Pernyataan Sikap GSBI Atas Penetapan Upah Minimum (UM) Tahun 2023 dan Permenaker Nomor 18 Tahun 2022
Pernyataan Sikap Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) Nomor : PS.00014/DPP.GSBI/JKT/XI/2022 Atas Penetapan Upah Minimum (UM) Tahun 2023...
https://www.infogsbi.or.id/2022/12/pernyataan-sikap-gsbi-atas-penetapan.html?m=0
Pernyataan Sikap Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI)
Nomor : PS.00014/DPP.GSBI/JKT/XI/2022
Atas Penetapan Upah Minimum (UM) Tahun 2023 dan
Permenaker Nomor 18 Tahun 2022
Peraturan Pemerintah (PP) 36 tahun 2021
dan Permenaker RI Nomor 18 tahun 2022 adalah Sampah, Kebijakan Jahat yang
Merendahkan Harkat dan Martabat Kaum Buruh Indonesia sebagai Tenaga Produktif
Terbesar (setelah kaum tani) yang Memiliki Peranan Besar sebagai Penggerak
Terciptanya Pertumbuhan Ekonomi Nasional, Kemajuan Negeri dan Dunia.
Cabut Omnibus
Law Cipta Kerja (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020) dan Segala Peraturan
Turunannya.
Segera Berlakukan
Upah Minimum Nasional (UMN),
sebagai Jaring Pengaman dan Solusi dalam Menjawab
Ketimpangan dan Diskriminasi Upah Buruh Indonesia.
Salam Demokrasi !!!
Upah adalah harga tenaga kerja yang dikendalikan
kapitalis dan ditetapkan oleh pemerintah sebagai pelayan klas penghisap dan
penindas (disebut kapitalis birokrat). Tenaga kerja adalah kapasitas buruh
untuk bekerja dalam waktu tertentu (7-8 jam sehari).
Upah buruh hakekatnya bukan nilai hasil kerja. Dalam
sistem kapitalis, tenaga kerja buruh dijual dan dibeli (diperdagangkan) sebagai
sebuah komoditas (barang dagangan). Seperti juga komoditas lainnya, Ia memiliki
harga yang lazim disebut upah. Upah yang
diterima buruh di bawah jauh dibandingkan nilai yang didapatkan kapitalis
melalui pencurian Nilai Lebih atas Kerja Lebih buruh yang tidak dibayarkan.
Seperti komoditas lainnya, harga tenaga kerja ditentukan oleh kuantitas kerja
yang dibutuhkan untuk memproduksi sebuah produk. Kebutuhan dasar yang harus
dipenuhi oleh seorang buruh adalah kebutuhan untuk menghidupi dirinya sendiri
dan keluarganya dan menjaga kekuatan untuk bekerja.
Dibawah sistem ekonomi setengah feodal dan setengah
jajahan, tidak ada industri nasional di Indonesia. Sistem ekonomi setengah
feodal adalah penghalang utama industri nasional. Industri yang ada adalah
industri berorientasi ekspor dan subsitusi impor dengan bahan baku impor,
bergantung pada paten dan di bawah lisensi kapitalis monopoli asing
(imperialis). Manufaktur yang ada adalah olahan setengah jadi, industri rakitan
(assembling) mengandalkan mesin kuno dan teknologi paling rendah.
Konsekuensinya, upah buruh harus murah dan dikorbankan untuk memastikan harga
komoditas hasil industri dapat diekspor dengan harga murah. Kapitalis monopoli
asing (Imperialis) dengan bantuan tuan tanah besar memperoleh bahan mentah
produk kaum tani dengan harga sangat murah, melalui perampasan surplus produk
yang barbar. Klas buruh bekerja dengan jam kerja yang panjang dan kecelakaan
kerja yang tinggi dan fatal. Politik upah murah akan terus dipertahankan atau
mengalami pembekuan dalam waktu yang panjang. Klas buruh Indonesia bahkan tidak
bisa memproduksi tenaga yang baru untuk bekerja keesokan harinya.
Situasi industrial semacam itu tidak saja menciptakan
ketidak-pastian hidup dan ketidak-pastian kerja bagi kaum buruh, memelihara
pengetahuan dan keterampilan rendah, memelihara upah murah, sangat rentan PHK
akan tetapi jelas merintangi pembebasan dan kemajuan kaum tani, penghalang
besar bagi land reform sejati, terciptanya pertanian besar modern di Indonesia.
