Pernyataan Sikap GSBI dalam Aksi 20 November 2024 di Kemnaker RI untuk Perjuangan Kenaikan Upah Minimum Tahun 2025

Pernyataan Sikap Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) Nomor: PS.00038/DPP. GSBI/JKT/XI/2024 Dalam Aksi Tanggal 20 November 2024  HORMA...


Pernyataan Sikap Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI)
Nomor: PS.00038/DPP. GSBI/JKT/XI/2024

Dalam Aksi Tanggal 20 November 2024

HORMATI, PATUHI DAN LAKSANAKAN TEGAK LURUS TANPA KECUALI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI (MK) RI NO. 168/PUU-XXI/2023.

HENTIKAN MENETAPKAN UPAH MINIMUM (UM) TAHUN 2025 DENGAN MENGGUNAKAN PP 36 TAHUN 2021 Jo PP 51 TAHUN 2023.

BERLAKUKAN DAN TETAP UPAH MINUMUM (UM) TAHUN 2025 SEBESAR RP.7.209.104,- UNTUK SELURUH WILAYAH/DAERAH DAN SEKTOR INDUSTRI.

UPAH MINIMUM NASIONAL (UMN) ADALAH JALAN BARU SOLUSI ATAS MASALAH SISTEM PUNGUPAHAN DI INDONESIA.

SEGERA KELUARKAN KLASTER KETENAGAKERJAAN DARI OMNIBUS LAW CIPTA KERJA (UU NO. 6 THN 2023) DAN SEGERA BUAT UU POKOK KETENAGKERJAAN BARU.


Salam Demokrasi !!!

Pada hari ini Rabu tanggal 20 November 2024 Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) bersama dengan puluhan organisasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh baik Konfederasi dan Federasi yang tergabung dalam Forum Urun Rembug Nasional untuk Advokasi Kebijakan Ketenagakerjaan menggelar aksi unjuk rasa di Kantor Menteri Ketenagakerjaan (Kemnaker) RI. Aksi ini dilatarbelakangi oleh tidak adanya kejelasan sikap dan tindakan rezim (pemerintahan) Prabowo Subianto dalam hal ini Kemnaker RI mengenai kebijakan (aturan) penetapan Upah Minimum tahun 2025, setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI Nomor 168/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada tanggal 31 Oktober 2024. Padahal tanggal 21 November tahun berjalan biasanya tanggal batas akhir penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan tanggal 30 November tahun berjalan adalah tanggal penetapan Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK). Sehingga hal ini membuat resah dan ketidak pastian bagi kaum buruh di seluruh daerah.


Selanjutnya, karena GSBI beserta kaum buruh Indonesia melihat adanya tindakan dan sikap Menaker RI yang cenderung membuat penafsiran berbeda atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI No 168/PUU-XXI/2023 khususnya mengenai putusan pelaksanaan penetapan upah minimum (UM) tahun 2025 sebagaimana yang dipaparkan Kemnaker RI dalam rapat dengan Dewan Pengupahan Nasional dan Dewan Pengupahan Daerah se Indonesia serta LKS Tripartit Nasional (4/11/24) lalu, yaitu; bahwa penetapan Upah Minimum (UM) tahun 2025 masih tetap akan menggunakan PP 36 tahun 2021 jo PP 51 tahun 2023 dan akan ada/pemberlakukan penetapan Upah Minimum (UM) padat karya yang nilainya dibawah Upah Minumum (UM).

Membaca dan memahami putusan MK No.168 menyangkut Upah Minimum (UM) pada intinya Mahkamah Konstitusi (MK) RI menyatakan:

1.    Seluruh kebijakan pemerintah dalam menetapkan Upah Minimum sejak tahun 2021 yang didasarkan pada UU Cipta Kerja No. 6 Tahun 2023 jo Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2021 jo Perturan Pemerintah No. 51 Tahun 2023 adalah kebijakan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan Tidak Mempunyai Kekuatan Hukum yang mengikat. Sebab Tidak mencakup termasuk penghasilan yang memenuhi penghidupan yang merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua.

