Gelora Unjuk Rasa Buruh 10 Agustus 2023 (Bagian 1)
Aksi 10 Agustus 2023 Aliansi Aksi Sejuta Buruh (AASB) B agi mereka yang keberpihakannya kepada kaum tani, kaum buruh, dan rakyat pekerja p...
Aksi 10 Agustus 2023 Aliansi Aksi Sejuta Buruh (AASB) |
Bagi mereka yang
keberpihakannya kepada kaum tani, kaum buruh, dan rakyat pekerja pada umumnya tak
pernah luntur, sungguh suatu kebahagiaan menyaksikan kaum buruh Bandung Raya,
Banten, Karawang, Bekasi, DKI Jakarta, daerah
lain di Jawa Barat bahkan dari Jawa
Tengah (Jateng) dan Jawa Timur (Jatim), berduyun-duyun
menuju Istana perse mayaman Paduka Yang Mulia guna menuntut dicabutnya Omnibus
Law Cipta Kerja, Omnibus Law Kesehatan, Wujudkan Jaminan Sosial Semesta
Sepanjang Hayat (JS3H) dan dicabutnya UU No.4/2023 Tentang Pengembangan dan
Penguatan Sektor Keuangan. Mahasiswa dan pelajar juga memperlihatkan dukungannya.
Bukan
hanya kaum buruh dari berbagai lapisan dan keluarganya saja yang akan terus
menderita dampak negatif dari “UU Cipta Kesengsaraan”, kreasi para pe-nguasa
oligarki negeri ini, yang membudak kepada kepentingan tuan tanah be-sar,
kapitalis birokrat, komprador dan kaum imperialis, yang melalui berbagai Lembaga
Keuangan dan Perdagangannya melicinkan jalan pemerasan tenaga kerja murah dan pengurasan
kekayaan alam tanah air kita.
Kaum
tani dan penduduk di segala pelosok tanah air juga menjadi korban pelak sanaan
“UU Cipta Ketidak-adilan” itu. Dengarkan sendiri kesaksian Sri Palupi di
Mahkamah Konstitusi (MK) yang membongkar efek mengerikan dari UU tersebut bagi kaum tani dan juga lingkungan (https://youtu.be/7SyWB7QimnY).
Menurut
Palupi, tata kelola hutan yang sudah buruk sebelum pelaksanaan omnibs law UU cipta kerja,
telah dibuat lebih buruk lagi dengan diterapkannya UU tersebut. Yang dimaksud
dengan tata kelola hutan yang buruk adalah tidak adanya transparansi, tidak
adanya partisipasi masyarakat dan kesetaraan untuk meningkatkan kesejahteraannya,
tidak adanya akuntabilitas dan koordinasi. Korupsi/penyuapan yang dilakukan PT
Hartati Murdaya, pemilik perkebunan kelapa sawit di kabupaten Buol, Sulawesi
Tengah kepada Bupati Amran Batalipu sebesar 3 miliar untuk mendapatkan ijin HGU
adalah salah satu contoh buruknya tata kelola hutan. Pengelolaan hutan
didominasi oleh korporasi.
Dampak
negatif serius lainnya dari pelaksanaan omnibus law UU cipta kerja adalah partisipasi
masyarakat semakin lemah, peningkatan ketidak adilan terkait dengan sumber daya
hutan dan lahan, perusakan lingkungan dan peningkatan intensitas bencana yang
mengubah kondisi kehidupan masyarakat. Sulawesi Tengah termasuk dalam 10 provinsi
dengan deforestasi tertinggi.
Seluruh upaya positif, seperti misalnya pembuatan Perda nomor 8 tahun 2019 tentang pengelolaan hutan di wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), me-ningkatkan partisipasi masyarakat, melakukan rehabilitasi hutan dan meningkatkan reboisasi hutan, pengakuan terhadap hutan adat demi keadilan bagi masyarakat, meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum, merespons dengan serius program reforma agraria dan perhutanan sosial, yang dilakukan pemerintah provinsi dan kabupaten Buol dan Sigi telah dimentahkan oleh pelaksanaan omnibus law "UU" cipta kerja.
