Pernyataan Sikap GSBI dalam Aksi 20 November 2024 di Kemnaker RI untuk Perjuangan Kenaikan Upah Minimum Tahun 2025
Pernyataan Sikap Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) Nomor: PS.00038/DPP. GSBI/JKT/XI/2024 Dalam Aksi Tanggal 20 November 2024 HORMA...
HORMATI, PATUHI DAN LAKSANAKAN TEGAK LURUS TANPA KECUALI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI (MK) RI NO. 168/PUU-XXI/2023.
HENTIKAN MENETAPKAN UPAH MINIMUM (UM) TAHUN 2025 DENGAN MENGGUNAKAN PP 36 TAHUN 2021 Jo PP 51 TAHUN 2023.
BERLAKUKAN DAN TETAP UPAH MINUMUM (UM) TAHUN 2025 SEBESAR RP.7.209.104,- UNTUK SELURUH WILAYAH/DAERAH DAN SEKTOR INDUSTRI.
UPAH MINIMUM NASIONAL (UMN) ADALAH JALAN BARU SOLUSI ATAS MASALAH SISTEM PUNGUPAHAN DI INDONESIA.
SEGERA KELUARKAN KLASTER KETENAGAKERJAAN DARI OMNIBUS LAW CIPTA KERJA (UU NO. 6 THN 2023) DAN SEGERA BUAT UU POKOK KETENAGKERJAAN BARU.
Salam Demokrasi !!!
Pada hari ini Rabu tanggal 20 November 2024 Gabungan Serikat Buruh
Indonesia (GSBI) bersama dengan puluhan organisasi Serikat Pekerja/Serikat
Buruh baik Konfederasi dan Federasi yang tergabung dalam Forum Urun Rembug
Nasional untuk Advokasi Kebijakan Ketenagakerjaan menggelar aksi unjuk rasa di
Kantor Menteri Ketenagakerjaan (Kemnaker) RI. Aksi ini dilatarbelakangi oleh
tidak adanya kejelasan sikap dan tindakan rezim (pemerintahan) Prabowo Subianto
dalam hal ini Kemnaker RI mengenai kebijakan (aturan) penetapan Upah Minimum
tahun 2025, setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI Nomor
168/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada tanggal 31 Oktober 2024. Padahal tanggal
21 November tahun berjalan biasanya tanggal batas akhir penetapan Upah Minimum
Provinsi (UMP) dan tanggal 30 November tahun berjalan adalah tanggal penetapan
Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK). Sehingga hal ini membuat resah dan ketidak
pastian bagi kaum buruh di seluruh daerah.
Selanjutnya, karena GSBI beserta kaum buruh Indonesia melihat adanya tindakan
dan sikap Menaker RI yang cenderung membuat penafsiran berbeda atas putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) RI No 168/PUU-XXI/2023 khususnya mengenai putusan
pelaksanaan penetapan upah minimum (UM) tahun 2025 sebagaimana yang dipaparkan
Kemnaker RI dalam rapat dengan Dewan Pengupahan Nasional dan Dewan Pengupahan
Daerah se Indonesia serta LKS Tripartit Nasional (4/11/24) lalu, yaitu; bahwa
penetapan Upah Minimum (UM) tahun 2025 masih tetap akan menggunakan PP 36 tahun
2021 jo PP 51 tahun 2023 dan akan ada/pemberlakukan penetapan Upah Minimum (UM)
padat karya yang nilainya dibawah Upah Minumum (UM).
Membaca dan memahami putusan MK No.168 menyangkut Upah Minimum (UM) pada intinya Mahkamah Konstitusi (MK) RI menyatakan:
1.
Seluruh kebijakan
pemerintah dalam menetapkan Upah Minimum sejak tahun 2021 yang didasarkan pada
UU Cipta Kerja No. 6 Tahun 2023 jo Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2021 jo
Perturan Pemerintah No. 51 Tahun 2023 adalah kebijakan yang bertentangan dengan
UUD 1945 dan Tidak Mempunyai Kekuatan Hukum yang mengikat. Sebab Tidak mencakup termasuk penghasilan yang
memenuhi penghidupan yang merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan buruh
dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup buruh dan
keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan,
pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua.