 

2.    Dimasukkannya unsur Indeks Tertentu yang disimbolkan “a” dalam rumusan formulasi penghitungan penetapkan Upah Minimum  (UM), Mahkamah menyatakan bahwa Indeks tertentu yang dimaksudkan pemerintah sebagai variable yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi tidak mempunyai prinsip proposionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak bagi buruh. Hal ini terbukti dimana sejak 3 tahun terakhir rata-rata upah minimum (UM) buruh Indonesia terus mengalami defisit terhadap harga-harga kebutuhan pokok berlaku, sebagaimana data BPS tahun 2021 s.d 2023 tercatat kondisi upah riil buruh secara berturut-turut mengalami defisit rata-rata sebesar Rp.306.000/bulan – Rp.526.000/bulan setiap tahunnya.

 

Sementara unsur “a” yang nilainya ditetapkan dari rentang 0,1 – 0,3 dalam rumus penghitungan dan penetapan upah minimum (UM) sebagai faktor perkalian terhadap pertumbuhan ekonomi (PE x a) hal ini menyebabkan hasil dari perhitungan tersebut menghasilkan unsur “a” menjadi faktor pengurang nilai dari Pertumbuhan Ekonomi (PE). Perumusan Indeks Tertentu pada akhirnya semakin menambah beban upah minimum terhadap harga-harga kebutuhan pokok berlaku, karena berlaku mengurangi nilai dari pertumbuhan ekonomi (PE). Itulah salah satu faktor yang menyebabkan kenaikan upah minimum selalu rendah.

 

Dalam pandangan dan analisa GSBI, bahwa kebijakan pengupahan sejak orde baru terlebih sepanjang 10 (sepuluh) tahun terakhir di bawah kekuasaan rezim Joko Widodo (Jokowi) nyata mempertahankan politik upah murah (rendah) dan perampasan upah, upah yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua, mengabaikan masalah disparitas upah minimum antar daerah yang terus semakin melebar dan tidak pernah dapat dikendalikan oleh pemerintah.

 

GSBI meyakini bahwa semua aturan pengupahan yang ada saat ini tidak akan membuat kenaikan upah buruh secara signifikan, tidak akan bisa menjawab masalah disparitas upah dan diskriminasi upah, buruh upahnya tetap akan mengalami defisit dari tahun ketahun. Karena aturan yang ada hanya mengotak-atik rumus (formula) yang hakekatnya melanggengkan politik upah murah (rendah) dan perampasan upah serta menjalankan pengupahan sistem kapitalisme monopoli.

 

Meskipun sesungguhnya landasan sistem pengupahan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 bersifat adil, akan tetapi dalam prakteknya, Indonesia menerapkan sistem pengupahan berdasarkan prinsip-prinsip dasar kapitalisme monopoli. Dalam sistem kapitalisme monopoli, upah adalah harga tenaga kerja yang dikendalikan kapitalis dan ditetapkan oleh pemerintah sebagai pelayan kelas penghisap dan penindas (kapitalis birokrat). Inilah hakekat upah di dalam sistem kapitalisme monopoli, yang dilegalkan dan ditetapkan oleh negara melalui berbagai kebijakan dan aturan mengenai pengupahan, dari undang-undang, peraturan pemerintah sampai dengan peraturan menteri. Dengan demikian, kelas buruh harus mengerti prinsip dasar mengenai upah dan hubungannya dengan masalah ekonomi dan politik yang mengontrol upah itu sendiri.

