Monopoli Minyak Oleh Imperialisme dan Sejarah Dominasinya Terhadap Minyak Bumi di Indonesia
Poto Dok. GSBI. Rudi HB Daman, Ketua Umum GSBI Monopoli Minyak Oleh Imperialisme dan Sejarah D ominasinya T erhadap Minyak Bumi di Indone...
Monopoli Minyak Oleh Imperialisme dan
Sejarah Dominasinya Terhadap Minyak Bumi di Indonesia
Oleh; Rudi HB Daman, Ketua Umum GSBI
Monopoli atas produksi
hingga distribusi minyak oleh Imperialisme (kapitalis monopoli dunia), ialah
suatu kenyataan yang saat ini tidak lagi dapat dibantah sebagai penyebab utama
tidak tercukupinya kebutuhan konsumsi minyak dalam negeri dan naiknya harga
minyak itu sendiri. Hal tersebut bukan pula seperti alasan dari rezim ke rezim (pemerintah)
yang tetap sama sampai sekarang bahwa naiknya harga BBM adalah akibat turunnya
volume produksi maupun ulah spekulan di pasar minyak internasional, apalagi
spekulan-spekulan kecil didalam negeri yang digemborkan oleh pemerintah seolah
sebagai spekulan besar dan ancaman yang merampas keuntungan dari penjualan
minyak didalam negeri.
Monopoli
Imperialisme atas Minyak Dunia
Monopoli
telah menyebabkan produksi dan penentuan harga sepenuhnya dikendalikan oleh
kartel–kartel besar milik imperialis, bahkan negara penghasil atau produsen
minyakpun tidak akan sanggup mengubah kebijakan harga di luar ketentuan dari
kartel milik imperialis tersebut. Minyak sebagai komoditas penting terutama
untuk industri dan transportasi telah sejak lama berada di bawah kendali
kapitalisme monopoli. Kebutuhan super besar untuk menggerakan industri dan
transportasi milik imperialis sesungguhnya dibarengi dengan pengendalian
sepenuhnya atas industri minyak di seluruh dunia.
Dimulai
dari proses produksi dan penguasaan cadangan minyak yang selama ini dipegang
oleh perusahaan–perusahaan minyak milik Imperialis terutama melalui AS, dahulu
ada istilah 7 sisters (Standard Oil of
New Jersey, Royal Dutch Shell, Anglo Anglo Persian Oil Company (sekarang BP), Standard Oil of New York (Exxon Mobile),
Standard Oil of California (Chevron), Gulf Oil dan Texaco) yang menguasai
lebih dari sepertiga produksi dan cadangan minyak dunia yang seiring dengan
krisis berkepanjangan yang menghasilkan merger, maka seven sisters terus
berkurang dan hanya menyisakan Exxon Mobil, Shell, BP, Chevron dan Conocco
Phillips.
Meskipun
banyak pihak yang menyebutkan bahwa seiring berdirinya OPEC dan munculnya “new
seven sisters” yang terdiri dari Saudi
Aramco (Arab Saudi), Gazprom (Rusia), CNPC (China), NIOC (Iran), PDVSA
(Venezuela), Petrobras (Brazil) dan Petronas (Malaysia) meruntuhkan dominasi
imperialis AS atas monopoli minyak di dunia. Kenyataannya tidaklah demikian,
apalagi dominasi bukan sekedar hanya dari proses produksi semata, monopoli telah dilakukan imperialis dari hulu
hingga hilir. Exxon Mobil saja memiliki cabang hampir di seluruh dunia, dengan pegawai mencapai
lebih dari 120.000 dan enam divisi besar yang masuk dalam tiga kategori
Upstream, Downstream dan Chemical yang
bergerak dari hulu hingga hilir.
Penghasilan
Exxon di tahun 2005 saja sebesar US$ 36,13
miliar, sedikit lebih kecil dari PDB Azerbaijan, sedangkan pendapatannya
lebih besar dari PDB Arab Saudi. Sedangkan tahun 2010, Exxon Mobil meraup
keuntungan sebesar US$ 19,28 Miliar yang didapat dari total revenue sebesar
US$275,56 Miliar. Termasuk di Indonesia, perusahaan minyak imperialis seperti
Exxon, Shell, BP, ConoccoPhillip dan Chevron telah menggurita.
