane dari Sawit Watch, Kornelis Wiryawan Gatu Ketua DPD SPN Provinsi Kaltim, Supono dari SBPI Sumatera Utara, Gi Estrada dari REAP/UMA Philipina, Karthiges dari JMSL Malaysia dan beberapa pembicara lainnya.
Dalam konferensi pers ini, GSBI diminta untuk presentasi tentang Arah Kebijakan Pemerintah Pusat dalam Menangani Pandemi Covid19 serta Dampaknya Kepada Buruh.
Dan berikut ini adalah presentasi atau uraian lengkap Ketua Umum GSBI di acara Konferensi Pers tersebut:
=========================
Terimakasih Moderator
Asslmkm wrwb. Selamat Siang Salam Sejahtera Untuk kita semua
Perkenalkan Saya Rudi HB Daman, Ketua Umum Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) yaitu Pusat Perjuangan Buruh di Indonesia yang berwatak Independen, Militan Patriotik dan Demokratik yang beranggotakan Serikat Buruh dari berbagai sektor Industri salah satunya sektor Perkebunan Kelapa Sawit yang sedang kita perbincangkan saat ini. dan GSBI merupakan bagian dari aliansi TPOLS-Networks.
Menyimak paparan dari para pembicara, sudah sangat jelas bagaimana situasi kerja dan kehidupan buruh sawit selama pandemi Covid 19 baik yang bekerja di dalam negeri ataupun TKI di Malaysia di sektor Sawit. Pandemi Covid-19 semakin jelas menunjukkan kerentanan, keterisolasian yang selama ini dialami oleh buruh perkebunan kelapa sawit dan anggota keluarganya. Penurunan upah sementara beban kerja mengalami peningkatan, akses ketersediaan pangan yang sulit dan mahal, akses layanan kesehatan yang sulit dan buruk, kondisi kerja yang buruk, pembatasan ruang demokrasi terutama penyempitan hak kebebasan berserikat. Seperti yang di alami oleh SPN Kalimantan Timur sebagaimana di sampaikan oleh Pak Kornelis Wiryawan Gatu. Dan juga yang di alami oleh Pimpinan GSBI di Kabupaten Bengkayang-Kalimantan Barat di perkebunan sawit Wilmart Group. Gara-gara protes melakukan unjuk rasa menuntut pemberlakuan /dilaksanakannya UMSK sektor Sawit tahun 2021, Dua (2) orang Ketua serikat SBPKS-GSBI Tingkat Unit di PHK. Ketua dan Sekretaris DPC GSBI Kabupaten Bengkayang karena mendampingi anggota aksi unjuk rasa, di kriminalisasi dengan dilaporkan ke pihak Kepolisian dengan tuduhan penghasutan. Namun, berkat solidaritas dan desakan dari berbagai pihak, termasuk dari kawan-kawan di TPOLS-Networks akhirnya perusahaan bersedia mencabut laporannya.
Sementara disisi lain, kita menyaksikan bersama, Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Indonesia di bawah presiden Jokowi dalam penanganan pandemi Covid 19 orientasinya bukan untuk melindungi dan menyelamatkan rakyat --- apalagi buruh seperti buruh sawit.
Padahal kita tahu Industri kelapa sawit, bukan hanya tidak terdampak, industri kelapa sawit justru menikmati laba sepanjang masa Covid-19. Industri agrikultur, termasuk kelapa sawit dilaporkan sebagai sektor industri yang bertahan di tengah masa krisis saat ini, sebagaimana halnya pada krisis 1998 dan 2008. Pada masa awal pandemi pada Januari-Juni 2020, neraca perdagangan Indonesia justru mengalami surplus sebesar US$ 5,48 miliar. Surplus ini disumbangkan dari ekspor minyak sawit yang menyumbang devisa sebesar US$ 10,06 miliar atau sekitar Rp. 147 triliun, lebih besar 47 triliun dari tahun 2019. Selain itu, industri sawit selama lima tahun terakhir cenderung mengalami peningkatan dalam hal volume ekspor minyak sawit mentah dan turunannya. Harga jual minyak mentah di pasar global juga justru mengalami peningkatan dan sempat mencapai US$ 1.000 per ton pada Mei 2021. TAPI SEMUA ITU IRONIS DENGAN SITUASI KERJA DAN NASIB KEHIDUPAN BURUHNYA DAN KELUARGANYA NYA.
