GSBI : Menaker RI Gagal Paham Soal PHK
INFO GSBI – Jakarta. Sebagaimana diberitakan oleh berbagai media, pada Sabtu 2 November 2024 dalam rangka merespon maraknya PHK sehingga tin...
https://www.infogsbi.or.id/2024/11/gsbi-menaker-ri-gagal-paham-soal-phk.html?m=0
INFO GSBI – Jakarta. Sebagaimana diberitakan oleh berbagai media, pada Sabtu 2 November 2024 dalam rangka merespon maraknya PHK sehingga tingginya angka PHK saat ini. Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli berstatemen mendorong setiap daerah untuk membangun (membentuk) early warning system atau sistem peringatan dini terhadap potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) di perusahaan. Sistem peringatan dini ini, diharapkan dapat memitigasi dampak sosial dan ekonomi yang diakibatkan oleh tingginya angka PHK.
Atas pernyataan pak Menaker ini, Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) merasa penting untuk merespon dan memberikan tanggapan.
“Pembentukan Early Warning System atau sistem peringatan dini terhadap potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) di perusahaan ini menunjukkan tidak pahamnya Menaker RI atas situasi Industri di Indonesia, tidak pahamnya kenapa banyak PHK terjadi saat ini. Masa tinggi nya angka PHK mau di jawab dengan Early Warning Sytem ????. Pembentukan Tim atau apapun namanya, menurut kami ini hanya akan memboroskan anggaran negara saja baik di pusat ataupun daerah, tapi kerja dan fungsinya pasti gak jelas. Paling hanya akan mengamati atau hanya akan meminta laporan kepada perusahaan terkait dengan pergerakan naik-turunya perusahaan. Ini kan konyol rencana macam begini.” Ungkap Bagus Santoso Kepala Departemen Pendidikan dan Propaganda DPP. GSBI.
Menurut Bagus, merespon tingginya angka PHK yang terjadi saat ini bukan membentuk Early Morning System, tapi pemerintah pusat berbenah dan perbaiki aturan ketenagakerjaannya serta aturan-aturan terkait lainya yang telah menyebabkan banyak nya PHK saat ini. Dan dampak sosial, ekonomi serta politik maraknya PHK itu sudah sangat jelas, masa Menaker dan para pejabat di Kemnaker gak paham soal itu. Pake harus Early Morning System segala. Orang masalahnya dan dampaknya sudah jelas didepan mata kok. Ini jelas gagal paham dan semacam mau melepaskan tanggung jawab pemerintah pusat dalam hal ini Kemnaker RI dan mau menyerahkan masalah pada pemerintah daerah.
Menurut GSBI bahwa masalah maraknya PHK itu karena disebabkan:
1. Aturan Ketenagakerjaannya sendiri yang di buat pemerintah (terutama oleh rezim Joko Widodo) yaitu melalui Omnibus law Cipta Kerja dan aturan turunannya, dimana status dan hubungan kerja saat ini yang sudah fleksibel menjadi semakin fleksibel (kontrak jangka pendek, outsourcing, pemagangan yang tiada batasannya), proses PHK di permudah dan uang pesangon dikurangi. Maka kalau mau tidak terjadinya banyak PHK, dan angka PHK tidak tinggi Cabut dahulu omnibus law Cipta Kerja dan aturan turunannya.
2. Karena Penyelundupan dan Mudahnya Impor yang Tidak Terkendali. Maka basmi tuh Penyelundupan sampai ke akarnya, tindak para pelakunya jangan tebang pilih, jebloskan ke penjara dan Tinjau aturan yang Mempermudahnya Impor, dimana Impor menjadi Tidak Terkendali.
Lihat salah satunya sampai saat ini masih bebasnya Import pakaian Ilegal dari Cina yang membanjiri pasar dalam negeri. Setiap tahunya tembus sampai dengan 31% total pasar tekstil dan produk tekstil di dalam negeri, yang nilainya mencapai 100 Triliun. Kalau begini bagaimana industri tekstil dan produk tekstil dalam negeri bisa hidup?.
Tidak terbantahkan lagi, bahwa Indonesia adalah surga bagi negara-negara eksportir karena begitu mudahnya mengimpor barang ke Indonesia. Menurut data Kementerian Perindustrian, terdapat 69 Lembaga Sertifikasi Produk (LS Pro) dan ternyata banyak yang tidak memiliki Laboratorium Uji. Karena banyaknya LS Pro ini juga tentunya sangat mudah untuk “kongkalikong”. Sementara itu bila melihat negara-negara lain misalnya di Malaysia hanya ada satu, Jepang hanya satu, China hanya satu dan India juga hanya satu Lembaga Sertifikasi Produk.