Dengan kondisi industrial yang parah dan senantiasa lebih
buruk lagi pada saat krisis kronis memuncak, kaum buruh masih harus merelakan
hasil kerjanya untuk diambil oleh kapitalis industrial untuk kepentingan klas-klas
berkuasa : memelihara laba bagi kapitalis industri, memelihara laba bagi
kapitalis dagang, membayarkan bunga pada kapitalis bank yang memberi kapitalis
industrial untuk berproduksi, membayar sewa tanah pada tuan tanah besar pemasok
bahan mentah, membayar pajak pada negara. Tidak satu pun dari mereka memiliki
kepentingan atau sekedar tendensi untuk memelihara tingkat upah yang lebih baik
bagi kaum buruh. Kaum buruh setelah bekerja setahun dalam pabrik diminta untuk
melakukan SURVEY PASAR – menghitung harga keperluan yang “cocok dengan martabat
keburuhannya” di pasar. Menghitung harga telur dan ikan asin satu papan. Hal
yang tidak bakal dilakukan kapitalis pada saat menentukan MARGIN LABA untuk
dirinya.
Situasi tersebut, selaras dengan kebijakan atau sistem
pengupahan di Indonesia hingga sekarang, yang merupakan tambal sulam dan
otak-atik rumus licik dari penerapan politik upah murah sejak rezim Orde Baru –
Soeharto yang berbasis pada Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) periode 1970 - 1995,
Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) periode 1995-2012, Kebutuhan Hidup Layak (KHL)
periode 2012 – 2015 hingga sekarang. Yaitu hakekatnya sistem upah buruh murah
yang berwatak sepenuhnya mengabdi kepada kepentingan kapitalis monopoli, yang
terus menggerus nilai upah riil buruh, menjauhkan kaum buruh dari hasil (nilai)
tenaga kerjanya, yang merendahkan harkat dan martabat kaum buruh sebagai tenaga
produktif yang memiliki peranan besar sebagai penggerak terciptanya pertumbuhan
ekonomi nasional, kemajuan negeri dan dunia.
Dibawah Omnibus Law Cipta Kerja (Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2020), sistem pengupahan yang berlaku diatur melalui Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 36 Tahun 2021 sebagai pengganti PP 78 tahun 2015, yang telah efektif
digunakan dalam penetapan Upah Minimum (UM) tahun 2022. Kedudukannya jauh lebih
busuk dan jahat dari PP 78 tahun 2015 yang jahat, yaitu dengan dimasukkannya klausul Upah Batas Atas dan Upah
Batas Bawah dalam formulasi penggalian upah minimum (UM) yang menyebabkan semakin memerosotkan nilai upah minimum (UM), karena
nilai penjumlahan Inflasi + Pertembuhan Ekonomi tidak 100% menjadi penambah
nilai dari penyesuaian kenaikan upah minimum yang akan ditetapkan. Selain itu,
kenaikan upah minimum dibatasi tidak boleh lebih tinggi dari nilai upah batas
atas.
Hasil survey dan penghitungan Gabungan Serikat Buruh
Indonesia (GSBI) yang dilakukan periode Januari s/d Oktober 2022 di 90
(sembilan puluh) kota/kabupaten di 34 (tiga puluh empat) provinsi di Indonesia
menjelaskan bahwa Upah Minimum (UM) hasil penetapan menggunakan formula PP 36
tahun 2021 yang dibandingkan dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) di
masing-masing 90 kota/kabupaten tersebut mengalami defisit atau minus rata-rata
sebesar Rp180.000,- hingga Rp570.000,- per bulanya, atau rata-rata upah minimum
buruh dalam 10 bulan (Januari s/d Oktober 2022) mengalami defisit sebesar
Rp2.958.297. Padahal
PP 36 tahun
2021 ini digadang-gadang
akan menghilangkan disparitas upah dan untuk
membuat kehidupan buruh yang layak. Namun faktanya jelas, upah minimum hasil PP 36 tahun 2021,
tidak berdaya menghadapi gerusan inflasi meski hanya untuk dibelikan kebutuhan
minimum sekali pun. Dan peraturan ini nyata mandul, tidak bisa menjawab
penetapan upah dalam situasi tertentu seperti saat ini (untuk tahun 2023),
sehingga menteri Ketenagakerjaan harus mengeluarkan aturan khusus (diskresi)
untuk menetapkan upah minimum tahun 2023 melalui Permenaker Nomor 18 tahun
2022. Inilah kondisi konkrit yang dihasilkan dari sistem pengupahan berdasarkan Peraturan pemerintah (PP) Nomor 36 tahun 2021. Jadi
semakin jelas bahwa urgensi omnibus law cipta kerja (UU Nomor 11 tahun 2020),
PP 36 tahun 2021 dan segala peraturan turunnya harus di Cabut atau di Hapuskan,
karena tidak memiliki arti guna untuk perlindungan dan kesejahteraan buruh.