Kebijakan Percepatan Penanganan Pandemic Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) ----- yang di rilis presiden Jokowi hanya mengutamakan perlindungan kepentingan kapitalis monopoli asing (imperialis), tuan tanah besar dan borjuasi komprador serta dimanfaatkan untuk menyelamatkan klik berkuasa di bawah Pemerintahan Jokowi.
Kenaikan alokasi dana PEN dan penanganan Covid19 dari Rp699,43 Triliun menjadi Rp744,75 Triliun di Juli 2021, Jelas bukanlah untuk melindungi dan menyelamatkan rakyat apalagi buruh. Bisnis pengadaan dan penyaluran Vaksin menjadi prioritas alokasi anggaran terbesar. Disusul dengan insentif untuk menyelamatkan bisnis perusahaan imperialis dan tuan tanah agar tetap berproduksi. Semua ini berarti keuntungan besar bagi perusahaan bisnis Vaksin, obat-obatan, teknologi kesehatan, serta industri komoditas milik imperialis, utamanya Amerika Serikat. Mereka bahkan bisa bebas dari jerat sanksi berat meski tidak memberikan jaminan kesehatan dan Vaksinasi bagi klas buruh dalam intensitas produksi yang tinggi selama masa pandemi.
Lebih jauh secara
fundamental, Indonesia tidak memiliki kedaulatan atas kesehatan. Seluruh obat,
Vaksin dan alat medis tergantung kepada Negara kapitalis monopoli yang justru
menjadikan Issue Covid ini sebagai instrumen dalam menyelesaikan resesi ekonomi
dan mempertahankan dominasinya atas Negara lain, terutama oleh Amerika serikat
dan sekutunya serta Tiongkok (China) sebagai kekuatan Imperialis yang sedang
tumbuh, mereka berlomba meraup keuntungan ekonomi dan politik. Hal ini lebih
dari cukup sebagai kenyataan terjadi krisis kesehatan di dalam Negeri, oleh
karenanya perlu segera dilakukan penanganan khusus dan serius oleh pemerintah.
PSBB , PPKM , PPKM
Darurat dan sejenisnya dengan pelaksanaan membabi buta tidak cukup untuk
menutupi ketidak seriusan dan ketidaksanggupan (inkapibiiltas) pemerintah rezim Jokowi dalam menangani Covid-19. Rakyat
betul-betul dibuat terbatas ditengah kesulitan untuk makan, berobat dan
perawatan kesahatan, sekolah, biaya komunikasi, kehilangan upah dan pekerjaan,
serta tak ada pendapatan sehari-hari.
Pandemi Covid-19 juga ditunggangi pemerintah untuk mengubah dan mengesahkan undang-undang yang melayani kepentingan borjuasi komperador dan tuan tanah sebagai agen kapitalis monopoli asing (imperialisme) di Indonesia untuk menjalankan ekspor capital yang akan menjadikan Indonesia sebagai negeri terbelakang, bergantung dan dipaksa mengemis dengan hutang dan investasi serta menjadi pasar bagi prodak-prodak Imperialisme.
Di saat pemerintah seharusnya mencurahkan seluruh upaya untuk melawan pandemi, UU Omnibus Law Cipta Kerja (Nomor 11 tahun 2020) justru disahkan sebagai upaya rezim Jokowi untuk memperkuat dan semakin mempermudah kedudukan monopoli imperialisme di Indonesia yang telah di lakukan Jokowi sejak periode pertama berkuasa melalui paket kebijakan ekonomi jilid 1 – 16 dan regulasi lainnya, yang intinya deregulasi, liberalisasi dan privatisasi untuk memfasilitasi hutang dan investasi.