Sesungguhnya
instrumen kekuasaan imperialis AS untuk memonopoli industri minyak dunia tidak
hanya sebatas melalui perusahaan–perusahaan minyaknya saja. Bahkan imperialis
AS menggunakan pasar sebagai intrumen pengendali industri minyak dunia, melalui
pasar minyak terbesar NYMEX (New York Merchantile Exchange) di New York dan ICE
(Intercontinental Exchange) Future di London (pemilik ICE ini merupakan
perusahaan yang berbasiskan di Atlanta AS) serta DME di Dubai.
Di mana spekulan minyak terbesar justru untuk “memainkan”
harga minyak juga dikuasai oleh perusahaan keuangan dan perbankan terkemuka di
AS, tercatat empat perusahaan yaitu Goldman Sachs, Morgan Stanley, sebagai firma dagang terkemuka serta
Citigroup dan JP Morgan Chase yang menguasai lebih dari 75% spekulasi dan harga
minyak dunia.
Lembaga
keuangan seperti Goldman Sachs, Morgan Stanley, Citigroup maupun JP Morgan Case
inilah yang selama ini “memainkan” harga minyak dalam transaksi–transaksi
derivatif dalam kertas–kertas yang sesungguhnya jauh melebihi nilai riil dari
harga minyak itu sendiri, semua itu dilakukan untuk mendapatkan serta
memutarkan kapital super besar di tengah krisis. Fakta ini menunjukan bahwa
harga minyak sesungguhnya dikontrol oleh Wall Street, dan bukan oleh OPEC.
Selama
ini pertukaran minyak internasional dilakukan di NYMEX terutama untuk jenis WTI
dan di ICE Future terutama untuk jenis Brent, sekaligus menetapkan patokan
(Benchmark) atas harga kargo minyak yang diperdagangkan bebas. Peran kedua
pasar minyak tersebut dominan atas pembentukan patokan harga (Benchmark) minyak
khususnya untuk jenis crude oil West Texas Intermediate (WTI) dan North Sea
Brent (Brent), selain itu DME juga memiliki peranan yang sama sebagai
kepanjangan tangan dari NYMEX. Sekedar catatan, jenis Brent merupakan konsumsi
pasar di Eropa dan Asia, sedangkan WTI merupakan konsumsi di AS. Kedua jenis
minyak ini terutama jenis Brent, untuk penyempurnaan penyulingannya selama ini
dilakukan di pantai timur AS.
Sudah
menjadi pemahaman umum bahwa ICE selama ini merupakan partner sejati bagi
penguasa – penguasa perdagangan minyak
seperti Chevron, Exxon, BP hingga Conocco Philip serta pedagang berjangka
minyak raksasa seperti Goldman Sachs, Morgan Stanley hingga Citigroup. Bahkan
tidak seperti umumnya perdagangan kertas berharga yang harus tercatat dan
teregulasi, perdagangan di ICE selama ini tidaklah teregulasi dan diserahkan
pada para pelaku pasar yang dengan seenaknya bisa memainkan harga minyak di
pasar bursa. Selama ini ICE yang juga dikenal sebagai gerombolan kriminal atau
mafia minyak selalu berlindung pada NYMEX, dan melalui OTC (over the counter)
atau perdagangan surat melalui elektronik inilah bahkan pemalsuan transaksi
seperti halnya “skandal Enron” dilakukan oleh imperialis untuk memonopoli
minyak di pasar dunia.
Sehingga dari sinilah terlihat bahwa masalah kenaikan
harga minyak tidak semata–mata diakibatkan oleh berbagai sebab yang selama ini
dipropagandakan oleh imperialis maupun pemerintah bonekanya. Masalah tersebut
hanyalah sekedar pemantik bagi munculnya spekulasi yang kemudian digiring oleh
mafia minyak imperialis untuk mendapatkan keuntungan yang berlebih. Bahkan
untuk lebih mendorong ekspektasi, perbaikan ekonomi AS sebagai konsumen minyak
terbesar di dunia pun dijadikan ukuran atas naik atau turunnya harga minyak di
pasar internasional.
