Mengenal Prinsip-Prinsip Panduan Bisnis dan HAM
Poto; Profesor John Gerrard Ruggie INFO GSBI - Jakarta. Pada Juni 2011 Dewan HAM PBB menerbitkan United Nations Guiding Principles on Bus...
Poto; Profesor John Gerrard Ruggie
INFO GSBI - Jakarta. Pada Juni 2011 Dewan HAM PBB
menerbitkan United Nations Guiding Principles on Business and Human
Rights (UNGPs on BHR) atau dalam bahasa Indonesia-nya Prinsip-Prinsip
Panduan untuk Bisnis dan HAM.
Dokumen UNGPs on BHR ini disusun memakan waktu selama 6 tahun
oleh Profesor John Gerrard Ruggie dan timnya sebagai
Representasi Khusus Sekretariat Jenderal PBB atau Special
Representative of the UN Secretary General (Deva, 2012).
UNGPs on BHR adalah dokumen panduan
sebuah bisnis dapat dijalankan dengan mengedepankan Hak Asasi
Manusia. Tujuannya, dokumen ini dapat menjadi salah satu pedoman yang bisa
digunakan oleh Negara dan perusahaan untuk mencegah dan mengatasi pelanggaran
Hak Asasi Manusia di sektor bisnis.
Dalam dokumen UNGPs on BHR, dikenalkan
tiga pilar utama yang menjadi dasar dokumen ini. Ketiga pilar ini langsung
disetujui oleh para negara anggota karena dianggap menekankan tanggung jawab
bersama yang dimiliki oleh Negara dan sektor bisnis dalam memastikan
terpenuhinya Hak Asasi Manusia.
Berikut ini tiga pilar UNGPs on BHR yang dimaksud.
Pilar pertama, adalah
pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi HAM. Maksud dari pilar ini
adalah Negara menjadi pihak utama dalam melindungi warganya dari pelanggaran
hak asasi manusia, baik di dalam wilayah mereka dan/atau yurisdiksi oleh pihak
ketiga. UNGPs on BHR memberikan penjelasan yang dengan tegas dan jelas tentang
bagaimana setiap perusahaan yang beroperasi di dalam sebuah Negara perlu
dipastikan bahwa mereka menghormati hak asasi manusia.
Pilar kedua, perusahaan
bertanggung jawab untuk menghormati HAM. UNGPs on BHR mengharapkan perusahaan
dapat secara proaktif memastikan dan mencegah munculnya dampak yang dapat
merugikan hak asasi manusia dalam praktik bisnisnya. Tentu usaha tersebut harus
dilakukan secara terus menerus oleh perusahaan selama bisnisnya terus berjalan.
Adapun pilar
ketiga adalah terpenuhinya hak korban
terhadap akses pemulihan. Dokumen ini menekankan pada perlindungan korban
dengan memastikan korban mendapatkan pemulihan atau bantuan. Sebagai salah satu
pilarnya, memastikan akses pemulihan yang dibutuhkan korban menjadi tugas
Negara dan juga perusahaan. Tidak hanya sekedar adanya akses tetapi juga
memastikan akses tersebut efektif dan mudah dijangkau oleh semua orang menjadi
tanggung jawab bersama.
Ketiga pilar UNGPs on BHR dengan mudah diterima oleh
negara anggota karena dianggap memiliki nilai yang baik untuk semua pihak dalam
usaha mengedepankan HAM dalam bisnis. UNGPs on BHR pun menjadi salah satu
pedoman yang dipilih beberapa negara karena memberikan narasi yang berbeda dan
merangkul semua pihak dalam memastikan praktik bisnis yang mengutamakan Hak
Asasi Manusia.
Menurut Rees (2020) ada beberapa
poin yang perlu diperhatikan dari UNGPs on BHR, yaitu:
1. Fakta bahwa narasi bisnis dan hak asasi manusia dalam UNGPs on BHR merupakan
soft law;
2. Mencakup semua bentuk dampak yang mungkin ditimbulkan perusahaan terhadap
manusia secara komprehensif;
3. Memahami bahwa bisnis adalah hal yang kompleks dan keputusan-keputusan di
dalamnya bisa merugikan kelompok-kelompok rentan;
4. Karena poin sebelumnya, UNGPs on BHR Fokus terhadap kelompok yang
terdampak;
5. Mementingkan narasi perilaku bisnis sehari-hari atau cara perusahaan melakukan
penghormatan HAM, tidak hanya melihat hasil akhir saja;
6. Mengharuskan Negara dan perusahaan memastikan mereka yang merugi atau
korban mendapatkan akses pemulihan yang efektif dan sesuai dengan kebutuhan
mereka.; dan
7. Mengakui bahwa bisnis dan HAM tidak hanya bergantung pada perusahaan saja
tetapi peran penting Pemerintah dalam mengatasi dampak bisnis terhadap
masyarakat tidak kalah penting.