Begitupun dengan kebijakan teknis di sektor ketenagakerjaan di bawah Kemnaker RI, tidak ada yang memberikan perlindungan kepada buruh selama massa pandemi Covid 19, sebut saja :
1. Permenaker
No.18 Tahun 2020 tentang Tentang Perubahan Atas Permenaker No. 21 Tahun 2016
Tentang Komponen Kebutuhan Hidup Layak , untuk Penentuan Upah Minimum.
-
Secara Jumlah dalam Permenaker Nomor 18
thn 2020 ini memang terjadi penambahan dari 60 komponen menjadi 64 komponen, Tapi menghilangkan komponen lainnya seperti
kebutuhan untuk komponen kebutuhan buruh perempuan dan kwalitas yang jadi
rujukan juga tetap kwalitas yang masih rendah.
2. Surat
Edaran No. 4/1083/HK.00.00/X/2020 tertanggal 26 Oktober 2020 tentang
Penyampaian Surat Edaran Menaker tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2021 pada
masa pandemi covid 19. ----------- yang intinya pemerinta pusat untuk memastikan
bahwa Gubernur tidak menaikkan UMP terlalu tinggi atau Pembatasan Kenaikan Upah
Minimum.
3. Dengan
Pertimbangannya demi kelangsungan usaha pada industri padat karya tertentu,
perlu pengaturan khusus mengenai pelaksanaan pengupahan di industri padat karya
tertentu akibat pandemi COVID-19, maka di terbitkan Permenaker Nomor. 2 tahun 2021 Tentang Upah
Padat Karya Tertentu pada Masa Pandemi Covid 19 (Industri Makanan, Minuman dan
Tembakau, Tekstil dan Pakaian Jadi,
Kulit dan Barang Kulit, Alas kaki/ Sepatu, Mainan Anak dan Forniture).
-
Permenaker ini memperboleh di industri
sektor tersebut membayar upah di bawah upah minimum/UMP (kesepatan pengusahan
dengan buruh). Jelas ini skema politik
Upah Murah dan perampasan upah buruh Rejim Jokowi-MA.
4. Dua
Surat Edaran (SE) MENAKER RI Nomor : M/6/HI.00.01/V/2020 dan Nomor
M/6/HK.04/IV/2021 tentang THR tahun 2020 dan 2021 yang boleh di cicil.
Dampaknya:
Banyak
pengusaha tidak bersedia membayar THR,
Membayar hak THR buruh seperlunya saja ( 30 – 50 % dari upah),
Pembayaran Hak THR buruh dicicil 3 - 4 kali (THR buruh tahun 2020, di tahun ini (2021)masih ada yang belum lunas
di bayar pengusaha kepada buruhnya).
5. Peraturan Pemerintah (PP) turunan dari Omnibus Law Cipta Kerja (PP, 34, 35, 36 dan 37) – semuanya merugikan buruh. Dan masih banyak regulasi lainnya yang merugikan buruh.
Dengan
tidak adanya peraturan perlindungan buruh di masa pandemi (seperti: larangan
bekerja/pengurangan jam kerja dengan upah tetap dibayar, larangan PHK,
penerapan prokes dan K3 yang ketat),
maka dampaknya bagi buruh adalah:
- Buruh tetap di paksa bekerja dalam
kondisi kerja yang buruk dengan beban kerja berlipat (target tinggi), tanpa
perlindungan memadai yang menjamin buruh tidak terpapar Covid 19. Beban dan jam kerja bertambah, sedangkan upah
dipangkas dengan alasan stabilitas produksi dan mempertahankan marjin
keuntungan selama pandemic. Sehingga, tak bisa ditutupi lagi, penerapan PPKM
darurat menyebabkan pencurian nilai lebih dari klas buruh lebih dalam dan
brutal. Sedangkan, imperialis, borjuasi besar komparador, dan tuan tanah tetap
mengakumulasi capital. Mereka bisa selamat karena
penghisapan nilai lebih tanpa henti dari klas buruh dengan memanfaatkan situasi
pandemic dengan baik.
- Karena dibanyak perusahaan situasi K3 selama ini
juga buruk, termasuk di perkebunan kelapa sawit--- maka ketika pandemi sangat
terasa buruknya, sangat rentan dan terbukti menjadi penyebaran covid klaster
pabrik.