Maka dalam aksi ini GSBI dan kaum buruh Indonesia menyatakan sikap dan menuntut:

  1. Bahwa penetapan upah minimum (UM) tahun 2025 kaum buruh menolak menggunakan PP 36 Tahun 2021 jo PP 51 Tahun 2023 sebagai dasar rujukan hukumnya. Karena jika tetap menggunakan aturan tersebut sama saja mempertahankan defisit upah riil buruh, sama saja mempertahankan disparitas (kesenjangan) upah yang sangat tinggi antar daerah dan melanggengkan politik diskriminasi upah. Dan yang paling pokok adalah melawan dan membangkang pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI no. 168.


Bahwa jika merujuk dan berdasarkan putusan MK-RI no.168 sudah sangat jelas dan terang berderang, sesungguhnya dengan sendirinya telah membatalkan hal-hal, pasal-pasal dan masalah substansial dari PP 36 Tahun 2021 jo PP 51 Tahun 2023 maka konsekwensinya tidak berlaku secara hukum. Maka sudah sepatutnya Penetapan Upah Minimum (UM) tahun 2025 adalah merujuk dan sesuai tegak lurus dengan putusan MK No 168. Sehingga siapapun tanpa terkecuali yang dalam penetapan upah minimum (UM) tahun 2025 masih mempertahankan PP 36/2021 jo PP 51/2023 serta mengajak dan berprinsip bahwa besaran nilai “a” adalah sesuai dengan PP 36 Tahun 2021 jo PP 51 Tahun 2023 berarti mereka dengan sengaja dan dengan sadar mengajak untuk membelakangi, mengabaikan, serta menolak, melawan dan membangkang pada putusan MK no.168.

 

  1. Menolak adanya Penetapan Upah Minimum (UM) Sektor Padat Karya yang nilainya lebih rendah dari Upah Minimum (UM). Bahwa Upah Minimum (UM) yang ditetapkan adalah harus berlaku bagi seluruh buruh untuk masa kerja 0 s/d 1 tahun untuk seluruh sektor industri dengan tanpa membedakan status kerja. Upah untuk sektor Industri tertentu (termasuk padat karya) ditetapkan kemudian besarannya melalui Upah Minimum Sektoral (UMSP/K) yang besarannya harus di atas Upah Minimum (UMP/UMK) dengan melibatkan dewan pengupahan.

 

  1. Bahwa solusi atas masalah dan sistem pengupahan - upah minimum (UM) di Indonesia adalah diberlakukannya Upah Minimum Nasional (UMN).  Upah Minimum Nasioal (UMN) yang dimaksudkan GSBI adalah sistem pengupahan dasar (terendah) – jaring pengaman- yang dibayarkan kepada buruh yang tidak dikecualikan dan tidak boleh dinegosiasikan, berlaku secara nasional untuk buruh dengan masa kerja nol sampai dengan satu tahun, yang ditetapkan langsung oleh pemerintah pusat (nasional) dengan tetap melibatkan partisipasi serikat buruh, asosiasi pengusaha melalui dewan pengupahan nasional.

 

Meskipun berlaku upah minimum nasional (UMN), masing-masing daerah provinsi, kota dan kabupaten dapat menetapkan dan memberlakukan upah minimum provinsi, kota atau kabupaten sendiri yang melewati persyaratan upah minimum nasional (UMN). Artinya besaran upah minimum provinsi, kota dan kabupaten tidak boleh lebih rendah dari upah minimum nasional (UMN) yang ditetapkan dan diberlakukan pemerintah pusat (nasional).

 

Adapun usulan GSBI untuk rumus dalam menetapkan besar Upah Minimum Nasional (UMN) adalah: PDB Nasional Tahun berlaku dibagi Jumlah Penduduk Tahun berlaku, dibagi 12 (dua belas) bulan, di tambah dengan nilai proyeksi Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi tahun berikutnya” Maka itulah besaran Upah Minimum Nasional (UMN).

