Pernyataan Sikap GSBI atas Kasus Praktek Staycation “Tidur” dengan Bos untuk Mendapat Perpanjangan Kontrak Kerja
Pernyataan Sikap Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) Nomor : PS.0002 3 /DPP.GSBI/JKT/ V /2023 Atas Kasus Praktek Staycation “Tidur” d...
https://www.infogsbi.or.id/2023/05/pernyataan-sikap-gsbi-atas-kasus.html?m=0
Pernyataan Sikap Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI)
Nomor : PS.00023/DPP.GSBI/JKT/V/2023
Atas
Kasus Praktek Staycation “Tidur” dengan Bos untuk Mendapat Perpanjangan Kontrak
Kerja.
Salam Demokrasi!!!
Beberapa waktu ini
viral dan terungkap kepublik adanya perusahaan di Cikarang Kabupaten Bekasi
yang menerapkan syarat staycation “tidur” dengan bos demi mendapat perpanjangan
kontrak kerja atau mensyaratkan buruh perempuan (karyawati) nya wajib ginap
“tidur” di hotel dengan bos untuk mendapatkan perpanjang kontrak kerjanya.
Kasus demikian ini
dalam pantauan dan temuan Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) bukan hal
baru, peristiwa demikian sudah terjadi bertahun-tahun lalu di perusahaan,
kawasan industry dan wilayah lainnya. Hanya saja hal ini sulit untuk
dibuktikan. Sama halnya dengan kasus kekerasan dan pelecehan seksual lainnya
yang sering terjadi dipabrik dan tempat kerja.
Relasi kuasa menjadi
jembatan terjadinya kasus pelecehan seksual dan kekerasan terhadap perempuan di
tempat kerja. Dengan ketimpangan posisi antara buruh kontrak dengan atasan
membuat buruh tidak memiliki banyak pilihan ditengah sulitnya mendapatkan pekerjaan.
Situasi tersebut di
perparah dengan disahkannya omnibus law-Undang-Undang Cipta Kerja yang melanggengkan
dan menegaskan pasar tenagakerja yang fleksibel dan harus semakin fleksibel.
Tidak adalagi batasan waktu, jenis pekerjaan dan industry untuk penggunaan
buruh kontrak dan outsourcing. Semua pekerjaan dan semua jenis industri bebas
menggunakan buruh kontrak dan outsourcing. Maka sistem kerja kontrak dan
outsourcing menjadi penyebab memperluas kesempatan terjadinya tindak pelecehan
dan kekerasan berbasis gerder di tempat kerja atau dunia kerja, termasuk
menerapkan syarat staycation. Pasalnya buruh kontrak
di lingkungan industri sangat lemah posisi tawarnya. Buruh akan diperhadapkan
pada diputus hubungan kontrak atau mengikuti apa yang dimaui oleh manajemen
perusahaan.
Status buruh kontrak
atau Outsourcing selain menghilangkan hak reproduksi buruh perempuan dan buruh
pada umumnya, juga membuat posisi buruh hanya dipandang sebagai benda mati yang
tidak memiliki kuasa atas dirinya. Maka tidak salah kalau menyebut Omnibus Law
Undang-Undang Cipta Kerja menjual murah tenagakerja (buruh murah) serta membuat
rendah harkat dan martabat buruh.
GSBI dengan tegas
mengutuk dan mengecam keras praktek staycation “tidur”dengan bos demi
mendapatkan perpanjangan kontrak kerja. Mengecam dan mengutuk keras praktek pemerasan,
pelecehan dan kekerasan berbasis gender di tempat kerja yang dilakukan oleh
siapapun. Ini adalah Tindakan Biadab! Melanggar Aspek Norma Sosial, Moral,
serta Hukum. Pelakunya harus dijerat dengan pasal pidana, di luar sanksi
pemecatan (PHK).
Dalam pandangan GSBI,
terungkapnya kasus ini semakin memperjelas bagaimana buruknya kinerja
Kementerian Ketenagekerjaan (Kemnaker) RI, tidak memahaminya kondisi industry
dan masalah buruh Indonesia dari Menaker Ida Fauziyah. Terutama gagal dalam
bidang Pengawasan Ketenagakerjaan. Beberapa bulan lalu public juga dihebohkan
dengan kasus kerja lembur wajibdan upahnya tidak
dibayar disalah satu pabrik garmen di Grobogan Jawa Tengah yakni di PT SAI
Apparel Industries.
Untuk itu harusnya
pihak Kementerian Ketenagakerjaan – Menteri Ketenagakerjaan RI, tidak hanya
sekedar menyayangkan, mengecam, prihatin dan akan mengungkap kasus ini. Tapi
harus ada tindakan nyata yang dilakukan, yaitu mencabut kebijakan system kerja
kontrak dan outsourcing sebagai kebijakan ketenagakerjaan yang memberi peluang
dan jalan lebar untuk terjadinya tindakan pemerasan, pelecehan dan kekerasan
berbasis gender di tempat kerja-dunia kerja termasuk staycation.
Tahun 2023 dalam catatan
tahunan KOMNAS Perempuan mencatat sepanjang tahun 2022 ada 93 kasus kekerasan
berbasis gender terhadap perempuan ditempat kerja , dan Data Sistem Informasi
Perlindungan Perempuan & Anak (SIMFONI PPA) mencatat tahun 2020 terdapat
173 kasus kekerasan ditempat kerja. Data-data diatas harusnya bisa dijadikan
langkah awal bagi Kemenaker RI sebagai pegangan dalam menjalankan tugas untuk
memberikan jaminan dan perlindungan terhadap buruh perempuan ditempat
kerja-dunia kerja.