-
Panyak perusahaan merumahkan buruhnya dengan upah
30 – 50% bahkan no work no pay
-
THR di cicil
-
PHK dengan kompensasi hanya 75% bahkan
banyak tidak diberikan konfensasi.
Keadaan seperti ini
menjadi hal yang sangat biasa selama ini bagi pemerintah dan pengusaha , DAN
SAAT INI MENEMUKAN ALASAN KUATNYA Pandemi Covid 19, karena politik upah murah dan fleksibilitas tenaga
kerja dan hubungan kerja memang telah sejalan dengan penerapan UU Cipta Kerja
Nomor 11 Tahun 2020.
Maka atas situasi obyektif yang demikian, bagi klas buruh tidak boleh dianggap sebagai situasi yang biasa. Klas buruh Indonesia harus memahami bahwa dalam rangka mengintensifkan penindasannya terhadap buruh dan rakyat, negara telah mengerahkan seluruh kekuatan yang dimilikinya, tidak hanya membuat kebijakan (undang-undang) anti rakyat tetapi juga mengerahkan seluruh kekuatan birokrasi korup nan busuk serta militernya untuk memastikan kebijakan tersebut berjalan lancar tanpa hambatan.
Bagi klas buruh tidak ada pilihan lain selain memperkuat persatuan, dan membangun gerakan buruh yang militan mulai dari tingkat pabrik hingga nasional. Persatuan diantara klas buruh yang berdasarkan persamaan pandangan dalam memahami musuh-musuh klas buruh dapat memperkuat kedudukan gerakan yang telah eksis saat ini. Disisi lain, upaya memperkuat persatuan ini juga harus sinergis dengan usaha membangun gerakan buruh yang militan di Indonesia. Hanya gerakan buruh militan yang memiliki konsistensi perjuangan membela kepentingan klas buruh serta tidak mudah terombang ambing oleh godaan borjuasi yang akan mampu menghadapi situasi semacam ini.
Apa yang harus kita
desakan dan menjadi tuntutan kepada pemerintah dan Pengusaha :
- Mendesak Pemerintah dan Pengusaha untuk Mengurangi
jam kerja buruh dengan upah tetap dibayar penuh.
- Mengeluarkan kebijakan larangan bagi
pengusaha untuk mengurangi, memotong upah buruh dan PHK selama pandemi.
- Cabut UU Omnibus Law Nomor 11 tahun 2020
tentang Cipta Kerja.
- Desakan untuk segera di buatkannya
UU/kebijakan khusus tentang perlindungan bagi buruh perkebunan sawit, karena
selama ini buruh perkebunan kelapa sawit tidak tercover dengan regulasi UU
Ketenagakerjaan yang ada.
- Pemerintah harus memastikan perlindungan hak atas kesehatan dan hak-hak dalam kerja bagi semua buruh dan klas pekerja. Hal ini termasuk memaksa pengusaha melaksanakan protokol kesehatan ketat, menyediakan APD memadai, dan pembayaran upah tanpa pemotongan dengan alasan apa pun selama pandemi Covid-19 berlangsung termasuk menyediakan tempat khusus bagi para buruh yang harus menjalani Isolasi Mandiri dengan pemantauan tenaga medis.
- Pemerintah
harus menjamin program Vaksinasi yang berkualitas, gratis dan mudah diakses bagi seluruh rakyat, utamanya klas buruh dan kaum
tani. Secara khusus memastikan Vaksinasi berkualitas bagi buruh menjadi tanggung jawab
perusahaan.
- Pemerintah harus mengontrol (mengawasi) dan memberikan sanksi tegas pada perusahaan-perusahaan yang melakukan penyelewengan dan pelanggaran dalam upaya pencegahan penyebaran Covid 19 dengan mewajibkan pekerjanya terus bekerja tanpa APD, tanpa fasilitas kesehatan, dan memaksa buruh bertanggung jawab sendiri untuk menyediakan APD (Masker dllnya) termasuk pemotongan upah buruh dllnya.
Terimakasih
Salam Solidaritas