Kepmenaker RI Nomor 104 tahun 2021 Mencederai Hak Berunding Secara Kolektif, Menghajar Buruh di Masa Pandemi
PERNYATAAN BERSAMA SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH SEKTOR TEKSTIL, GARMENT, SEPATU, KULIT YANG TERGABUNG DALAM DSS-TGS Cabut Kepmenaker N...
PERNYATAAN BERSAMA
SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH SEKTOR
TEKSTIL, GARMENT, SEPATU, KULIT YANG TERGABUNG DALAM DSS-TGS
Cabut Kepmenaker No. 104/2021!
Mencederai Hak Berunding Secara
Kolektif, Menghajar Buruh di Masa Pandemi
Pada pertengahan Agustus 2021,
Kementerian Ketenagakerjaan Indonesia menerbitkan Kepmenaker No. 104/2021
tentang Pedoman Pelaksanaan Hubungan Kerja Selama Masa Pandemi COVID-19. Ini
adalah kebijakan kesekian yang dikeluarkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan RI
berkaitan dengan relasi perburuhan di masa pandemi. Sesuai dengan judulnya,
nampaknya keputusan menteri tersebut bertujuan untuk mengatur ulang
“pelaksanaan hubungan kerja, agar tetap
terjaga kelangsungan bekerja dan kelangsungan usaha”.
Secara konkret, Kepmenaker yang
merujuk pada Omnibus Law UU Cipta Kerja No. 11/2020 tersebut berisi
beberapa aturan seperti:
1. Selama masa pandemi Covid-19,
dimungkinkan perusahaan tetap melakukan proses produksi dengan mengurangi
jumlah buruh, melakukan kerja bergilir, mengurangi jam kerja (Lampiran
Kepmenaker No. 104/2021, Bab II point A);
2. Selama terjadi pengaturan ulang
proses produksi seperti tersebut di atas, dimungkinkan dilakukan merumahkan
buruh, pengurangan upah, pengurangan dan/atau penghapusan tunjangan, tidak
melakukan perpanjangan kontrak kerja, dan pemberlakuan pensiun dini (Lampiran
Kepmenaker No. 104/2021, Bab II point B-C);
3. Hal-hal tersebut dalam point 2
dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan tertulis antara pengusaha dan buruh
termaksud (Lampiran Kepmenaker No. 104/2021, Bab II point B angka 3-5).
Mengamati isi Kepmenaker ini,
nampaknya pelaksanaan peraturan ini tidak konsisten dengan tujuan awal
pembentukannya. Kepmenaker No. 104/2021 ini terasa janggal dan membunuh harapan
kaum buruh akan hadirnya perlindungan negara di masa pandemi. Di tengah pandemi
yang berdampak cukup besar pada buruh baik dari sisi kesehatan maupun
kesejahteraan, Kepmenaker No. 104/2021 ini justru melucuti jaminan perlindungan
kaum buruh dan justru seolah mempertegas keberpihakan pemerintah kepada
kepentingan pengusaha sebagai yang terdampak, sementara jutaan buruh dan
keluarganya yang jauh lebih terdampak lebih sering dikesampingkan. Padahal,
buruh adalah roda ekonomi negara.
Di luar dampak pelaksanaannya,
Kepmenaker No. 104/2021 ini juga merefleksikan pengabaian Kementerian
Ketenagakerjaan RI terhadap peran serikat buruh dalam merepresentasi
anggotanya. Kepmenaker No. 104/2021 memungkinkan negosiasi ulang hubungan kerja
dengan alasan pandemi Covid-19 dilakukan secara individu antara buruh dan
pengusaha. Ini berarti keputusan menteri ini justru menegasi pasal 4 ayat (1)
UU No. 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang berbunyi, “Serikat
pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh
bertujuan memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta
meningkatkan kesejahteraan yang layak pekerja/buruh dan keluarganya.”
Kepmenaker No. 104/2021 ini
adalah pelanggaran serius terhadap Pasal 8 ayat (2) Konvensi ILO No. 87 tentang
Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi. Ini juga adalah
pelanggaran serius terhadap pasal 4 Konvensi ILO No. 98 tentang Hak untuk
Berorganisasi dan Berunding Bersama.
Jika Kepmenaker No. 104/2021
mengarahkan terjadinya dialog sosial untuk menegosiasi ulang relasi perburuhan
di masa pandemi, Pemerintah nampaknya lupa bahwa dialog sosial hanya bisa
berlangsung apabila: a) dilakukan untuk membahas isu-isu non-normatif, dan b)
dilakukan oleh serikat buruh yang merepresentasi kepentingan buruh dan keluarganya.
Negosiasi ulang tentang upah dan tunjangan, bahkan penawaran pensiun dini
bukanlah isu non-normatif; ini adalah isu-isu vital dalam relasi perburuhan
yang dapat berdampak besar pada keberlangsungan hidup buruh dan anggota
keluarganya dalam masa pandemi ini. Hal-hal demikian seharusnya tidaklah
diserahkan pada buruh yang secara individual memiliki posisi tawar jauh lebih
lemah dibanding pengusaha.