Permenaker Nomor 18 tahun 2022 tidak jauh berbeda, tetap
saja membatasi kenaikan upah minimum tidak boleh melebihi 10% (sepeluh persen)
dari upah minimum (UMP dan UMK) berlaku, serta tetap mempertahankan bahwa UMK
tidak wajib (dapat) ditetapkan. Lebih parah lagi di peraturan ini memasukan yang disebut variabel “α” (alfa) yang
diartikan adalah Wujud indeks tertentu yang menggambarkan kontribusi tenaga
kerja terhadap pertumbuhan ekonomi dengan nilai tertentu dalam rentang tertentu
yaitu 0,10 (nol koma satu nol) sampai dengan 0,30 (nol koma tiga nol). Jelas disinilah paling nyata
aturan ini sangat merendahkan dan menghilangkan peranan dan
kontribusi kaum buruh sebagai tenaga produktif terbesar di Indonesia (setelah
kaum tani) sebagai penyumbang nyata dalam pertumbuhan ekonomi dan penggerak
perubahan kemajuan negeri dan dunia.
Sepanjang rezim Joko Widodo (Jokowi) berkuasa sejak
periode I (2014) hingga periode II (sekarang), pendapatan Domestik Bruto
Nasional (PDB) yang dijadikan salah satu dasar pemerintah sebagai jaminan untuk
berhutang keluar negeri, penyumbang terbesarnya adalah sektor industri
pengolahan. Di tahun 2021 saja industri pengolahan menjadi penyumbang terbesar
nomor satu PDB yang nilainya mencapai Rp. 3.270.000.000.000.000 (3,27
kuadrilliun) hal ini sama dengan 19,25% dari keseluruhan PDB Nasional. Maka
jika menunjuk variable “α” (alfa) sebagai wujud indeks kontribusi tenaga kerja
(buruh) terhadap pertumbuhan ekonomi yang nilainya hanya di patok diangka 0,10
s/d 0,30 adalah nilai yang manipulative dan kebohongan publik, sesat fikir,
menipu rakyat Indonesia atas kontribusi tenaga kerja (buruh) dalam perananya
menciptakan nilai Pendapatan Domestik Bruto (PDB) berikut dengan nilai tambah
yang melahirkan pertumbuhan ekonomi. Padahal hanya kaum buruh dan tani, serta
rakyat tertindas lainya-lah sejatinya tenaga produktif yang menciptakan nilai
tambah atas produksi dan sekaligus sebagai konsumen (pembeli) dari produk hasil
produksinya, hingga menciptakan nilai tambah plus plus dari produksi. Sirkulasi
ekonomi yang seperti inilah oleh pemerintah yang perhitunganya diakumulasikan
secara bulanan, tahunan dan disebut PDB dan laju pertumbuhan PDB secara bulanan
– tahunan disebut Pertumbuhan Ekonomi.
Lebih celakanya, variable “α” (alfa) dalam formulasi
Permenaker Nomor 18 tahun 2022 ditempatkan menjadi faktor pengurang dari nilai
pertumbuhan ekonomi sebelum nilainya di jumlahkan dengan nilai inflasi.
Sehingga penggunaan Variable Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi nilainya tidak
100% digunakan sebagai basis penyesuaian kenaikan upah minimum. Betapa ruwet
dan sakitnya nalar pemerintah dalam “otak-atik” formulasi penyesuaian kenaikan
upah minimum yang akan ditetapkan dan diberlakukan pada tahun 2023. Menyebut
variable “α” (alfa) sebagai wujud indeks kontribusi tenaga kerja terhadap
Pertumbuhan Ekonomi. Namun, berlaku untuk mengurangi nilai daripada pertumbuhan
ekonomi. Jelas ini sesat fikir, sesat ilmu pengetahuan.
Pemerintah provinsi di berbagai daerah telah menetapkan
upah minimum provinsi (UMP) tahun 2023 dengan angka kenaikannya dibawah 10
persen. Hal tersebut sejalan dengan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan
(Permenaker) Nomor 18 tahun 2022 tentang Penetapan UMP 2023. Berdasarkan
data UMP yang dirilis
Kemnaker (29/11/2022),
Provinsi Sumatra Barat menjadi
provinsi kenaikan UMP tertinggi yang mencapai 9,15 persen, di mana
UMP 2022 sebesar Rp2.512.539,00 naik menjadi Rp2.742.476,00 di tahun 2023.