Di Indonesia, sebagai langkah awal, Pemerintah telah
melakukan upaya dalam merespon dan mengimplementasikan UNGPs on BHR. Salah
satunya adalah menunjuk Kemenko Perekonomian sebagai national focal
point untuk Bisnis dan HAM di Indonesia pada tahun 2017.
Setelah penentuan tersebut, Buku Panduan Bisnis dan HAM pun diterbitkan oleh Kementerian Hukum dan HAM pada tahun
2018. Di tingkat regulasi, diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2018
tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2015 tentang Rencana
Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 2015-2019, di mana isu bisnis dan HAM
dimasukkan ke dalam RANHAM 2015-2019.
Lalu, sejak tahun 2020 national focal point untuk
Bisnis dan HAM di Indonesia diperankan oleh Kementerian Hukum dan HAM. Saat
ini, telah dibentuk Gugus Tugas Nasional Bisnis dan HAM. Gugus tugas yang
terdiri dari 19 perwakilan kementerian dan 7 lembaga non-pemerintah ini
direncanakan akan terlibat dalam penyusunan Peta Jalan atau Strategi Nasional
Bisnis dan HAM sebagai upaya dalam menyediakan instrumen hukum bagi pengaturan
isu bisnis dan HAM yang lebih komprehensif.
Selain dokumen yang berkaitan langsung dengan Bisnis dan
HAM sesuai dengan UNGPs on BHR, Indonesia saat ini sedang menyusun RANHAM
2020-2024 yang akan digunakan dalam memastikan terpenuhinya HAM selama lima
tahun ke depan.
Dokumen tersebut disusun oleh Sekretariat
Bersama (Setber) RANHAM.
Dalam perkembangan terakhir menunjukkan
bahwa isu bisnis dan HAM tidak masuk sebagai sasaran dan tidak secara eksplisit
disebutkan, melainkan hanya akan diintegrasikan melalui empat fokus sasaran
yang telah ada. Empat isu yang menjadi fokus
sasaran utama dalam RANHAM generasi ke-5 ini adalah perempuan, anak,
masyarakat, dan orang dengan disabilitas.
Relasi Bisnis dan HAM
Di internal perusahaan pada umumnya relasi bisnis dengan HAM berkaitan
dengan pekerja, produk, dan rantai pasok, bahkan dalam beberapa isu kaitan
dengan pekerja tidak hanya yang terikat langsung dengan perusahaan, namun
berkaitan dengan keluarga dari pekerja. Sementara itu relasi bisnis dengan HAM
di eksternal perusahaan berkaitan dengan masyarakat di lingkar perusahaan dan
komunitas yang lebih luas, termasuk isu anak, perempuan, masyarakat adat dan
kaitan dengan hak ekonomi, sosial dan budaya.
Bisnis yang mengabaikan HAM dampaknya akan sangat buruk bagi mayasrakat
baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Bagi bisnis itu sendiri pengabaikan
HAM juga akan berpengaruh besar terhadap keberlanjutan bisnis maupun penerimaan
dipasar global. Misalnya saja pengabaikan HAM oleh perusahaan tambang batubara
yang di kemas dalam film Sexy Killers, memperlihatkan besarnya dampak buruk
operasional bisnis terhadap lingkungan dan manusia. Uji tuntas HAM merupakan
upaya nyata perusahaan untuk mengelola risiko pelanggaran HAM. Jika hasil yang
ingin dicapai adalah penghormatan HAM, maka uji tuntas HAM merupakan proses
yang harus dilakukan untuk mencapai dan menunjukkan hasil tersebut.
Secara internal, buruh akan merasa
lebih nyaman bekerja pada perusahaan yang komitmen pada HAM sehingga
meningkatkan kinerja perusahaan secara umum. Secara ekternal, dengan memastikan
bahwa penerapan perlindungan HAM juga turut diaplikasikan pihak ketiga yang
bekerjasama seperti rantai pasok dan distributor. Pada akhirnya, konsumen dapat
menilai komitmen perusahaan pada HAM, sehingga lingkungan usaha perusahaan bisa
tercipta dengan baik. Perusahaan yang menghormati HAM pada dasarnya sedang
membangun kepercayaan pasar di tingkat global dan melengkapi “Growing Respects
for Human Rights” dengan Perspektif ISO 26000. [rhbd]#
Tulisan ini bersumber dari tulisan: Alyaa Nabiilah Zuhroh yang di terbitkan https://baktinews.bakti.or.id/artikel/mengenal-lebih-jauh-prinsip-prinsip-panduan-untuk-bisnis-dan-ham serta dari artikel Infid di https://www.infid.org/news/read/ungps-bhr-mengenal-lebih-jauh dan https://prisma.kemenkumham.go.id/relevansi-bisnis-ham.