2.
Dimasukkannya unsur Indeks
Tertentu yang disimbolkan “a” dalam
rumusan formulasi penghitungan penetapkan Upah Minimum (UM), Mahkamah menyatakan bahwa Indeks
tertentu yang dimaksudkan pemerintah sebagai variable yang mewakili
kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi tidak mempunyai prinsip proposionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup
layak bagi buruh. Hal ini terbukti dimana sejak 3 tahun terakhir
rata-rata upah minimum (UM) buruh Indonesia terus mengalami defisit terhadap
harga-harga kebutuhan pokok berlaku, sebagaimana data BPS tahun 2021 s.d 2023
tercatat kondisi upah riil buruh secara berturut-turut mengalami defisit
rata-rata sebesar Rp.306.000/bulan – Rp.526.000/bulan setiap tahunnya.
Sementara unsur “a” yang
nilainya ditetapkan dari rentang 0,1 – 0,3 dalam rumus penghitungan dan
penetapan upah minimum (UM) sebagai faktor perkalian
terhadap pertumbuhan ekonomi (PE x a)
hal ini menyebabkan hasil dari perhitungan tersebut menghasilkan unsur “a”
menjadi faktor pengurang nilai dari
Pertumbuhan Ekonomi (PE). Perumusan Indeks Tertentu pada akhirnya semakin
menambah beban upah minimum terhadap harga-harga kebutuhan pokok berlaku,
karena berlaku mengurangi nilai dari pertumbuhan ekonomi (PE). Itulah salah
satu faktor yang menyebabkan kenaikan upah minimum selalu rendah.
Dalam pandangan dan analisa GSBI, bahwa kebijakan pengupahan sejak orde
baru terlebih sepanjang 10 (sepuluh) tahun terakhir di bawah kekuasaan rezim
Joko Widodo (Jokowi) nyata mempertahankan politik upah murah (rendah) dan
perampasan upah, upah yang tidak mampu
memenuhi kebutuhan hidup buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi
makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan
jaminan hari tua, mengabaikan masalah disparitas upah minimum antar
daerah yang terus semakin melebar dan tidak pernah dapat dikendalikan oleh
pemerintah.
GSBI meyakini bahwa semua aturan pengupahan yang ada saat ini tidak akan
membuat kenaikan upah buruh secara signifikan, tidak akan bisa menjawab masalah
disparitas upah dan diskriminasi upah, buruh upahnya tetap akan mengalami
defisit dari tahun ketahun. Karena aturan yang ada hanya mengotak-atik rumus
(formula) yang hakekatnya melanggengkan politik upah murah (rendah) dan
perampasan upah serta menjalankan pengupahan sistem kapitalisme monopoli.
Meskipun sesungguhnya landasan sistem pengupahan di Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 bersifat adil, akan tetapi dalam prakteknya,
Indonesia menerapkan sistem pengupahan berdasarkan prinsip-prinsip dasar
kapitalisme monopoli. Dalam sistem kapitalisme monopoli, upah adalah harga
tenaga kerja yang dikendalikan kapitalis dan ditetapkan oleh pemerintah sebagai
pelayan kelas penghisap dan penindas (kapitalis birokrat). Inilah hakekat upah
di dalam sistem kapitalisme monopoli, yang dilegalkan dan ditetapkan oleh
negara melalui berbagai kebijakan dan aturan mengenai pengupahan, dari
undang-undang, peraturan pemerintah sampai dengan peraturan menteri. Dengan
demikian, kelas buruh harus mengerti prinsip dasar mengenai upah dan
hubungannya dengan masalah ekonomi dan politik yang mengontrol upah itu
sendiri.