Pertambangan Nikel di Sulawesi |
Mala
petaka yang dilahirkan oleh “UU cipta ketimpangan” di Morowali, bahkan jauh lebih buruk dari
pada yang dialami penduduk dan kaum tani Buol dan Sigi. Sri Palupi menyaksikan sendiri aksi massa
rakyat merangsak masuk kantor Bupati Morowali menolak pertambangan nikel. Bupati
pun mengungkapkan adanya 100 tambang nikel illegal.
Di desa-desa Morowali sering terdengar orang
berkata “tiba-tiba IUP” (Ijin Usaha Pertambangan). Warga yang pada sore hari
melihat tanah atau kebunnya masih utuh, keesokan harinya pagi-pagi mendapatkan
tanahnya sudah dibuldozer. Sayangnya Palupi sering diinterupsi, sehingga tak
dapat meneruskan cerita ke-saksiannya di Morowali.
Yang
sangat tragis dan membangkitkan kemarahan besar adalah rakyat yang sudah
dengan disiplin dan tanggung jawab merawat dan menjaga kelestarian hutan
adatnya, malah ditangkap aparat militer ketika memasuki hutannya.
Penanaman Modal Asing
Bicara
tentang “UU cipta kesengsaraan” mau tak mau harus mengkaji masalah penanaman modal asing. Sejak orde baru (ORBA) berdiri tahun 1966, “pembangunan” selalu bergantung pada modal asing,
alias hutang. Kalau Rakyat diikut sertakan dalam pembangunan, kepentingan dan sumber daya hidupnya
dilindungi, pasti mereka akan mendukungnya. Kenyataannya rakyat justru menjadi
korban pembangun-an neo-liberal ORBA dengan dan tanpa Soeharto.
Sebelum
Tiongkok menghancurkan dasar dan sendi-sendi ekonomi sosialis, investasi pada
pokoknya datang dari Amerika Serikat (AS), Eropa, Jepang, dan negara kapitalis lainnya. Tapi,
ketika China berkembang menjadi negara
kapitalis bahkan imperialis, mulai lah dieksport kapitalnya ke negeri-negeri
Asia, Afrika dan Amerika Latin. Dewasa ini ekspor modal yang merupakan salah satu
karakteristik dari imperialisme, te-lah menempatkan China sebagai kreditor
terbesar di dunia, menyaingi IMF dan Bank Dunia.
Bicara
tentang imperialis AS, tak begitu sulit kita meyakinkan orang tentang watak jahat
pemerintah AS. Tapi tak sedikit orang masih menganggap China sebagai negara
sosialis, bahkan komunis. Maka modal China dianggap lebih baik dari pada modal
AS, Eropa, Jepang atau negara kapitalis lain. Padahal modal tidak kenal warna
kulit atau kebangsaan. Tujuan semua modal hanya satu, mendapatkan keuntungan
sebesar mungkin.
- Di China, terdapat dominasi kapitalisme monopoli negara yang berkombinasi dengan kapitalisme monopoli swasta. Di kedua kapitalisme monopoli itu terdapat para keluarga kaum birokrat negara dan partai tertinggi.
- Terjadi fusi antara modal industri dan modal bank yang melahirkan oligarki finans. Kaum miliarder China adalah oligarki finans yang mengontrol operasi industri dan finans.
- China tidak hanya mengekspor barang tetapi juga mengexport modal surplus dengan persyaratan yang sangat berat.
- China bekerja sama dengan perusahaan monopoli asing di negeri lain.
- China adalah pemain utama dalam kontradiksi antar-imperialis dan sekarang terlibat dalam pergulatan sengit dengan AS untuk membagi kembali dunia kapitalis.