Dampak dari pelaksanaan
Kepmenaker No. 104/2021 sudah terasa. Sejumlah pabrik telah menerapkan praktek
pemanggilan buruh secara individual, diminta penandatanganan persetujuan
penurunan upah atau penghapusan tunjangan. Surat persetujuan dibuat secara
individu atau massal dan dijadikan dasar pembenaran pengurangan upah dan
tunjangan, padahal proses produksi terus berlangsung penuh dan buruh tidak
melihat dampak pandemi pada laju order dan produksi. Hal ini tentu mengenaskan,
ditambah beban buruh bertambah dengan ancaman kesehatan, klaster pabrik
berbenturan dengan kebutuhan hidup buruh dan keluarganya.
Di sisi lain, Kepmenaker ini
juga tidak memuat tenggat waktu berlakunya panduan ini. Preseden yang
diterapkan oleh Kepmenaker ini berpotensi tetap diterapkan saat pandemi telah
usai, sehingga patut dicurigai bahwa pelemahan peran serikat buruh dalam
merepresentasi anggotanya di perundingan tingkat perusahaan merupakan bagian
dari ancaman pemberangusan serikat pekerja dan kebebasan berserikat.
Apabila dibiarkan, tentu saja
kekuatan SP/SB sebagai alat perjuangan buruh akan semakin melemah dan tingkat
kesejahteraan kaum buruh makin merosot. Negara yang semestinya menjadi
pelindung bagi warga negara yang lemah dan rentan, justru menjadi pelaku utama
pelanggaran hak asasi manusia warganya: hak atas upah layak, hak atas hidup,
hak atas kesehatan. Hal ini menjadi pertanyaan kritis, apakah negara ini
merupakan negara hukum atau negara kekuasaan, segelintir pemilik kuasa
memainkan ragam kebijakan demi kepentingan segelintir kelompok pengusaha dan
pemegang kuasa.
Karenanya, kami sejumlah
serikat pekerja/serikat buruh yang tergabung dalam kelompok DSS-TGSL (Dialog
Sosial Sektoral-Tekstil Garment Sandang Kulit), demi menyuarakan kepentingan
buruh dan anggota kami dengan ini menuntut:
1. Cabut Kepmenaker 104/2021,
peraturan ini jelas melanggar hak asasi dan hak legal serikat buruh untuk
mewakili anggotanya melakukan perundingan berkaitan dengan hak-hak kerja selama
masa pandemi. Peraturan ini juga melanggar hak buruh untuk dibela oleh serikat
buruh, membiarkannya sendirian dalam relasi tak seimbang dalam masa sukar
pandemi Covid-19;
2. Menuntut pemerintah untuk
mengeluarkan kebijakan asertif memastikan terjadinya perundingan kolektif dalam
rencana menegosiasi ulang hak-hak kerja selama masa pandemi Covid-19. Hanya
dengan cara demikian buruh individual bisa melakukan negosiasi dalam posisi
setara dengan majikan;
3. Menyerukan penghentian
upaya-upaya sistematis mengorbankan nasib buruh di masa pandemi Covid-19.
Pandemi ini memang membawa berbagai dampak buruk bagi semua orang tanpa
terkecuali. Tetapi patutlah diingat bahwa buruh dan anggota keluarganya yang
berada dalam strata paling bawah kelas sosial adalah mereka yang paling
menderita dalam pandemi ini. Itu sebabnya penting untuk mendahulukan mereka
dalam segala upaya penanggulangan dampak pandemi. Diskriminasi positif harus
dilakukan untuk memastikan keadilan sosial; stop upah murah di masa pandemi!
4. Berikan jaminan upah layak dan
kerja layak bagi buruh!
Demikian pernyataan ini kami buat
Jakarta,
7 Oktober 2021
TTD :
Aan
Aminan, Ketua Umum Federasi SEBUMI
Dian Septi
Trisnanti, Ketua Umum FSBPI
Emelia Yanti
Siahaan, Sekretaris Jenderal DPP.GSBI
Dion Untung Wijaya,
Ketua Bid. Hub LN PP FSP TSK-SPSI
Sumiyati,
Ketua Bidang Perempuan dan Anak DPP SPN
Ari
Joko Sulistyo, Ketua Umum Garteks-KSBSI
Helmy Salim, Ketua Umum FSP TSK-KSPSI
Contact
persons: 1. Dian Septi, 0818
0409 5097
2. Dion Untung Wijaya, 0858 8135 9394
Fast cash offer for you today at just 3% interest rate, both long and short term cash of all amounts and currencies, no collateral required. Apply now for your instant approval financialserviceoffer876@gmail.com WhatsApp +918929509036
BalasHapus