INFO GSBI -Jakarta. Menyikapi viral dan terungkapnya kepublik adanya perusahaan di Cikarang Kabupaten Bekasi yang menerapkan syarat stayca...
INFO GSBI -Jakarta.
Menyikapi viral dan terungkapnya kepublik
adanya perusahaan di Cikarang Kabupaten Bekasi yang menerapkan syarat
staycation “tidur” dengan bos untuk mendapat perpanjangan kontrak kerja atau
mensyaratkan buruh perempuan (karyawati) nya wajib ginap “tidur” di hotel
dengan bos untuk mendapatkan perpanjang kontrak kerjanya, langsung mendapatkan
respon dan tanggapan keras dari GSBI.
“Gabungan Serikat Buruh
Indonesia (GSBI) dengan tegas mengutuk dan mengecam keras praktek staycation
“tidur”dengan bos demi mendapatkan perpanjangan kontrak kerja. Mengecam dan
mengutuk keras praktek pemerasan, pelecehan dan kekerasan berbasis gender di
tempat kerja yang dilakukan oleh siapapun. Ini adalah Tindakan Biadab!
Melanggar Aspek Norma Sosial, Moral, serta Hukum. Pelakunya harus dijerat
dengan pasal pidana, di luar sanksi pemecatan (PHK). Demikian di sampaikan Rudi
HB Daman, Ketua Umum GSBI.
Kasus
demikian ini dalam pantauan dan temuan Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI)
bukan hal baru, peristiwa demikian sudah terjadi bertahun-tahun lalu di
perusahaan, kawasan industry dan wilayah lainnya. Hanya saja hal ini sulit
untuk dibuktikan. Sama halnya dengan kasus kekerasan dan pelecehan seksual
lainnya yang sering terjadi dipabrik dan tempat kerja.
Relasi
kuasa menjadi jembatan terjadinya kasus pelecehan seksual dan kekerasan
terhadap perempuan di tempat kerja. Dengan ketimpangan posisi antara buruh
kontrak dengan atasan membuat buruh tidak memiliki banyak pilihan ditengah
sulitnya mendapatkan pekerjaan.
Situasi
tersebut di perparah dengan disahkannya omnibus law-Undang-Undang Cipta Kerja yang
melanggengkan dan menegaskan pasar tenagakerja yang fleksibel dan harus semakin
fleksibel. Tidak adalagi batasan waktu, jenis pekerjaan dan industry untuk
penggunaan buruh kontrak dan outsourcing. Semua pekerjaan dan semua jenis
industri bebas menggunakan buruh kontrak dan outsourcing. Maka sistem kerja
kontrak dan outsourcing menjadi penyebab memperluas kesempatan terjadinya
tindak pelecehan dan kekerasan berbasis gerder di tempat kerja atau dunia
kerja, termasuk menerapkan syarat staycation. Pasalnya buruh kontrak di lingkungan industri
sangat lemah posisi tawarnya. Buruh akan diperhadapkan pada diputus hubungan
kontrak atau mengikuti apa yang dimaui oleh manajemen perusahaan. Ungkap Rudi
Status
buruh kontrak atau Outsourcing selain menghilangkan hak reproduksi buruh
perempuan dan buruh pada umumnya, juga membuat posisi buruh hanya dipandang
sebagai benda mati yang tidak memiliki kuasa atas dirinya. Maka tidak salah
kalau menyebut Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja menjual murah tenagakerja
(buruh murah) serta membuat rendah harkat dan martabat buruh.
Dalam
pandangan GSBI, terungkapnya kasus ini semakin memperjelas bagaimana buruknya
kinerja Kementerian Ketenagekerjaan (Kemnaker) RI, tidak memahaminya kondisi
industry dan masalah buruh Indonesia dari Menaker Ida Fauziyah. Terutama gagal
dalam bidang Pengawasan Ketenagakerjaan. Beberapa bulan lalu public juga
dihebohkan dengan kasus kerja lembur wajib dan upahnya tidak dibayar disalah
satu pabrik garmen di Grobogan Jawa Tengah yakni di PT SAI Apparel Industries.
Untuk
itu harusnya pihak Kementerian Ketenagakerjaan – Menteri Ketenagakerjaan RI,
tidak hanya sekedar menyayangkan, mengecam, prihatin dan akan mengungkap kasus
ini. Tapi harus ada tindakan nyata yang dilakukan, yaitu mencabut kebijakan
system kerja kontrak dan outsourcing sebagai kebijakan ketenagakerjaan yang
memberi peluang dan jalan lebar untuk terjadinya tindakan pemerasan, pelecehan
dan kekerasan berbasis gender di tempat kerja-dunia kerja termasuk staycation.
Tahun
2023 dalam catatan tahunan KOMNAS Perempuan mencatat sepanjang tahun 2022 ada
93 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan ditempat kerja , dan Data
Sistem Informasi Perlindungan Perempuan & Anak (SIMFONI PPA) mencatat tahun
2020 terdapat 173 kasus kekerasan ditempat kerja. Data-data diatas harusnya
bisa dijadikan langkah awal bagi Kemenaker RI sebagai pegangan dalam
menjalankan tugas untuk memberikan jaminan dan perlindungan terhadap buruh
perempuan ditempat kerja-dunia kerja.