 

GSBI percaya bahwa berdasarkan kajian, dengan ditetapkannya Upah Minimum Nasional (UMN) maka ketimpangan (disparitas) upah dan diskriminasi upah yang terjadi dan berjalan puluhan tahun hingga saat ini akan teratasi (bisa di jawab). Sekaligus bahwa penerapan konsep UMN ini adalah bentuk nyata implementasi dari Konstitusi UUD 1945 dan Pancasila, bentuk nyata negara hadir dan berperan mendistribusikan keadilan ekonomi untuk lahirnya pemerataan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi yang dirasakan langsung oleh buruh dan rakyat Penerapan UMN juga dapat dipastikan akan mendorong pada tingkat produktivitas, pertumbuhan ekonomi yang inklusif di setiap daerah dan nasional. Karena sesungguhnya tenaga kerja (buruh) adalah subjek sekaligus objek dari pembangunan. Kegiatan pembangunan pada akhirnya adalah untuk manusia dan manusia yang bekerja akan kembali menghadirkan pembangunan yang lebih baik lagi.


  1. Dan sebagai bentuk negara hadir, serta menghadirkan kesejahteraan yang merata bagi seluruh buruh dan rakyat, untuk menjawab disparitas dan diskriminasi Upah Minimum. Maka GSBI menuntut bahwa Besaran Upah Minimum Nasional (UMN) tahun 2025 adalah sebesar Rp. 7209.104,- (tujuh juta dua ratus sembilan ribu seratus empat rupiah).  GSBI percaya bahwa dengan kenaikan upah buruh yang signifikan yang mampu memenuhi kebutuhan dasar hidup buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua adalah jalan mewujudkan dan menghadirkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi rakyat, dan kebijakan ini jelas akan berkontribusi pada meningkatnya produktivitas, pertumbuhan ekonomi dan akan membawa dengan cepat negara kita keluar dari krisis dan deflasi yang dialami saat ini.

 

Mari Sejak Sekarang Kita Hilangkan dan Tinggalkan Mitos Terbelang dan Busuk ini; Bahwa Upah Buruh Yang Tinggi, Investasi Tidak Akan Masuk, Akan Banyak Pabrik Tutup. Itu semua adalah akal bulus licik nan serakah dari para kapitalis dan tuan tanah yang tidak nasionalis. Kajian an hasil penelitiannya sudah sangat banyak, Yurisprudensi nya juga sudah ada dan sangat terang, tengok saja di era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 1999-2001, kenaikan Upah Minimum (UM) buruh mencapai 24,82% setiap tahunnya. Bahkan gaji PNS pernah naik hingga 270%, dan Investasi tetap masuk, tidak juga pabrik-pabrik tutup, yang ada malah Indonesia cepat pulih dan keluar dari krisis, karena rakyat punya pendapat yang bagus.

 

  1. Menuntut dan mendesak agar pemerintah dalam hal ini rezim Prabowo Subianto untuk menghormati, mematuhi dan melaksanakan tegak lurus sepenuhnya putusan MK RI No 168 tanpa terkecuali. Maka GSBI meminta pemerintah untuk melibatkan secara bermakna kaum buruh dan serikat buruh dalam pembahasan substantif untuk menindaklanjuti putusan Mahkahmah Konstitusi (MK) ini serta berbagai kebijakan konkrit lainnya.

 

Dan dengan adanya pertimbangan dalam Putusan MK No. 168 bahwa perlu segera dibuat suatu UU Ketenagakerjaan baru yang tersendiri maka sudah selayaknya semua pemangku kepentingan yaitu Pemerintah, Buruh dan Pengusaha, melalui inisiatif Pemerintah cq Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) untuk berdialog dan memulai merumuskan rencana (road map) pembuatan UU Ketenagakerjaan yang baru tersebut. Langkah ini bisa juga pararel dengan meminta DPR RI untuk memasukkan dalam Prolegnas 2025 sehingga selambat-lambatnya dalam kurun 2 (dua) tahun UU Ketenagakerjaan yang baru sudah bisa dilahirkan.