Maka dalam aksi ini GSBI dan kaum buruh Indonesia menyatakan sikap dan menuntut:
- Bahwa penetapan upah
minimum (UM) tahun 2025 kaum buruh menolak menggunakan PP 36 Tahun 2021 jo
PP 51 Tahun 2023 sebagai dasar rujukan hukumnya. Karena jika tetap
menggunakan aturan tersebut sama saja mempertahankan defisit upah riil
buruh, sama saja mempertahankan disparitas (kesenjangan) upah yang sangat
tinggi antar daerah dan melanggengkan politik diskriminasi upah. Dan yang paling pokok adalah melawan dan
membangkang pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI no. 168.
Bahwa jika merujuk dan berdasarkan putusan MK-RI no.168 sudah sangat jelas dan terang berderang, sesungguhnya dengan sendirinya telah membatalkan hal-hal, pasal-pasal dan masalah substansial dari PP 36 Tahun 2021 jo PP 51 Tahun 2023 maka konsekwensinya tidak berlaku secara hukum. Maka sudah sepatutnya Penetapan Upah Minimum (UM) tahun 2025 adalah merujuk dan sesuai tegak lurus dengan putusan MK No 168. Sehingga siapapun tanpa terkecuali yang dalam penetapan upah minimum (UM) tahun 2025 masih mempertahankan PP 36/2021 jo PP 51/2023 serta mengajak dan berprinsip bahwa besaran nilai “a” adalah sesuai dengan PP 36 Tahun 2021 jo PP 51 Tahun 2023 berarti mereka dengan sengaja dan dengan sadar mengajak untuk membelakangi, mengabaikan, serta menolak, melawan dan membangkang pada putusan MK no.168.
- Menolak adanya
Penetapan Upah Minimum (UM) Sektor Padat Karya yang nilainya lebih rendah dari Upah
Minimum (UM). Bahwa Upah Minimum (UM) yang ditetapkan adalah harus
berlaku bagi seluruh buruh untuk masa kerja 0 s/d 1 tahun untuk seluruh
sektor industri dengan tanpa membedakan status kerja. Upah untuk sektor
Industri tertentu (termasuk padat karya) ditetapkan kemudian besarannya
melalui Upah Minimum Sektoral (UMSP/K) yang besarannya harus di atas Upah
Minimum (UMP/UMK) dengan melibatkan dewan pengupahan.
- Bahwa
solusi atas masalah dan sistem pengupahan - upah minimum (UM) di Indonesia
adalah diberlakukannya Upah Minimum Nasional (UMN). Upah Minimum Nasioal (UMN)
yang dimaksudkan GSBI adalah sistem pengupahan dasar (terendah) – jaring
pengaman- yang dibayarkan kepada buruh yang tidak dikecualikan dan tidak
boleh dinegosiasikan, berlaku secara nasional untuk buruh dengan masa
kerja nol sampai dengan satu tahun, yang ditetapkan langsung oleh
pemerintah pusat (nasional) dengan tetap melibatkan partisipasi serikat
buruh, asosiasi pengusaha melalui dewan pengupahan nasional.
Meskipun berlaku upah minimum
nasional (UMN), masing-masing daerah provinsi, kota dan kabupaten dapat
menetapkan dan memberlakukan upah minimum provinsi, kota atau kabupaten sendiri
yang melewati persyaratan upah minimum nasional (UMN). Artinya besaran upah
minimum provinsi, kota dan kabupaten tidak boleh lebih rendah dari upah minimum
nasional (UMN) yang ditetapkan dan diberlakukan pemerintah pusat (nasional).
Adapun
usulan GSBI untuk rumus dalam menetapkan besar Upah Minimum Nasional (UMN) adalah: PDB Nasional Tahun berlaku
dibagi Jumlah Penduduk Tahun berlaku, dibagi 12 (dua belas) bulan, di tambah
dengan nilai proyeksi Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi tahun berikutnya” Maka
itulah besaran Upah Minimum Nasional (UMN).