Untuk itu, Gabungan
Serikat Buruh Indonesia (GSBI) mendesak bahwa penyelesaian kasus ini tidak
boleh sebatas pada menemukan perusahaan dan mengungkapkan pelaku semata. Tetapi
kasus ini harus di ambil alih oleh Menaker “Kementerian Ketenagakerjaan RI”.
Pemerintah pusat melalui Kemnaker RI mempunyai kewajiban menyelesaikan kasus
ini sampai keakar-akarnya. Harus menyelidiki, membongkar dan mengungkap ke
public secara transparan dan jujur; (1). Siapa saja pelakunya, (2). Nama
perusahaan pelaku dan bergerak dalam bidang industry apa perusahaan ini? (3).
Berapa banyak yang menjadi korbanya (identitas korban harus dilindungi penuh);
(4). Memastikan bahwa system kerja kontrak dan outsourcing di hapuskan. Sebagai
bagian dari mengembalikan harkat dan martabat buruh di Indonesia terutama
perlindungan buruh perempuan dari praktek pemerasan, pelecehan dan kekerasan di
dunia kerja. Karena kebijakan ini yang telah membuka jalan lebar-lebar bagi
tindakan pemerasan, pelecehan, kekerasan berbasis gender terhadap perempuan,
termasuk dalam kasus yang viral saat ini.
Maka atas kasus dan
peristiwa yang terjadi sebagaimana di sebutkan diatas, melalui Pernyataan Sikap
ini Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) menyampaikan sikap dan tuntutan :
1.
Perusahaan dan Pelaku terjadinya kasus Staycation, harus di proses dan
di hukum seberat-beratnya. Tidak boleh ada perdamaian dalam kasus pelecehan
seksual karena yang dirugikan adalah para korban dan keluarganya. Sebab kasus
ini adalah jelas praktik perbudakan seksual dan eksploitasi manusia. Terlebih
saat ini Indonesia sudah memiliki UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana
Kekerasan Seksual (TPKS) yang bisa dijadikan dasar untuk mengambil tindakan.
2.
Bahwa seluruh korban harus mendapatkan jaminan perlindungan hukum
maksimal, baik saat memberikan kesaksian atas kasus ini ataupun di forum
lainnya dalam memperjuangkan haknya. Sebab dari pengalaman dan praktek selama
ini kasus pelecehan seksual rentan dan rawan intimidasi, termasuk ancaman
pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga ancaman serius lainnya. Termasuk seluruh
korban harus mendapatkan jaminan dan kepastian ganti rugi materiil dan
imateriil.
3.
Bahwa Menteri Ketenagakerjaan RI harus turun tangan
dan memimpin langsung dalam penyelidikan dan pengukapan atas kasus ini. Tidak
boleh menyerahkan kasus ini kepada Disnaker dan Pemerintah Daerah. Kemenaker RI harus
segera membentuk Tim Investigasi dan Pencari Fakta Independen yang melibatkan
antar Lembaga dan pihak diantaranya; Kementeria PPA, Komnas Perlindungan
Perempuan, Komnas HAM RI, Serikat Pekerja-Serikat Buruh, Para Akademisi dan
Awak Media/Jurnalis.
4.
Kemnaker RI dalam hal ini Menaker Ida Fauziyah harus segera membenahi,
memperbaiki Kinerja dan Meningkatkan Kapasitas Pengawas Ketenagakerjaan yang
nyata buruk dan tidak kompeten. Dan harus berani untuk menindak tegas,
memberikan sanksi bagi perusahaan yang nyata tidak mampu memberikan jaminan dan
perlindungan keamanan dan keselamatan buruhnya, khususnya buruh perempuan dari
tindakan perampasan hak, pemerasan, pelecehan dan kekerasan berbasis
Gender. Karena GSBI dapat memastikan
bahwa kasus serupa banyak terjadi di perusahaan lain dan berbagai sector dan
jenis industry..
5.
Hapuskan Segera Sistem Kerja Kontrak dan Outsourcing!!. Segera Cabut dan
Batalkan Omnibus Lae “Undang Undang “ Nomor
6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
6.
Segera Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 190 Tahun 2019 tentang Penghapusan
Kekerasan dan Pelecehan Berbasis Gender di Dunia Kerja. Berikan Jaminan dan
Perlindungan Hak Reproduksi Perempuan di Tempat Kerja, serta Segera Tetapkan
dan Berlakukan Cuti Melahirkan Selama 6 bulan.
GSBI Bersama Korban
dan Keluarganya. DPP. GSBI melalui Departemen Perempuan dan Buruh Anak, siap
bersama-sama korban dan keluarganya untuk memberikan konsultasi, pendampingan
dan bantuan hukum dalam memperjuangkan keadilan dan hak-hak para korban.
GSBI menyerukan kepada
seluruh badan organisasi GSBI dan seluruh anggota untuk berperan aktif
melakukan pengawasan, pengumpulan data, pendampingan, pembelaan dan bantu hukum
terhadap korban tindak kekerasan dan pelecehan berbasis gender di tempat kerja
dan lingkungan masyarakat, bagi buruh korban perampasan hak dan tindak
kesewenang-wenangan perusahaan dan pemerintah sekalipun.
Demikian Pernyataan
Sikap ini kami buat dan sampaikan.
Jakarta,
04
Mei 2023
Hormat Kami,
DEWAN PIMPINAN PUSAT
GABUNGAN SERIKAT BURUH
INDONESIA (DPP. GSBI)
Narahubung:
Kokom Komalawati (Ka.Dept.PBA) :
+628128870192
WhatsApp Cernter DPP. GSBI : +6281319996021