Hal lain yang mengindikasikan bahwa produk impor mudah masuk RI adalah jumlah instrumen hambatan dagang yang masih sedikit, di antaranya yakni safeguard yang dimiliki Indonesia hanya 102. Sementara China memiliki 1.020 safeguard, Thailand 226, dan Filipina 307. Demikian juga untuk antidumping, Indonesia hanya memiliki 48 antidumping untuk produknya. Sedangkan India memiliki 280 dan Filipina 250 instrumen antidumping.
Kemudian untuk pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Wajib atau disebut technical barrier to trade, Indonesia memiliki hanya 172 SNI wajib, lebih sedikit dibandingkan Uni Eropa yang sebanyak 4.004, China 1.170, Thailand 585, Filipina 250, dan Malaysia 227.
Belum lagi bila melihat data penyelundupan atau impor ilegal yang juga sangat besar nilainya. Untuk pakaian dan alas kaki, menurut Kementerian Koperasi dan UMKM penyelundupan sekitar 31% sedangkan impor legalnya 41%. Ini artinya industri pakaian dan alas kaki dalam negeri hanya sekitar 28% saja.
Dari berbagai keterangan di atas, maka sesungguhnya Indonesia masih memiliki ruang yang sangat besar untuk melakukan ekspansi industri. Ini artinya akan secara masif meyerap tenaga kerja dan meningkatkan daya beli masyarakat, bila saja kebijakan industri nasional diperkuat dan penegakan hukum betul-betul diterapkan.
Jadi, meskipun pemerintah telah membentuk Satgas Pengawasan Barang Import Ilegal, faktanya masih banyak oknum pemerintah yang terlibat didalam Import pakian ilegal khususnya dari Bea Cukai, Aparat Kepolisian, yang berkolaborasi dengan pengusaha importir pakaian ilegal. Hal ini membuat industri tekstil-garmen dalam negeri tidak punya daya saingan. Karena produk tekstil-garmen dari import ilegal harganya jauh lebih murah dari produk lokal. Selain itu kebijakan dan pengaturan impor yang dilakukan pemerintah seperti “Buka-tutup, dan buka terus..” terakhir diatur dalam Permendag No. 8 Tahun 2024 menambah semakin tidak punya daya saing industri tekstil-garmen dalam negeri. Ini sangat memilukan bagi pelaku industri lokal dan kaum buruh.
Permendag nomor 8 tahun 2024 ini jelas dikeluhkan dan di tolak buruh dan pengusaha, sebagaimana blak-blakannya pengusaha Sritek atas Permendag itu. Tapi pemerintah Jokowi saat itu, terlebih Menteri Perdagangannya “ndableg”. Semoga Presiden Prabowo Subianto mau mendegar dan mau bertindak segera mencabut Permendag ini.
Jadi yang harus dilakukan itu segera melakukan evaluasi menyeluruh dan menertibkan semua aturan impor barang konsumsi seperti industri tekstil dan produk tekstil, barang elektronik, makanan dan minuman serta impor kendaraan listrik yang disubsidi APBN yang disinkronisasikan dengan keadaan industri dalam negeri. Serta harus segera menindak tegas oknum aparat (TNI, POLRI, ASN) terutama Bea Cukai dalam tindak penyelundupan sekaligus membenahi tata kelola Bea Cukai di pelabuhan laut dan menempatkan aparat berintegritas dipelabuhan “tikus”. Cabut Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Berantas KKN dengan sungguh-sungguh dan serius, tegas dan konkrit tanpa pandang bulu.
Menaker RI bersama Kementerian Keuangan, Menteri Perdagangan, Kapolri dan Panglima TNI deklarasikan untuk penghentian seluruh aktivitas import Ilegal tekstil dan barang dari tekstil, Sidak seluruh pelabuhan-pelabuhan dalam negeri dan menangkap seluruh oknum pemerintah serta para bandit yang terlibat dalam import ilegal tekstil dan barang dari tekstil, dan menempatkan satgas-satgas di pelabuhan jalur tikus yang menjadi tempat hilir-mudiknya kapal yang mendatangkan barang import ilegal. Itu baru bener. Jelas Bagus.
3. Karena industri kita yang ada itu bukan Industri nasional. Industri yang ada saat ini tidak lahir berbasiskan land reform sejati, yang membebaskan mayoritas rakyat Indonesia terlebih dahulu yaitu kaum tani dari sistem produksi pertanian yang sangat tradisional, terbelakang, menindas dan menghisap (feudal). Jadi industry yang ada saat ini bukanlah industri milik dan untuk memenuhi keperluan material hidup bangsa dan rakyat Indonesia. Tapi industri yang berorientasi ekspor dan subsitusi impor dengan bahan baku impor, bergantung pada paten dan di bawah lisensi imperialis atau negara-negara maju. Manufaktur yang ada adalah olahan setengah jadi, industri rakitan (assembling) masih mengandalkan mesin kuno dan teknologi paling rendah.
