Sarat Cacat Konstitusional: Putusan MK Soal Syarat Umur, TIDAK SAH
Poto; Prof. Denny Indrayana, SH,.LL,M,. Ph.D Sarat Cacat Konstitusional: Putusan MK Soal Syarat Umur, TIDAK SAH (TIDAK BISA MENJADI DAS...
Poto; Prof. Denny Indrayana, SH,.LL,M,. Ph.D
Sarat Cacat
Konstitusional:
Putusan
MK Soal Syarat Umur, TIDAK
SAH
(TIDAK
BISA MENJADI DASAR PENCALONAN DALAM PILPRES 2024)
Oleh: Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M.. Ph.D.
Saya sengaja tidak langsung
memberikan komentar dan analisis hukum atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
90 (”Putusan
90”) terkait konstitusionalitas syarat umur capres-cawapres,
yang mengabulkan sebagian permohonan, dan membuka peluang kepala daerah yang
pernah/sedang menjabat untuk menjadi kontestan dalam pemilihan presiden.
Saya ingin memberi jarak,
dan mengendapkan putusan tersebut. Satu dan lain hal, karena Putusan 90, sangat
penting, sekaligus
sangat membingungkan dan aneh, sebagaimana dengan amat jelas
disampaikan dalam pendapat hukum berbeda (dissenting opinion) Hakim Konstitusi
Saldi Isra serta Arief Hidayat.
Setelah memberi jeda
sehari, dan melakukan pengkajian yang lebih mendalam, izinkan saya menyampaikan
pandangan hukum tata negara sebagai berikut: Putusan 90 mempunyai kecacatan konstitusional yang
mendasar, dan karenanya TIDAK SAH.
Argumentasi hukum yang
mendasari kesimpulan tersebut adalah:
1. Adalah benar, bahwa
berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, diatur ”Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhiryang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar”. Karena itu, tidak ada upaya hukum apapun atas
putusan Mahkamah Konstitusi. Dia langsung final dan langsung berlaku (final and
binding).
2. Meskipun bersifat final
dan langsung berlaku, putusan MK tetap memungkinkan dinyatakan ”tidak sah dan
tidak mempunyai kekuatan hukum” dalam hal putusan MK ”tidak
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum” (lihat Pasal 28 ayat (5) dan (6) Undang-Undang MK).
Lebih jauh, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009 (UU Kekuasaan
Kehakiman) menegaskan akibat hukumnya adalah ”putusan batal
demi hukum”.
3. Lebih jauh, masih
terkait konsep tidak sahnya suatu putusan pengadilan, selain
karena tidak dibacakan di hadapan yang terbuka untuk umum, juga karena hakim
tidak mundur dalam penanganan perkara dimana sang hakim mempunyai benturan
kepentingan.
4. Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman mengatur bahwa ”seorang hakim … wajibmengundurkan diri dari persidangan
apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan
perkara yang sedang diperiksa”. Akibat dari tidak mundurnya hakim yang
mempunyai benturan kepentingan tersebut adalah, ”…putusan
dinyatakan tidak sah” (lihat Pasal 17 ayat (5) dan (6) Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman).
5. Karena MK berdasarkan
Pasal 24A ayat (2) UUD 1945 secara tegas dinyatakan sebagai kekuasaan
kehakiman, maka ketentuan ketidakabsahan putusan yang diatur di dalam UU
Kekuasaan Kehakiman tersebut, juga berlaku dan mengikat Mahkamah Konstitusi.
6. Bahwasanya hakim
konstitusi harus mundur jika ada benturan kepentingan dalam penanganan perkara
yang terkait keluarganya, juga diatur secara tegas di dalam Peraturan Mahkamah
Nomor 9 Tahun 2006, khususnya dalam Prinsip Kedua Ketakberpihakan, butir 5 huruf
b, yang mengatur:
Hakim konstitusi … harus mengundurkan diri dari
pemeriksaan suatu perkara … karena alasan-alasan di bawah ini: b. Hakim
konstitusi tersebut atau anggota
keluarganya mempunyai kepentingan langsung terhadap putusan.
7. Mengacu pada kewajiban
hakim harusmengundurkan diri jika
perkara yang ditanganinya ada benturan kepentingan dengan dirinya—sebagaimana
di atur dalam UU Kekuasaan Kehakiman, serta keharusan mengundurkan
diri dari menangani perkara yang terkait dengan kepentingan langsung keluarganya
sebagaimana diatur dalam Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi, maka dengan
penafsiran gramatikal dan sistematis, dapat disimpulkan tidak mundurnya
seorang hakim konstitusi dari suatu perkara ketika ada benturan kepentingan
yang terkait dengan kepentingan langsung keluarganya terhadap putusan, akan
membawa konsekwensi hukum bahwa putusan MK yang demikian menjadi TIDAK
SAH.
8. Pandangan dan pendapat
saya, jelas dan terang-benderang bahwa penanganan Putusan 90 seharusnya tidak
diperiksa, diadili, apalagi diputus oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman,
yang merupakan ipar Presiden Joko Widodo dan keluarga dari Gibran Rakabuming
Raka. Terlebih dalam Putusan 90, Pemohon secara jelas mendasarkan
argumentasinya pada kekaguman dan klaim prestasi Gibran Rakabuming Raka (lihat butir 9,
16, dan 20 Permohonan). Maka, meskipun Gibran ataupun Jokowi
tidak menjadi Pemohon, tetapi berdasarkan penalaran yang logis, sehat, dan
wajar, maka Putusan 90 mempunyai dampak langsung atas peluang Gibran Rakabuming
Raka untuk maju sebagai kontestan dalam Pilpres 2024.