 

Untuk itu GSBI mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera mengambil langkah konkrit dengan mengumumkan kepada publik khususnya kaum buruh Indonesia menyatakan bahwa Pemerintahan Prabowo Subianto setuju dan resmi menyatakan mengeluarkan Klaster Ketenagakerjaan dari Omnibus Law Cipta Kerja (UU No 6 tahun 2023) dan memerintahkan Kementerian Ketenagakerjaan memulai dialog dengan serikat buruh dan seluruh stackholder sebagai langkah awal membentuk UU Ketenagakerjaan baru sebagaimana perintah MK-RI dan aspirasi sejati kaum buruh Indonesia.

 

Membuat UU Ketenagakerjaan yang baru dan melakukan revisi (perbaikan) atas masalah dan materi Ketenagakerjaan menurut GSBI adalah keharusan, penting dan mendesak,  guna menciptakan standar ketenagakerjaan yang lebih adil. Dengan aturan baru ini nantinya diharapkan tercipta lingkungan kerja yang memperhatikan, memberikan jaminan dan pemenuhan hak-hak buruh dan meningkatkan kesejahteraan buruh dan keluarganya menjamin keberlangsungan usaha dan kemajuan industri. Revisi ini juga dimaksudkan untuk mencerminkan komitmen hukum nasional dalam menjaga keselarasan antara kebutuhan industri dan perlindungan terhadap buruh, sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh pihak yang terlibat dalam hubungan kerja di Indonesia. 

 

Mengingat Hukum atau UU Ketenagakerjaan saat ini faktanya sangat ruwet dan berserakan, kesusahan untuk memahaminya karena tercecer dalam 4 (empat) buku yang secara terpisah namun saling terikat. Sederhananya untuk memahami UU Ketenagalkerjaan harus membaca: (1). Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003; (2). Kumpulan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI atas Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 yang Jumlahnya sekitar ada 12 putusan; (3). Omnibus Law “Undang-Undang” Cipta Kerja Nomor 06 Tahun 2023, dan (4). Kumpulan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI atas Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 06 Tahun 2023 (putusan MK RI No.168), sebagaimana juga dikemukakan Mahkamah Konstitusi (MK) RI dalam putusan No.168 [3.16].

 

Dan tuntutan konkrit GSBI bahwa UU Ketenagakerjaan baru itu adalah dibentuknya UU Pokok Ketenagakerjaan yang didalamnya memuat, meliputi dan mencakup, diantaranya; Soal Buruh Migran Indonesia (BMI) termasuk didalamnya ABK, Buruh Perkebunan Kelapa Sawit, Buruh dalam Industri Ekonomi Digital (terutama Ojol), Pekerja Rumah Tangga (PRT), Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), Jaminan Sosial (Jamsos), Penyelesaian Perselisihan, Sistem Pengupahan, dllnya.

 

  1. Hentikan Kekerasan Berbasis Gender (GBV)di Tempat Kerja, Segera Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 190 dan Segera Revisi UU Nomor 1 tahun 1970 tentang K3.

 

  1. Naikkan Upah Buruh, Turunkan Harga-Harga Kebutuhan Pokok Rakyat,  dan GSBI berserta Kaum Buruh Indonesia Menolak Kenaikan PPN 12% serta berbagai kenaikan pajak dan potongan lainnya yang akan menyebabkan lahirnya penderitaan, karena beban baru (defisit) terhadap pendapatan/penghasilan buruh dan rakyat.

 

  1. Hentikan PHK, Hapuskan Sistem Kerja Kontrak, Outsourcing dan Pemagangan serta Selamatkan Industri Indonesia terutama Industri Tekstile dan Produks Tekstil (TPT), Industri Persepatuan dan Manufaktur lainnya dari akibat kebijakan yang korup; karena Modal, Pasar, Bahan Baku, Mesin/Teknologi, dll sangat bergantung pada Asing; Karena Biaya Tinggi yang Tidak Terkait dengan Industri seperti Logistik, Suku Bunga dan KKN; Penyelundupan dan Mudahnya Impor yang Tidak Terkendali; Karena Omnibuslaw Cipta Kerja dan segala aturan turunannya yang nyata memperburuk keadaan industri dan ketenagakerjaan.