Sedangkan provinsi dengan
kenaikan terendah adalah provinsi Papua Barat sebesar 2,56 persen, di
mana UMP Papua Barat tahun 2022 sebesar Rp3.200.000,00 naik menjadi Rp3.282.000,00
di tahun 2023.
Sesungguhnya dengan sistem pengupahan
yang berlaku sekarang, setiap kenaikan UMP tiap tahunnya, sebenarnya tidak
otomatis berdampak langsung pada kenaikan upah buruh di setiap provinsi, karena
mayoritas di kota/kabupaten diberbagai provinsi telah memberlakukan UMK yang
nilainya sudah jauh lebih tinggi di angka UMP provinsinya. Hanya di tujuh
provinsi ini yaitu; DKI Jakarta, D.I Aceh, Papua, Papua Barat, Maluku Utara,
Sumatera Barat, dan Gorontalo yang penetapan upah nya menggunakan UMP langsung,
yang akan berdampak langsung pada angka kenaikan upah minimum (UM) buruhnya.
Atas hal tersebut GSBI berpandangan
bahwa selama sistem dan tata pengupahan nya masih seperti yang berlaku saat ini
di bawah omnibus law cipta kerja ala PP 36/2021 terlebih Permenaker 18/2022,
tidak akan berdampak signifikan bagi peningkatan pendapatan (perbaikan
kehidupan) kesejahteraan buruh dan keluarganya. Tidak akan bisa menghapus
kesenjangan (disparitas) dan diskriminasi upah yang ada antar daerah, wilayah
dan jenis produksi. Termasuk sebesar apapun pertumbuhan ekonomi bangsa ini,
dari hasil yang di sumbangkan kaum buruh tidak akan dapat dirasakan, tidak akan
kembali sedikitpun terhadap perbaikan penghidupan kaum buruh dan keluarganya. Bahkan
dapat dipastikan upah minimum tahun 2023 akan mengulang kembali dalam posisi
upah minimum yang akan terperosok jauh dari upah riil buruh, akan mengalami
defisit tajam dibandingkan indeks harga konsumen (IHK) dalam kenyataanya pada
tahun 2023 nanti. Serta akan menimbulkan gesekan, kegaduhan dan ketidak pastian
hukum karena penetapannya melalui aturan diskresi yang akan sangat mudah di
gugurkan atau di tolak oleh para pengusaha (tidak otomatis kebijakan atau
naiknya upah buruh itu dijalankan oleh pengusaha).
Dan hal ini nyata bahwa Permenaker 18
tahun 2022 pertanggal 28 November 2022 lalu telah digugat, diajukan
(didaftarkan) uji materiil (JR) ke Mahkamah Agung (MA) oleh gabungan 10
(sepuluh) asosiasi pengusaha yaitu; Apindo, API, Apresindo, Aprindo, Abadi, ApsyFI,
PHRI, HIPPINDO, APMMI dan GAPKI. Ini menunjukkan lahirnya Permenaker 18 tahun
2022 adalah kegagalan pemerintah dalam membangun komunikasi setara dan
kesepemahan antara buruh dan pengusaha, menunjukkan tidak berjalannya Tripartit
Nasional (Tripnas) dan Dewan Pengupahan Nasional (Depenas), bentuk ketidak
seriusan dan ketidak konsistenan pemerintah dalam mempertahankan putusan konsep
atas upah minimum yang di lahirkannya (PP 36/2022), dan konsep itu nyata gagal,
tidak aplikatif dalam situasi tertentu.
Maka atas situasi dan permasalahan
sistem pengupahan sebagaimana di jelaskan diatas, menurut Gabungan Serikat
Buruh Indonesia (GSBI) untuk menjawab ketimpangan upah dan diskriminasi upah
yang terjadi, agar adanya kepastian hukum dan penetapan upah minimum (UM) yang berkontribusi
langsung pada peningkatan pendapatan riil buruh, harus
dilahirkan sistem atau aturan baru tentang Pengupahan bagi Buruh Indonesia.
Berdasarkan kajian GSBI konsep atau
sistem yang tepat adalah Konsep atau Sistem Upah Minimum Nasional (UMN), yaitu
sistem pengupahan dasar (terendah) sebagai jaring pengaman yang dibayarkan
kepada buruh yang tidak dikecualikan dan tidak boleh di negosiasikan, berlaku
secara nasional untuk buruh dengan masa kerja nol sampai dengan satu tahun,
yang ditetapkan langsung oleh pemerintah pusat (nasional) dengan tetap
melibatkan partisipasi serikat buruh dan organisasi pengusaha melalui dewan
pengupahan nasional.
