PERPPU CIPTAKER, PELECEHAN MK, DAN PEMAKZULAN PRESIDEN
Oleh. Prof. Denny Indrayana Guru Besar Hukum Tata Negara Senior Partner INTEGRITY Law Firm Registered Lawyer di Indonesia dan Australia ...
Terbitnya
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta
Kerja (Perppu Ciptaker) adalah persoalan serius ketatanegaraan kita. Perppu
Ciptaker nyata-nyata tidak melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi, dan
karenanya secara teori, adalah pelanggaran konstitusi sehingga masuk
klasifikasi pengkhianatan terhadap negara, yang dapat menjadi pintu masuk
pemberhentian (impeachment) terhadap Presiden Joko Widodo.
KEGENTINGAN YANG DIPAKSAKAN
Semua ahli hukum konstitusi paham, syarat konstitusional terbitnya perppu
adalah adanya “kegentingan yang memaksa” sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 22
ayat (1) UUD 1945. Putusan MK No 138/PUU-VII/2009, ketika menguji
konstitusionalitas Perppu 4/2009 terkait KPK, memutuskan syarat adanya
kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud konstitusi adalah: 1) kebutuhan
mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat; 2) kekosongan hukum,
atau ada undang-undang tetapi tidak memadai; dan 3) kekosongan hukum tersebut
tidak dapat diatasi hanya dengan cara membuat undang-undang saja karena akan
lama.
Apakah itu
berarti, presiden dapat bebas semaunya menerbitkan perppu, karena itu hak
subjektif presiden? MK menegaskan tidaklah demikian. Putusan MK 138 membatasi,
“Pembuatan Perpu memang di tangan Presiden yang artinya tergantung kepada
penilaian subjektif Presiden, namun demikian tidak berarti bahwa secara absolut
tergantung kepada penilaian subjektif Presiden karena sebagaimana telah
diuraikan di atas penilaian subjektif Presiden tersebut harus didasarkan kepada
keadaan yang objektif yaitu adanya tiga syarat sebagai parameter adanya
kegentingan yang memaksa”. Jadi, meskipun betul hak subjektif presiden,
tetaplah harus ada objektivitas yang secara politik diuji dalam forum
persetujuan ataupun penolakan perppu di DPR, ataupun pengujian
konstitusionalitas perppu atau UU-nya di forum MK.
Di luar forum
DPR dan MK, secara teori ketatanegaraan, kegentingan yang memaksa harus dapat
dipertanggungjawabkan secara logika dan akal sehat (logic and reasonable).
Karena itu, kegentingan tersebut seharusnya didasarkan pada ancaman serius yang
nyata, bukan perkiraan atau dugaan semata. Atau dalam konsep Konstitusi
Perancis, Pasal 16 mengatakan kedarutan itu haruslah serious and immediate threat.
Putusan MK dan ancaman langsung tersebut sejalan dengan pandangan Profesor
Jimly Asshidiqie yang menegaskan darurat bagi negara memiliki tiga unsur
penting yang harus dipenuhi secara kumulatif, yaitu: adanya ancaman yang
membahayakan (dangerous
threat); kebutuhan yang mengharuskan (reasonable neccesity), dan
keterbatasan waktu (limited time) yang mendesak.
Membaca bagian
menimbang Perppu 2 Tahun 2022, utamanya huruf g, “bahwa dinamika global yang
disebabkan terjadinya kenaikan harga energi dan harga pangan, perubahan iklim (climate
change), dan terganggunya rantai pasokan (supply chain) telah
menyebabkan terjadinya penurunan pertumbuhan ekonomi dunia dan terjadinya
kenaikan inflasi yang akan berdampak secara signifikan kepada perekonomian
nasional”, maka itu bukan termasuk kategori ancaman yang betul-betul serius dan
nyata, yang memerlukan presidential constitutional emergency
power, yang merupakan arti pentingnya perppu.
Kalau
didalilkan perang Rusia-Ukraina, ekonomi pasca pandemic Covid 19, dan potensi
resesi 2023, maka hal tersebut telah lama terjadi, termasuk tiga belas bulan
sejak Putusan MK soal Ciptaker di 3 November 2021. Selama lebih dari setahun
tersebut, mengapa tidak dilakukan langkah-langkah serius melaksanakan putusan
MK. Sehingga, Wamenkumham yang berargumen sembilan bulan waktu yang tersisa
tidak cukup, sebelum batas waktu dua tahun melaksanakan Putusan MK terkait UU
Ciptaker, tidak boleh dijadikan alasan penerbitan perppu. Karena itu,
Penerbitan Perppu Ciptaker senyatanya adalah bentuk lari dari tanggung jawab
karena tidak mampu dan tidak mau melaksanakan Putusan MK tersebut.