Jika pemerintah menggunakan Produk Domestik Bruto (PDB) sebagai ukuran imperialis atas tingkat ekonomi atau kesejahteraan suatu masyarakat dalam suatu negeri, maka Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) menuntut agar rakyat dan upah minimum (UM) buruh berhak mendapatkan nilainya yang dihitung berdasarkan PDB per kapita.

 

GSBI menolak politik upah buruh yang justru memisahkan buruh dengan rakyat luas terhisap dan tertindas, khususnya kaum tani. Tuntutan kenaikan nominal upah semata-mata bagi buruh tanpa memperhatikan keadaan kaum tani (sebagai kaum mayoritas) dan rakyat lainnya yang upah dan pendapatannya tidak naik, sementara harga barang terus naik akibat inflasi akan menjadikan persekutuan pokok buruh dan tani akan terancam rusak. Karena itu, tuntutan jaminan atas kepastian ketersediaan, distribusi dan penurunan harga kebutuhan pokok rakyat secara drastis dan pembebasan pajak bagi buruh, tani, dan rakyat miskin menjadi tuntutan utama bagi perbaikan (reform) upah buruh dan seluruh rakyat.

 

Sudah waktunya untuk membalikkan ketidakadilan, mengakhiri praktek politik upah murah yang membuat buruh tidak cukup untuk memenuhi standar hidup yang layak bagi diri mereka sendiri dan keluarganya, upah yang tidak cukup untuk mengeluarkan buruh dari kemiskinan, terutama di tengah melonjaknya inflasi.

 

"Pemerintah harus berhenti menipu, sekedar membangun formula mengotak-atik rumus yang pada intinya adalah untuk mempertahankan upah rendah dengan kenaikan yang rendah. Berhenti mempercayai fiksi bahwa upah ditetapkan sebagai hasil pertemuan kurva penawaran dan permintaan pada titik ekuilibrium di pasar tenaga kerja”.

 

Hukum hak asasi manusia (HAM) internasional, Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara yang merupakan hukum tertinggi di Indonesia menjamin hak buruh untuk mendapatkan upah yang adil demi penghidupan yang layak untuk diri mereka sendiri dan keluarga nya.

 

Dan diakhir penyataan sikap ini, GSBI MENYERUKAN kepada seluruh DPD GSBI, DPC GSBI dan Serikat Buruh Anggota (SBA) – GSBI, anggota dan kaum buruh Indonesia untuk terus memperhebat perjuangan untuk kenaikan Upah Minimum (UM) tahun 2025 di daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota masing-masing sesuai dengan garis perjuangan dan Instruksi organisasi GSBI hingga pada angka kenaikan yang maksimal, dengan berbagai taktik, termasuk dengan loby dan aksi-aksi unjuk rasa bahkan pemogokan-pemogokan. Membangun dan/atau bergabung dengan Aliansi dan Front yang sehaluan dalam tuntutan dan isu yang diperjuangkan. Termasuk untuk secara aktif mempromosikan konsep Upah Minimum Nasional (UMN) GSBI sebagai solusi dan jalan baru atas masalah pengupahan di Indonesia.


Demikian pernyataan sikap ini dibuat dan disampaikan untuk diketahui dan dilaksanakan oleh pemerintah dibawah kekuasaan rezim Prabowo Subianto Presiden RI ke 8.


Jakarta, 20 November 2024 

Hormat Kami, 
DEWAN PIMPINAN PUSAT 
GABUNGAN SERIKAT BURUH INDONESIA (DPP. GSBI) 

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.

emo-but-icon

Terbaru

Populer

Arsip Blog

item