9. Sebagai bentuk konkrit
pendapat tersebut, saya pada 27 Agustus 2023 lalu telah secara resmi mengajukan
pengaduan dugaan pelanggaran etik oleh Ketua MK Anwar Usman karena tidak mundur
dari memangani perkara terkait syarat umur capres-cawapres tersebut. Surat
pengaduan itu, dengan segala argumentasinya, dengan ini saya lampirkan kembali
dalam pendapat hukum ini. Sayangnya, hingga kini, pengaduan tersebut tidak juga
mendapatkan tanggapan apalagi diperiksa. Sekali lagi, seharusnya dengan logika
hukum yang logis, sehat, dan wajar, karena adanya benturan kepentingan
tersebut, Ketua MK Anwar Usman sewajibnya mundur dari penanganan semua perkara
syarat umur capres-cawapres.
10. Sehingga, karena
Putusan 90 diperiksa, diadili, dan diputuskan pula oleh Ketua MK Anwar Usman,
yang nyata-nyata mempunyai benturan kepentingan, yang tidak mengundurkan diri
atas perkara yang terkait langsung dengan kepentingan kakak iparnya Joko Widodo
dan Gibran Rakabuming Raka, maka konsekwensi hukumnya Putusan 90 harus
dinyatakan TIDAK SAH.
11. Di samping pelanggaran
benturan kepentingan (conflict of interest) Ketua MK Anwar
Usman, Putusan 90 mempunyai banyak cacat konstitusional, beberapa yang penting
di antaranya adalah:
a. Pemohonnya sebenarnya
tidak mempunya legal standing, dan karenanya, permohonan wajarnya
dinyatakan tidak diterima, sebagaimana dengan baik dijelaskan oleh
Hakim Konstitusi Suhartoyo.
b. Kalaupun diterima legal standingnya,
permohonan seharusnya dinyatakan gugur, karena sudah
ditarik oleh Pemohon, meskipun kemudian dibatalkan lagi penarikan tersebut. Hal
mana menunjukkan pemohon mempermainkan kehormatan MK, sebagaimana secara jelas
diargumenkan Hakim Konstitusi Arief Hidayat.
c. Kalaupun permohonan
tetap diperiksa, maka sebagaimana putusan-putusan yang dibacakan lebih
awal—maka seharusnya permohonan ditolak seluruhnya, dengan alasan syarat umur
capres-cawapres adalah open legal policy. Putusan awal mana
didiskusikan dalam RPH (Rapat Permusyawaratan Hakim) yang tanpa dihadiri oleh
Ketua MK Anwar Usman, sebagaimana dijelaskan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra
dan Arief Hidayat.
d. Kalaupun kita menerima
amar Putusan 90, tetap saja yang terang memutuskan amar tersebut hanya tiga
hakim konstitusi, yaitu: Anwar Usman, Manahan Sitompul, dan
Guntur Hamzah. Sedangkan dua hakim konstitusi yang setuju namun berbeda dasar
argumennya (concurring)
yaitu Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic Pancastaki Foekh,
senyatanya hanya memberikan peluang kepada Gubernur atau Kepala Daerah Provinsi
untuk menjadi capres-cawapres. Maka, amar putusan yang membuka peluang kepada
seluruh level kepala daerah adalah cacat logika konstitusional, sebagaimana
dengan jelas diterangkan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Akhirnya, dengan Putusan 90
yang sarat dengan cacat konstitusional, bahkan seharusnya TIDAK
SAH tersebut,
maka saya merekomendasikan hal-hal berikut:
1. Putusan 90 yang TIDAK
SAH sebijaknya tidak dijadikan dasar dan pertimbangan dalam
perhelatan sepenting Pilpres 2024 yang akan sangat menentukan arah kepemimpinan
Bangsa Indonesia, yaitu Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029.
2. Bahwa siapapun yang
menjadi pasangan calon dalam Pilpres 2024—bukan hanya terkait Gibran Rakabuming
Raka—dengan hanya menyandarkan diri pada Putusan 90 akan beresiko dinyatakan
tidak memenuhi syarat sebagai paslon dalam Pilpres 2024. Bahkan, kalaupun berhasil
terpilih, beresiko dimakzulkan (impeachement) karena sebenarnya tidak
memenuhi syarat sebagai pasangan calon presiden ataupun wakil presiden, karena
hanya berdasarkan dengan Putusan 90 yang cacat konstitusional dan TIDAK
SAH.
3. Mahkamah Konstitusi,
dengan dukungan seluruh elemen yang masih sadar dan cinta Indonesia, sebaiknya
memproses pelanggaran kode etik yang terjadi dalam Putusan 90, dengan tujuan
menegakkan kembali marwah, harkat, martabat, dan kehormatan Mahkamah
Konstitusi.
Demikian pandangan hukum tata negara ini saya sampaikan, dengan penuh harapan agar menjadi acuan, bukan hanya dalam membaca Putusan 90, namun juga dalam proses pendaftaran Pilpres 2024. []
Salam Integritas,