Meskipun,
senyatanya adalah Presiden dan DPR sendiri yang menyebabkan tidak cukupnya
waktu tersebut. Apalagi jika harus memenuhi partisipasi publik yang bermakna (meaningful
public participation) sebagaimana disyaratkan oleh putusan MK.
Dengan UU yang tebalnya lebih dari 1000 halaman, menggunakan metode omnibus
law, maka jalan pintas yang tersisa memang hanya perppu, dengan
risiko yang sedari awal disadari, yaitu menabrak putusan MK, dan menabrak
konstitusi bernegara.
Bukan hanya
menabrak putusan MK dan UUD, penerbitan Perppu Ciptaker yang merupakan
perubahan UU Ciptaker tentunya masih mengadopsi metode omnibus,
dan karenanya menabrak ketentuan Pasal 42A UU 13 tahun 2022 terkait pembentukan
peraturan perundang-undangan yang mengatur, “Penggunaan metode omnibus dalam
penyusunan suatu Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus ditetapkan dalam
dokumen perencanaan”. Dokumen perencanaan tersebut merujuk kepada program
legislasi nasional. Sedangkan penerbitan perppu tentu saja karateristiknya
adalah tanpa perencanaan, karena sifatnya yang genting dan memaksa. Sehingga,
penggunaan metode omnibus law, seharusnya
tidak memungkinkan untuk penerbitan perppu, sebagaimana dilakukan dalam Perppu
Ciptaker.
Dengan berbagai
persoalan tersebut, pertanyaan mendasar yang hadir adalah, apakah Perppu
Ciptaker menjawab kegentingan yang memaksa, ataukah kegentingan yang sengaja
dipaksakan?
PELECEHAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Menjadi lebih problematik, karena Perppu Ciptaker dimaksudkan pula untuk
menggugurkan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang UU Ciptaker. Putusan MK
Ciptaker secara uji formil menyatakan undang-undang tersebut inkonstitusional
bersyarat, karena proses pembuatannya problematik termasuk soal tidak adanya
landasan metode omnibus law, perubahan norma hukum UU
Ciptaker sebelum diundangkan, dan yang tidak kalah penting, tanpa partisipasi
publik yang bermakna (meaningful participation).
Putusan MK
jelas mengarahkan pembuatan undang-undang, bukan perppu. Kalau akan diubah
dengan perppu, maka harus ada dasar kegentingan yang memaksa yang sangat tidak
terbantahkan, bukan hanya perkiraan ataupun dugaan. Tanpa kegentingan yang
tidak terbantahkan, Perppu Ciptaker akan menjadi pelanggaran serius atas
Putusan MK Ciptaker. Meminjam konsep adanya pelecehan parlemen (contempt
of parliament), maka tidak menghormati putusan MK adalah pelecehan
terhadap Mahkamah, alias contempt of constitutional court.
Saya sendiri
berpendapat bahwa, bukan berarti Presiden tidak dapat menerbitkan perppu untuk
melaksanakan putusan MK. Bila memang ada kegentingan yang serius dan nyata,
serta untuk kepentingan penyelamatan bangsa, maka perppu untuk menghormati
putusan MK dapat saja dikeluarkan. Misalnya, Putusan MK Nomor
012-016-019/PUU-IV/2006 memberikan waktu tiga tahun bagi Presiden dan DPR untuk
membuat undang-undang tersendiri terkait pengadilan tindak pidana korupsi.
Ketika batas waktu 9 Desember 2009 nyaris terlampaui, opsi penerbitan perppu
sempat dimunculkan. Tanpa selesainya undang-undang, pengadilan tipikor akan
kehilangan dasar hukumnya, Tidak ada undang-undang lain yang bisa menjadi dasar
eksistensi pengadilan korupsi. Perppu pengadilan tipikor karenanya diperlukan
untuk mengisi kekosongan hukum, serta menyelamatkan agenda pemberantasan korupsi.
Tidak demikian
halnya dengan Perppu Ciptaker, tanpa diterbitkan perppu atau bahkan UU Ciptaker
sekalipun, masih ada banyak undang-undang yang mengatur materi muatan cipta
kerja. Yang terjadi bukanlah kekosongan hukum, karena sebelumnya masih ada
aturan norma di masing-masing undang-undang yang diubah oleh UU Ciptaker. Yang
terjadi hanyalah perubahan paradigma di bidang ciptaker yang diklaim lebih
ramah investasi. Satu klaim yang selalu bisa diperdebatkan ketika dihadapkan
dengan kepentingan publik yang lebih luas dan kelestarian lingkungan.
Jadi,
masalahnya bukanlah putusan MK yang digugurkan dengan perppu, tetapi perppu
yang diterbitkan bukanlah pelaksanaan, tetapi justru tidak melaksanakan putusan
MK itu sendiri.