Sejarah
Monopoli Minyak Imperialisme di Indonesia[1]
Secara
khusus, sejarah monopoli minyak bumi di Indonesia menunjukkan masa yang sudah
sangat lama, bermula sejak jaman pra kemerdekaan. Pencairan minyak pertama kali
dilakukan pada tahun 1871 oleh Jan Reerink, kemudian pada tahun 1883 dilanjutkan
dengan pemberian konsesi oleh Sultan Said dari Langkat (Sumatera Utara) kepada
Aeilko Zijker. Karenanya, periode 1871-1885 bisa dibilang sebagai periode awal
atas pencairan dan pengeboran minyak bumi secara modern di Indonesia.
Sejak
periode itu pula berbagai perusahaan pertambangan asing mulai bermunculan untuk
meraup keuntungan dari limpahan minyak bumi diatanah nusantara ini. Dominasi
perusahaan tambang Belanda di Bumi nusantara, tidak lepas dari perlindungan
pemerintahan Hindia Belanda yang mengeluarkan Indische Mijn Wet (IMW). Undang-undang tersebut memberikan konsesi
bagi perusahaan tambang Belanda memiliki kuasa pertambangan dan hak menguasai
tanah. Pada tahun 1920, UU tersebut kemudian di revisi setelah mengalami protes
dari AS karena dipandang diskriminatif bagi perusahaan-perusahaan di luar
Belanda.
Keberadaan
Perusahaan minyak AS sendiri telah ada sejak tahun 1914, yaitu Standard Oil New
Jersey (SOIJ) yang menemukan cadangan minyak di Talang Akar, Sumatera Selatan
(lapangan ekplorasi terbesar di Hindia Belanda). Pada tahun 1926, melalui anak
perusahaanya di Hindia Belanda yakni Nederlandsche
Koloniale Petroleum Maatschappij (NKPM) AS mulai memasang pipa transmisi di
Talang Akar yang berhubung dengan kilang di Sungai Gerong, di seberang kilang
Plaju milik Shell.
Sejak
awal 1950-an, tiga perusahaan besar (Shell, Stanvac, Caltex) melakukan
manipulasi atas biaya produksi dan harga minyak mentah sehingga dapat menekan
angka kewajiban pajak. Mereka melaporkan harga minyak mentah sebesar Rp 100 per
ton, sementara ada beberapa negara lain yang memasang harga Rp 950 per ton.
Dengan harga yang rendah maka mereka dapat membayar pajak lebih murah,
sementara mereka menjual ke pasar dunia dengan tarif yang tinggi.
Untuk
mengakhiri undang-undang kolonial yang masih berlaku (IMW. 1899), Pemerintah
mengeluarkan Undang-undang Nomor 44
Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas. Perusahaan-perusahaan asing
ditempatkan sebagai kontraktor perusahaan Negara, sedangkan Negara adalah pemilik kuasa
pertambangan. Akan tetapi, perusahaan kapitalis monopoli menolak menandatangani
Perjanjian Kontrak Karya berdasar aturan baru karena akan mengurangi peranan
dan keuntungan yang di dapat oleh perusahaan imperialis tersebut, akibat negara
yang memiliki peranan lebih besar. UU Nomor 44 tahun 1960 tetap berlaku dengan beberapa
kesepakatan[2].
Keberadaan
perusahaan minyak asing di Indonesia dalam melakukan eksplorasi dan ekspolitasi
minyak kemmudian menggunakan sistem yang selama ini disebut dengan Production Sharing Contract (PSC) yang
mengatur termasuk kewajiban sharing perusahaan (kontraktor) terhadap perusahaan
Negara, seperti bonus $US. 5 Juta untuk setiap pembukaan kontrak baru dan
tambahan $US. 5 Juta lagi jika produksi komersil terlaksana disetiap daerah
eksplotasi perusahaan pemegang kontrak.
Selanjutnya,
Aktiva-aktiva kilang akan diserahkan kepada pihak Indonesia dalam waktu sepuluh
sampai lima belas tahun dan, dibekali dengan minyak mentah untuk kilang-kilang
perusahaan Negara Indonesia berdasarkan harga pokok ditambah 20 sen dolar Amerika per barel untuk jangka
yang diperlukan sampai dengan 25% dari hasil minyak mentah dari
lapangan-lapangan Indonesia. Kemudian mulai Juni 1963, keuntungan operasi dari
perusahaan-perusahaan internasional akan dibagi dengan perbandingan 60:40
antara pemerintah dan perusahaan. Tetapi walau bagaimanapun pemerintah akan
menerima paling kurang 20% dari nilai kotor minyak mentah yang dihasilkan dalam
tiap tahun oleh perusahaan asing.