Sementara itu, David Skidmore (ahli
Sinologi China, Prof.di Drake University, Io wa, AS),
terkait pinjaman/investasi China, mengungkapkan syarat-syarat lebih ketat
dibandingkan dengan Bank Dunia atau lembaga keuangan internasional lainnya.
Antara lain, suku bunga lebih tinggi, periode pengembalian lebih pen-dek,
kontrak dirahasiakan dari publik, pinjaman terikat pada kontrak dengan pe-rusahaan
milik negara China (BUMN), yang mengharuskan penggunaan input dan tenaga kerja
China. Peminjam harus mengajukan aset sebagai jaminan dan menempatkan dana di
akun ‘escrow’ ( artinya, dana disimpan di akun itu, semen tara transaksi berjalan dan diselesaikan oleh kedua pihak)
yang berlokasi di China. Perselisihan harus dibawa ke pengadilan arbitrase China
yang menerapkan hukum China. Selain itu,
pinjaman juga disertai kondisi pembayaran hutang, se-perti akses ke sumber daya
atau kontrak, misalnya, pinjaman didukung minyak.
Agen remo China, Chan CH, baru-baru
ini menyebarkan tulisan berjudul “Tiong kok dijadikan musuh besar NEKOLIM”.
Penulis Kanada keturunan Mesir ini tinggal di China, namun tidak tahu perbedaan hakiki antara sosialisme dan kapitalis
me. Dia tulis: “Tiongkok tak perlu merampok, mencuri,
menipu mengambil sesua tu dari bangsa dan negara lain, untuk bangkit dengan
anggun”. Di bagian lain ter tulis: “Selama 30 tahun pertamanya, dari tahun 1949
hingga 1979, Tiongkok atau negara Komunis Tiongkok pada dasarnya diblokade dan
diisolasi habis secara ekonomi dan politik oleh Barat”. Kedua kutipan itu betul-betul sesuai dengan keadaan dan
kebijakan politik Tiongkok sosialis dulu. Tapi reform kapitalis Deng Xiao Ping
telah membuat sifat dan situasi itu tidak lagi sesuai dengan kenyataan dan
sepak terjang China sekarang, baik di dalam maupun di luar negeri. Tiongkok sudah
terintegrasi dalam kapitalisme global.
Mari
kita lihat sepak terjang modal China di negeri-negeri Asia, Afrika dan Amerika
Latin.
Boten adalah sebuah kota kecil di Laos utara yang
berbatasan dengan Tiong-kok. Walaupun termasuk wilayah Laos, namun mayoritas
penduduknya berbahasa Tionghoa. Mengapa?
Ternyata, sebagai bagian dari Zone Ekonomi Khu-sus, Laos menyewakan Boten,
kira-kira 1640 hektar, kepada sebuah korporasi pembangunan Tiongkok selama 99
tahun.
Pembangunan zone ekonomi khusus itu telah mengorbankan
kaum tani lokal yang harus pindah ke tempat lain. Dengan begitu mereka
kehilangan tanah garapannya. 70% dari mereka akhirnya bekerja sebagai pelayan,
tukang sapu, penjaga atau buruh di berbagai proyek pembangunan Tiongkok.
Tahun 2003, sebuah casino resort, Golden City, dibangun. Hotel dan perumah-an muncul bagai jamur di musim hujan. Para pebisnis China yang tak berdaya menghadapi persaingan keras dan tajam di negerinya sendiri, berbondong-bondong membuka usaha untuk mengumpulkan kembali modal.
Orang Tiongkok mendapat ruang dan kesempatan untuk memulai mata pencaharian yang tak mereka dapatkan di tanah airnya sendiri. Turis China berduyun-duyun datang. Nama jalan dalam bahasa tionghoa. Hukum yang berlaku juga hukum China. Jumlah penduduk meningkat terutama karena aliran dari China.Tak heranlah kalau bahasa ibu “penduduk” Boten adalah bahasa tionghoa.