PEMAKZULAN PRESIDEN
Tidak menghormati putusan MK itulah akibat yang paling problematik dari
terbitnya Perppu Ciptaker. Bagaimana tidak? Dengan menerbitkan perppu, yang
tidak melaksanakan putusan MK, maka Presiden telah memberikan contoh buruk,
bahwa Putusan MK dapat tidak dihormati. Jika dibiarkan, ke depan ini bisa
menjadi preseden buruk. Dengan menggenting-gentingkan situasi negara, tanpa
maksud penyelamatan bangsa, seorang presiden bisa saja menerbitkan perppu yang
menggugurkan putusan MK.
Lebih
berbahaya lagi, tidak melaksanakan putusan MK, berarti melanggar konstitusi.
Karena MK adalah constitutional organ, yang
eksistensi dan fungsinya diatur dalam UUD 1945. Pelanggaran konstitusi adalah
salah satu definisi “pengkhianatan terhadap negara”, yang membuka pintu bagi
proses pemakzulan presiden (impeachment).
Pasal 169
huruf d, UU Pemilu, pada bagian penjelasannya, mengatur bahwa tidak pernah
“mengkhianati negara” adalah termasuk tidak pernah “melanggar Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Dengan demikian, konstruksi
hukumnya: menerbitkan Perppu Ciptaker adalah tidak melaksanakan putusan MK,
yang merupakan pelanggaran konstitusi, melanggar sumpah jabatan yang diatur
dalam Pasal 9 UUD 1945 dengan lafadz, “…memegang teguh Undang-Undang Dasar dan
menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya”.
Pelanggaran konstitusi dan sumpah jabatan adalah pengkhianatan terhadap negara,
yang masuk kategori impeachment article sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 7A UUD 1945.
Kenapa saya
memasukkannya ke dalam ketegori “pengkhianatan terhadap negara” dan bukan
“perbuatan tercela”. Karena penjelasan Pasal 169 huruf j UU Permilu mengatur, misdemeanour lebih
ke arah perbuatan asusila yaitu, “melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
norma agama, norma susila, dan norma adat, seperti judi, mabuk, pecandu
narkotika, dan zina”.
Meskipun dapat
dimasukkan ke dalam klasifikasi “pengkhianatan terhadap negara”, namun tentu
kita paham, impeachment adalah perpaduan proses
politik dan hukum di DPR, MK, dan MPR. Maka realitas politik di ketiga lembaga
negara itu, bahkan di MK sekalipun yang semestinya lembaga hukum, tetap
mempengaruhi arah pemakzulan, alias pemecatan presiden.
Di DPR dengan
koalisi pemerintahan yang masih mayoritas mutlak, tanpa ada perubahan komposisi
koalisi-oposisi, maka meskipun dengan bergesernya posisi Partai Nasdem yang
dianggap tidak lagi solid di dalam pemerintahan, tetap saja proses pemakzulan
Presiden Jokowi memang tidak mudah dilakukan, bahkan dimulai sekalipun. Itu
sebabnya, Presiden percaya diri menerbitkan Perppu Ciptaker yang berpotensi
melanggar konstitusi sekalipun, karena meyakini alih-alih dianggap melanggar
UUD 1945 ataupun mengkhianati negara, Presiden meyakini Perppu Ciptaker akan
disetujui DPR menjadi undang-undang.
Kalaupun
misalnya, anggaplah DPR tidak menyetujui Perppu Ciptaker dan memulai proses
pemakzulan, maka proses di MK pun saya prediksi akan berbeda dibandingkan
dengan pengujian UU Ciptaker, yang memutuskan bertentangan dengan UUD 1945
secara bersyarat (conditionally unconstitutional). Dalam
putusan UU Ciptaker, lima hakim konstitusi termasuk Profesor Aswanto berbanding
empat hakim yang lain, berani membatalkan UU Ciptaker. Sekarang dengan telah
dipecatnya Hakim Aswanto, jangankan untuk MK menyetujui proses pemakzulan
presiden, bahkan membatalkan Perppu Ciptaker ataupun UU yang mengesahkannya,
saya ragu MK akan berani dan independen. Sebagaimana KPK yang telah
dilumpuhkan, MK pun sayangnya telah juga dikerdilkan.
Dengan demikian, saya memprediksi, tanpa ada perubahan koalisi politik signifikan di DPR dan tanpa MK kembali merebut independensinya, maka Perppu Ciptaker akan segera menjadi undang-undang di forum DPR, dan dikuatkan konstitusionalitasnya oleh MK. Hal demikian, bukan berarti karena penerbitan Perppu Ciptaker tersebut benar dan konstitusional, tetapi lebih karena dunia politik dan hukum kita memang sedang sakit parah, alias makin jauh dari prinsip negara hukum yang telah diamanatkan UUD 1945. (*) Tulisan ini di publikasikan GSBI atas seijin penulisnya.