Belum lagi modal, pasar, bahan baku, mesin (Teknologi), dll sangat bergantung pada Asing. Industri yang macam ini kedudukanya sangat ringkih dan betul-betul tergantung dari situasi dunia internasional. Dunia Internasional ada guncangan sedikit saja langsung berpengaruh, industri kita goyang dan berdampak kemana-mana.
Data Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menunjukkan bahwa seluruh sektor industrial bergantung pada impor, bahkan elektronik dan otomotif sepenuhnya bergantung impor. Kimia bergantung 55%, metal bergantung lebih dari 77%. Demikian pula dengan level investasi pada teknologi, penelitian dan pengembangan dan produktifitas. Hingga sekarang sumbangan manufaktur masih sangat rendah sebagai penopang hidup Indonesia secara keseluruhan, hampir setara dengan sumbangan laten sektor pertanian. Pendapatan terbesar negeri ini diperoleh dari sektor Jasa alias “Melayani” investasi dan utang imperialis di Indonesia. Jasa angkutan-transportasi, perdagangan, jasa keuangan, jasa telekomunikasi dan lain sebagainya. Sementara 55% GDP sangat bergantung pada konsumsi rumah tangga, bukan konsumsi untuk kapital produktif.
Belum lagi di tambah biaya tinggi yang tidak terkait dengan Industri seperti Logistik, Suku Bunga dan KKN. Hal ini terkonfirmasi oleh peringkat yang dilakukan Bank Dunia berupa Logistics Performance Index (LPI) tahun 2023 dan sebelumnya dilakukan pada tahun 2018. Peringkat Indonesia anjlok dari 46 menjadi 63 dari 139 negara atau anjlok sebesar 17. Di antara negara-negara ASEAN, peringkat LPI 2023 tertinggi setelah Singapore adalah Malaysia (peringkat 31), diikuti Thailand (37), Filipina (47), Vietnam (50), Indonesia (63), Kamboja (116), dan Laos PDR (82). LPI 2023 ini tidak mencakup Brunei dan Myanmar yang pada 2018 berada di peringkat 80 dan 137. Bila melihat persentasenya, Indonesia tertinggi dibanding negara ASEAN Five yaitu 23,5% dari PDB sementara Singapure 8%, Malaysia 12,5%, Filipina 13% dan Thailand 13,2%. Hal ini jelas menggerus pendapatan perusahaan yang sesungguhnya bisa dialihkan untuk keuntungan usaha dan pengembangan investasi serta peningkatan upah buruh.
Sementara itu suku bunga di Indonesia pun relatif tinggi yaitu berkisar 9-11% sementara di Malaysia sekitar 5-6% saja. Hal ini juga tercermin dari suku bunga acuan BI saat ini yang masih tinggi yaitu 6,25% dibanding Malaysia yang hanya 3%. Dengan spread atau Nett Interest Margin (NIM) yang tinggi 4-5% maka wajarlah bila suku bunga pinjaman semakin tinggi. Bila suku bungan ini bisa lebih ditekan maka dengan sendirinya pendapatan perusahaan bisa dinikmati juga oleh kaum buruhnya.
Sementara itu saat ini korupsi yang semakin merajalela juga mengurangi pendapatan usaha karena harus berbagi dengan pemegang otoritas. Hal ini tercermin dari menurunnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dari 40 pada tahun 2019 menjadi 34 pada tahun 2022. Demikian juga hal ini bisa dilihat dari kenaikan ICOR (Incremental Capital Output Ratio) yang pada tahun 2014 sebesar 4,9 kemudian naik terus hingga sempat mencapai 8,61 pada tahun 2021 dan pada tahun 2023 turun menjadi 7,6. Nilai ICOR ini jelas menunjukan peningkatan inefisiensi yang disebabkan oleh buruknya perencanaan dan korupsi. Bila saja pemerintah berhasil mengembalikan tingkat ICOR seperti pada tahun 2014, maka akan semakin banyak kegiatan investasi yang akhirnya dapat meningkatkan distribusi pendapatan masyarakat melalui penyerapan tenaga kerja.
Kalau mau stabil situasi industrinya, pertumbuhan ekonomi melonjak, jangan pelit pada buruh, bangun industri nasional diatas reforma agraria sejati, naikan upah buruh dan lakukan apa yang telah kami sampaian di atas.
Maka sepanjang hal-hal di atas tidak menjadi konsen utama dan menjadi tindakan konkrit dalam waktu dekat oleh Menteri Ketenagakerjaan - oleh rezim Prabowo Subianto. Maka, sepanjang dan selama itulah gelombang PHK akan terus terjadi dan banyak pabrik di berbagai sektor industri terutama TPT akan terus bertumbangan (gulung tikar), dan ratusan ribu buruh akan ter-PHK yang akan memberikan dampak ekonomi sosial dan politik yang akut pada bangsa ini. [bs]