Perjudian dilarang di Tiongkok, tapi diijinkan di Boten.
Sumber kejahatan, pros-titusi dan kebobrokan moral lainnya dialihkan ke negeri
tetangga. Orang-orang kaya membanjiri Golden City untuk mengadu nasib dan
berfoya-foya. Tak ayal lagi, candu, pelacuran, pembunuhan, penculikan dan
jaringan kejahatan ber-kembang pesat. Begitu gawatnya, sehingga tahun 2011,
pemerintah Tiongkok terpaksa menutup Casino. Boten menjadi kota hantu.
2016, Boten dihidupkan kembali oleh berbagai megaproyek,
yang terpenting adalah kereta api cepat dari Kunming lewat Boten dan sampai
Vientiane. Kem-bali pebisnis Tiongkok menjalankan toko-toko, restoran, hotel,
berbagai jasa pelayanan, cabaret dengan penari transexual dari Thailand
menghibur ribuan turis. Mereka gembira dan bahagia, tapi bagaimana penduduk
desa Laos?
Sungguh sedih melihat mereka tersingkir di negerinya
sendiri. Semua pekerja-an adalah mulia, tapi menyakitkan melihat tukang sapu,
buruh, pelayan Laos dinilai oleh bos Tiongkoknya sebagai orang yang lambat
kerjanya, harus diajari bagaimana seharusnya bekerja. Ditertawakan karena tidak
bisa bahasa Manda-rin. Bayangkan, di negeri sendiri, tapi harus belajar bahasa
Mandarin untuk da-pat bekerja. Di mana kedaulatan rakyat Laos?
Dampak investasi modal imperialis Tiongkok
Pertama, dampak lingkungan.
Waduk Mytsone di Myanmar yang pembangunannya ditunda pada tahun 2011, akan menghilangkan sejumlah jenis ikan yang bermigrasi dan menghilangkan sisa hutan lebat penyimpan aneka-ragam hayati yang kaya.
Di Sudan selatan, Korporasi Minyak Nasional Tiongkok yang merupakan in-vestor terbesar di ladang-ladang minyak, telah menimbulkan pencemaran tak terkendali yang mengakibatkan anak-anak lahir dengan membawa cacad, peracunan di peternakan, pencemaran sungai-sungai dan kerusakan tanah subur.
Tak terkecuali di Amerika Latin. Eksport dari Amerika Latin (AL) ke Tiongkok terpusat di sektor pertanian dan sumber tambang seperti minyak dan gas. Laporan penelitian di 8 negeri Amerika Latin (AL), mengungkapkan penggunaan air untuk export ke Tiongkok dua kali lipat besarnya dibanding dengan eksport global lainnya. Menurut studi tahun 2012, 80% deforestasi yang terjadi di Argentina, Paraguay, Bolivia dan Brasil berkaitan erat dengan export di bidang pertanian.
Beberapa peneliti Brazil mengemukakan bahwa investasi Tiongkok merupakan motor penting penggundulan hutan Amazon. Hutan menjadi terbuka bagi sera-ngan manusia dan itu mempengaruhi gerak fauna buas. Pembangunan jalan be sar, kanal dan jalan kereta api yang dibiayai modal China ditujukan untuk trans portasi hasil tambang dan pertanian ke pelabuhan. Permintaan kacang kedele China mengakibatkan hilangnya vegetasi savana Cerrado di Mato Grosso. Cerra do merupakan salah satu ekosistim yang paling terancam di Brasil.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa pertambangan, apalagi pertambangan terbuka, menimbulkan pencemaran lingkungan, penyakit dan dislokasi sosial. Di samping itu, korporasi Tiongkok sering terlibat dalam rasisme terha-dap buruh lokal, kondisi kerja buruk, dan tak adanya jaminan keselamatan kerja.[] Tatiana Lukman .
----- Bersambung ke (Bagian 2)