Namun
demikian, Seiring berjalanya waktu PSC mengalami beberapa kali perubahan sejak
tahun 1966, PSC generasi pertama, tahun 1976, PSC generasi kedua, tahun 1978,
perubahan pada pasal 267 UU PSC, tahun 1984, PSC generasi ketiga, tahun1988,
PSC generasi keempat.
Selepas
itu, Indonesia menggunakan UU Nomor 22
tahun 2001 sebagai payung hukum terbaru, dimana hak penguasaan sumber daya
migas yang selama ini dipegang oleh Pertamina diberikan kepada BP Migas.
Kedudukan Pertamina hanyalah perseroan biasa, setara dengan kontraktor minyak
lainnya seperti ExxonMobil, Chevron, Shell, Total, dan lain lain. Hal ini
semakin menunjukkan bagaimana dominasi perusahaan milik imperialis dalam
industri minyak di Indonesia.
Kemampuan
modal dan teknologi adalah dua faktor yang tidak dimiliki oleh Pertamina,
apalagi sebelumnya Pertamina selalu berpartner dengan perusahaan minyak swasta
dalam ekspolitasi dan eksplorasi minyak di Indonesia.
Bahkan
dengan dalih menarik investasi yang lebih besar, pemerintah telah memberikan
berbagai paket kemudahan bagi perusahaan minyak Imperialis di Indonesia,
seperti yang diatur dalam paket insentif yakni:
1. Kemudahan
dalam mengimpor barang peralatan industri minyak dan gas termasuk dengan
pembebasan bea masuk.
2. Pemberian
status cabang perusahaan asing yang merupakan Badan Usaha Tetap (BUT) di
Indonesia, bagi investor luar negeri yang anak cabangnya beroperasi di
Indonesia. Prioritas untuk mendapatkan pengembalian biaya (Cost Recovery) atas
biaya operasi dan investasi (melalui depresiasi) sebelum membagi hasil dengan
pemerintah Indonesia.
Keterangan:
Cost recovery,
pada prinsipnya merupakan kewajiban pemerintah untuk mengembalikan biaya
operasi yang dibayarkan dari perolehan minyak secara inkind (dalam bentuk
barang) untuk pengembalian biaya.
Operating Cost (Biaya Operasional), akan dikembalikan sepenuhnya dengan
mekanisme berdasarkan besarnya produksi pada tahun berjalan, apabila tidak
mencukupi untuk ongkos operasi yang tidak terbayarkan akan diperoleh dari
produksi tahun–tahun berikutnya. Operating Cost meliputi semua jenis pengeluaran
dan kewajiban yang telah terjadi dalam melaksanakan operasi perminyakan, mulai
dari eksplorasi, pengembangan, ekstraksi, produksi, pengangkutan dan pemasaran
yang dikusai kontraknya.
Selain
itu, ada beberapa istilah yang selama ini digunakan dalam penghitungan minyak,
yang mungkin asing bagi sebagian besar rakyat dan menunjukan begitu banyak
mekanisme yang di set up untuk merugikan bangsa Indonesia dan memberi
keuntungan super bagi perusahan milik imperialis.
Sesungguhnya
monopoli imperialisme atas minyak dunia tidak akan berjalan mudah tanpa bantuan
rejim komprador di berbagai negeri, mulai dari rejim negeri–negeri produsen
minyak dunia di Timur Tengah hingga Afrika tunduk di bawah dominasi
Imperialisme pimpinan AS. Hal yang sama juga berlaku di berbagai negeri di
Asia, termasuk Indonesia yang sekarang berada di bawah kepemimpinan rezim
populis Joko Widodo.
Meskipun pemerintah selalu berdalih terus dilakukan
penyesuaian atas kontrak karya untuk mengoptimalkan keuntungan, akan tetapi hal
tersebut tetap tidak lebih dari upaya untuk mempermudah operasi imperialisme di
Indonesia. Operator utama dari monopoli dan berbagai bentuk penghisapan
tersebut di Indonesia, tentu saja adalah borjuasi besar komprador yang dibantu
kapitalisme birokrat dan tuan tanah yang seolah olah menjadi pengusaha nasional
akan tetapi aslinya tidak lebih dari makelar atau calo penjual kekayaan negeri
seperti Indonesia. []