Untuk
itu, Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) mendesak bahwa penyelesaian kasus
ini tidak boleh sebatas pada menemukan perusahaan dan mengungkapkan pelaku
semata. Tetapi kasus ini harus di ambil alih oleh Menaker “Kementerian
Ketenagakerjaan RI”. Pemerintah pusat melalui Kemnaker RI mempunyai kewajiban
menyelesaikan kasus ini sampai keakar-akarnya. Harus menyelidiki, membongkar
dan mengungkap ke public secara transparan dan jujur; (1). Siapa saja
pelakunya, (2). Nama perusahaan pelaku dan bergerak dalam bidang industry apa
perusahaan ini? (3). Berapa banyak yang menjadi korbanya (identitas korban
harus dilindungi penuh); (4). Memastikan bahwa system kerja kontrak dan
outsourcing di hapuskan. Sebagai bagian dari mengembalikan harkat dan martabat
buruh di Indonesia terutama perlindungan buruh perempuan dari praktek
pemerasan, pelecehan dan kekerasan di dunia kerja. Karena kebijakan ini yang
telah membuka jalan lebar-lebar bagi tindakan pemerasan, pelecehan, kekerasan
berbasis gender terhadap perempuan, termasuk dalam kasus yang viral saat ini.
Maka
atas kasus dan peristiwa yang terjadi sebagaimana di sebutkan diatas, melalui
Pernyataan Sikap ini Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) menyampaikan sikap
dan tuntutan :
1. Perusahaan dan Pelaku terjadinya kasus Staycation, harus di proses dan
di hukum seberat-beratnya. Tidak boleh ada perdamaian dalam kasus pelecehan
seksual karena yang dirugikan adalah para korban dan keluarganya. Sebab kasus
ini adalah jelas praktik perbudakan seksual dan eksploitasi manusia. Terlebih
saat ini Indonesia sudah memiliki UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana
Kekerasan Seksual (TPKS) yang bisa dijadikan dasar untuk mengambil tindakan.
2. Bahwa seluruh korban harus mendapatkan jaminan perlindungan hukum
maksimal, baik saat memberikan kesaksian atas kasus ini ataupun di forum
lainnya dalam memperjuangkan haknya. Sebab dari pengalaman dan praktek selama
ini kasus pelecehan seksual rentan dan rawan intimidasi, termasuk ancaman
pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga ancaman serius lainnya. Termasuk seluruh
korban harus mendapatkan jaminan dan kepastian ganti rugi materiil dan
imateriil.
3. Bahwa Menteri Ketenagakerjaan RI harus turun tangan dan memimpin
langsung dalam penyelidikan dan pengukapan atas kasus ini. Tidak boleh
menyerahkan kasus ini kepada Disnaker dan Pemerintah Daerah. Kemenaker RI
harus segera membentuk Tim Investigasi dan Pencari Fakta Independen yang
melibatkan antar Lembaga dan pihak diantaranya; Kementeria PPA, Komnas
Perlindungan Perempuan, Komnas HAM RI, Serikat Pekerja-Serikat Buruh, Para
Akademisi dan Awak Media/Jurnalis.
4. Kemnaker RI dalam hal ini Menaker Ida Fauziyah harus segera membenahi,
memperbaiki Kinerja dan Meningkatkan Kapasitas Pengawas Ketenagakerjaan yang
nyata buruk dan tidak kompeten. Dan harus berani untuk menindak tegas,
memberikan sanksi bagi perusahaan yang nyata tidak mampu memberikan jaminan dan
perlindungan keamanan dan keselamatan buruhnya, khususnya buruh perempuan dari
tindakan perampasan hak, pemerasan, pelecehan dan kekerasan berbasis
Gender. Karena GSBI dapat memastikan
bahwa kasus serupa banyak terjadi di perusahaan lain dan berbagai sector dan
jenis industry..
5. Hapuskan Segera Sistem Kerja Kontrak dan Outsourcing!!. Segera Cabut
dan Batalkan Omnibus Lae “Undang Undang “ Nomor
6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
6. Segera Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 190 Tahun 2019 tentang
Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan Berbasis Gender di Dunia Kerja. Berikan
Jaminan dan Perlindungan Hak Reproduksi Perempuan di Tempat Kerja, serta Segera
Tetapkan dan Berlakukan Cuti Melahirkan Selama 6 bulan.
GSBI
Bersama Korban dan Keluarganya.
DPP. GSBI melalui Departemen Perempuan dan Buruh Anak, siap bersama-sama korban
dan keluarganya untuk memberikan konsultasi, pendampingan dan bantuan hukum
dalam memperjuangkan keadilan dan hak-hak para korban.
GSBI
menyerukan kepada seluruh badan organisasi GSBI dan seluruh anggota untuk
berperan aktif melakukan pengawasan, pengumpulan data, pendampingan, pembelaan
dan bantu hukum terhadap korban tindak kekerasan dan pelecehan berbasis gender
di tempat kerja dan lingkungan masyarakat, bagi buruh korban perampasan hak dan
tindak kesewenang-wenangan perusahaan dan pemerintah sekalipun. []