SIARAN PERS : Negara Harus Meminta Maaf, Menegakkan Keadilan dan Ubah Kebijakan Merugikan Kartika dan Semua PRT Migran
INFO GSBI- Jakarta, 7 Maret 2023 - Nama Kartika Puspitasari menjadi berita besar di Hong Kong ketika pengadilan memenangkan gugatan dan mem...
INFO GSBI-Jakarta, 7 Maret 2023 - Nama Kartika Puspitasari menjadi berita besar di Hong Kong ketika pengadilan memenangkan gugatan dan memberinya kompensasi setara 1,67 miliar Rupiah pada Februari lalu atas kasus kekerasan dan eksploitasi yang dia dapatkan dari majikannya di sana. Eksploitasi, penganiayaan, kekerasan, penyekapan dan sejumlah perlakuan keji dialami oleh Kartika, seorang pekerja sektor domestik migran di Hong Kong selama lebih dari 2 tahun dari Juli 2010 sampai Oktober 2012. Selain eksploitasi dan kekerasan, Kartika juga mengalami waktu kerja panjang, tidak digaji, tidak dapat hari libur, tidak dapat jaminan sosial, serta buruknya kondisi kerja dan tempat tinggal.
PRT migran berasal dari Cilacap, Jawa Tengah, ini terpaksa bermigrasi ke Hong Kong setelah sebelumnya bekerja di Singapura demi menghidupi anaknya setelah suaminya meninggal. “Tiga bulan pertama bekerja, majikan masih memperlakukan saya dengan baik. Namun, setelah mereka pindah ke rumah baru, mulai saat itu majikan perempuan berubah sikapnya. Majikan saya membuang semua barang-barang saya termasuk pakaian, dokumen dari Indonesia, paspor, kontrak kerja dan KTP Hong Kong,” kata Kartika dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (7/3) siang.
Kartika bekerja merawat 3 anak dan 2 orang dewasa di keluarga Tai Chi-Wai dan Catherine Au Yuk-shan di kota Tai Po, Hong Kong. Saat musim panas dan dingin, majikannya memaksa Kartika untuk memakai plastik sampah sebagai pengganti baju. Kartika juga disuruh memakai popok setiap hari. Tak jarang, Kartika mendapatkan pemukulan menggunakan tangan, sepatu, gantungan baju, bahkan rantai sepeda. (Cerita selengkapnya silakan diakses di sini: bit.ly/CeritaKartikaMigran).
Kisah Kartika bukanlah kasus pertama. Pada 2014, Erwiana Sulistyaningsih asal Ngawi, Jawa Timur, juga mengalami perlakuan serupa ketika ia bekerja di Hong Kong. Erwiana, yang kini aktivis Beranda Migran mengamini sejumlah perlakuan keji seperti penelantaran dan pemutusan komunikasi dengan orang-orang yang membantu memperjuangkan kasusnya.
“Kasus Kartika mengulangi kasus serupa yang saya alami di sana. Artinya, tidak ada upaya perbaikan untuk pencegahan dan perlindungan, terhadap PRT migran di sektor domestik. Sementara, jika hal ini dibiarkan, kasus serupa hanya soal menunggu waktu,” kata Erwiana.
Eksploitasi dan kekerasan banyak dialami
Eksploitasi, kekerasan, dan perlakuan keji dialami banyak pekerja migran Indonesia di luar negeri. Data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mengungkap selama 2019-2020 setidaknya 700 pekerja migran Indonesia pulang ke tanah air dalam keadaan meninggal dunia, umumnya karena mengalami kekerasan dari pemberi kerja. Sementara itu, buruknya kondisi kerja juga umum dialami. Menurut Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (Kabar Bumi), 7 dari 10 pekerja migran mengalami penahanan dokumen. Hal ini menyebabkan tidak bisa langsung pulang ke Indonesia ketika ada perlakuan tidak manusiawi dari majikan.
Kondisi ini diperparah dengan kurangnya layanan dari perwakilan Indonesia. Iwenk Karsiwen, Ketua Pimpinan Pusat Kabar Bumi menegaskan, pemerintah melalui Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) hanya mengurus kasus kriminalnya saja, tapi tidak ada kompensasi pemulihan korban PRT Migran. Di titik ini, kita mempertanyakan bagaimana kinerja Atase Ketenagakerjaan dan Perwakilan di sana.
Skema Perlindungan Negara Gagal
Ketua International Migrants Alliance (IMA) dan Juru Bicara Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) Eni Lestari menegaskan, kasus yang berulang ini menjadi penanda gagalnya skema perlindungan terhadap perempuan pekerja migran sektor domestik.
“Negara harus meminta maaf secara publik terhadap Kartika dan PRT migran sektor domestik lainnya dengan perbaikan skema kerjasama yang mengutamakan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia dan hak-hak perburuhan,” tegas Eni dalam kesempatan yang sama.
Eni menambahkan, kurangnya informasi pada saat perekrutan disinyalir dilakukan secara sengaja untuk tetap menjadikan migran tersebut sebagai pekerja murah (cheap labour).
“Indikatornya, tidak adanya bekal pemahaman (hak dan kewajiban PRT Migran, bahasa dan budaya negara tujuan yang menjadi kunci keselamatan dan keamanan) PRT migran selama bekerja,” tandasnya.
Daniel Awigra, Direktur Eksekutif HRWG mendorong supaya negara bertanggung jawab penuh atas upaya perlindungan hukum dan jaminan hak atas pemulihan untuk Kartika dan seluruh PRT migran perempuan. Selain itu, sebagai ketua ASEAN menurutnya, Indonesia harus memimpin kawasan untuk pencegahan dan penghapusan perdagangan manusia dengan berfokus pada hak atas pemulihan untuk korban.
"Berulangnya kasus yang dialami Erwiana dan Kartika menempatkan negara yang memiliki jargon Negara Hadir, Buruh Migran Terlindungi itu hanya pepesan kosong, itu cuman omong kosong, macan ompong, tidak bergigi di lapangan. Karena meskipun sudah memiliki Undang-undang 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI), nyatanya kejadian serupa (penganiayaan) masih terjadi," tegas Daniel Awigra.
"Selain jaminan hukum untuk hak-hak
perburuhannya, hari liburnya, hal yang lain adalah soal jaminan sosial.
Bagaimana nasib jaminan sosial Kartika dan Erwiana. Karena sebelum
berangkat PRT Migran harus membayar asuransi PMI. Maka, dengan adanya
Permenaker 4/2023 tentang jaminan sosial, mereka seharusnya bisa mendapatkan
haknya," imbuhnya..
Berangkat dari kasus ini, koalisi meminta; pertama, negara harus meminta maaf secara terbuka dan memberi Kartika hak atas pemulihan, kompensasi, reparasi, jaminan sosial, jaminan kasus serupa tidak terulang. Kedua, mengevaluasi seluruh kerjasama pekerja migran di sektor domestik di seluruh negara tujuan, termasuk mengevaluasi kinerja atase ketenagakerjaan dan perwakilan RI di Hong Kong, dan agensi dan semua pihak yang terlibat. Ketiga, mengakhiri praktik perbudakan modern dengan melakukan negosiasi ketenagakerjaan dengan menghapuskan sistem kerja eksploitatif, dengan pengakuan atas keahlian dan memberikan upah, kondisi kerja dan tempat tinggal layak. [ ]