Jika pemerintah menggunakan Produk
Domestik Bruto (PDB) sebagai ukuran imperialis atas tingkat ekonomi atau kesejahteraan
suatu masyarakat dalam suatu negeri, maka rakyat dan upah minimum buruh berhak
mendapatkan nilainya yang dihitung berdasarkan PDB per kapita. Maka Upah Minimum Nasional (UMN) pun harus ditetapkan
dengan rumus : GDP (PDB) Nasional Tahun
Berlaku di bagi Jumlah Penduduk di tahun yang sama dibagi 12 (dua belas) bulan.
Maka itulah Upah Minimum Nasional (UMN).
Dalam konsep dan sistem ini, meskipun
berlaku upah minimum nasional (UMN), masing-masing daerah provinsi, kota dan
kabupaten dapat menetapkan dan memberlakukan upah minimum provinsi, kota atau
kabupaten yang melewati persyaratan upah minimum nasional (UMN). Artinya
besaran upah minimum provinsi, kota dan kabupaten tidak boleh lebih rendah dari
upah minimum nasional (UMN) yang ditetapkan dan diberlakukan pemerintah pusat
(nasional).
Selanjutnya dalam konsep dan sistem
pengupahan ini, selain Upah Minimum Nasional (UMN) juga harus tetap ada Upah
Minimum Sektoral Nasional (UMSN) berdasarkan sektor industri, serta sistem
pengupahan untuk di tingkat perusahaan pabrik) bagi buruh yang masa kerjanya
satu tahun ke atas yang besarannya pertama ditentukan oleh pemerintah melalui
skala upah dan yang kedua ditentukan berdasarkan perundingan dan kesepakatan
antara buruh dan/atau serikat pekerja / serikat buruh dengan pihak perusahaan
melalui perjanjian kerja dan/atau perjanjian kerja bersama (PKB). Dimana
kedudukan pemerintah hanya mengatur aturan main dan kebijakan pokoknya bahwa
Upah Minimum Sektoral Nasional (UMSN) berdasarkan sektor industri, besarannya
harus lebih tinggi dari Upah Minimum Nasional (UMN) yang ditetapkan dan
diberlakukan pemerintah nasional (pusat).
Untuk itu atas sistem pengupahan yang
berlaku di bawah omnibus law cipta kerja (UU Nomor 11 tahun 2020) serta atas
penetapan upah minimum (UM) tahun 2023 dan lahirnya Permenaker Nomor 18 tahun
2022, Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) menyatakan sikap dan tuntutan
sebagai berikut :
- Cabut
Omnibus Law Cipta Kerja (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020) dan semua
peraturan turunannya.
- Peraturan
Pemerintah (PP) 36 tahun 2021 dan Permenaker RI Nomor 18 tahun 2022 adalah
Sampah, Kebijakan Jahat yang Merendahkan Harkat dan Martabat Kaum Buruh
Indonesia sebagai Tenaga Produktif Terbesar (setelah kaum tani) yang
Memiliki Peranan Besar sebagai Penggerak Terciptanya Pertumbuhan Ekonomi
Nasional, Kemajuan Negeri dan Dunia
- Berlakukan Segera Sistem Upah Minimum
Nasional (UMN), sebagai sistem baru upah minimum buruh Indonesia.
- Berlakukan Upah Minimum Nasional (UMN) untuk tahun 2023 adalah sebesar
Rp5.756,750.- per bulannya.
- Menghentikan segala bentuk PHK dan pemotongan upah buruh, perampasan
hak buruh dengan alasan apapun. Dan menindak tegas para pengusaha busuk
yang memanfaatkan situasi untuk meraup keuntungan berlebih diatas
penderitaan kaum buruh.
- Laksanakan Reforma Agraria Sejati dan Bangun Industrialisasi Nasional
sebagai solusi sejati permasalahan bangsa dan rakyat Indonesia.
- Mengajak
kepada seluruh buruh dan serikat pekerja/serikat buruh untuk bersatu,
merebut kembali hasil kerja kaum buruh, berjuang bersama untuk memenangkan
lahirnya konsep dan sistem Upah Minimum Nasional (UMN) sebagai konsep baru
tentang upah minumum buruh Indonesia.
Demikian pernyataan sikap ini
disampaikan, untuk diketahui dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Jakarta, 30 November
2022
Hormat
Kami,
DEWAN
PIMPINAN PUSAT
GABUNGAN
SERIKAT BURUH INDONESIA (DPP. GSBI)
RUDI
H.B. DAMAN (Ketua Umum)
EMELIA
YANTI MD. SIAHAAN, SH (Sekretaris Jenderal)