GSBI percaya bahwa berdasarkan kajian, dengan ditetapkannya Upah Minimum Nasional (UMN) maka ketimpangan (disparitas) upah dan diskriminasi upah yang terjadi dan berjalan puluhan tahun hingga saat ini akan teratasi (bisa di jawab). Sekaligus bahwa penerapan konsep UMN ini adalah bentuk nyata implementasi dari Konstitusi UUD 1945 dan Pancasila, bentuk nyata negara hadir dan berperan mendistribusikan keadilan ekonomi untuk lahirnya pemerataan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi yang dirasakan langsung oleh buruh dan rakyat Penerapan UMN juga dapat dipastikan akan mendorong pada tingkat produktivitas, pertumbuhan ekonomi yang inklusif di setiap daerah dan nasional. Karena sesungguhnya tenaga kerja (buruh) adalah subjek sekaligus objek dari pembangunan. Kegiatan pembangunan pada akhirnya adalah untuk manusia dan manusia yang bekerja akan kembali menghadirkan pembangunan yang lebih baik lagi.
- Dan sebagai bentuk negara
hadir, serta menghadirkan kesejahteraan yang merata bagi seluruh buruh dan
rakyat, untuk menjawab disparitas dan diskriminasi Upah Minimum. Maka GSBI
menuntut bahwa Besaran Upah Minimum Nasional (UMN) tahun 2025 adalah
sebesar Rp. 7209.104,- (tujuh juta dua ratus sembilan ribu seratus empat
rupiah). GSBI percaya bahwa dengan kenaikan upah buruh yang
signifikan yang mampu memenuhi
kebutuhan dasar hidup buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi
makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi,
dan jaminan hari tua adalah jalan mewujudkan dan menghadirkan
kesejahteraan dan keadilan sosial bagi rakyat, dan kebijakan ini jelas
akan berkontribusi pada meningkatnya produktivitas, pertumbuhan ekonomi
dan akan membawa dengan cepat negara kita keluar dari krisis dan deflasi
yang dialami saat ini.
Mari Sejak Sekarang
Kita Hilangkan dan Tinggalkan Mitos Terbelang dan Busuk ini; Bahwa Upah Buruh
Yang Tinggi, Investasi Tidak Akan Masuk, Akan Banyak Pabrik Tutup. Itu semua adalah akal bulus licik nan serakah
dari para kapitalis dan tuan tanah yang tidak nasionalis. Kajian an hasil
penelitiannya sudah sangat banyak, Yurisprudensi nya juga sudah ada dan
sangat terang, tengok saja di era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 1999-2001, kenaikan Upah Minimum (UM) buruh mencapai 24,82% setiap
tahunnya. Bahkan gaji PNS pernah naik hingga 270%, dan Investasi tetap masuk,
tidak juga pabrik-pabrik tutup, yang ada malah Indonesia cepat pulih dan keluar
dari krisis, karena rakyat punya pendapat yang bagus.
- Menuntut dan mendesak agar
pemerintah dalam hal ini rezim Prabowo Subianto untuk menghormati,
mematuhi dan melaksanakan tegak lurus sepenuhnya putusan MK RI No 168
tanpa terkecuali. Maka GSBI meminta
pemerintah untuk melibatkan secara bermakna kaum buruh dan serikat buruh
dalam pembahasan substantif untuk menindaklanjuti putusan Mahkahmah
Konstitusi (MK) ini serta berbagai kebijakan konkrit lainnya.
Dan dengan adanya pertimbangan
dalam Putusan MK No. 168 bahwa perlu segera dibuat suatu UU Ketenagakerjaan
baru yang tersendiri maka sudah selayaknya semua pemangku kepentingan yaitu
Pemerintah, Buruh dan Pengusaha, melalui inisiatif Pemerintah cq Kementerian
Ketenagakerjaan (Kemnaker) untuk berdialog dan memulai merumuskan rencana (road
map) pembuatan UU Ketenagakerjaan yang baru tersebut. Langkah ini bisa juga
pararel dengan meminta DPR RI untuk memasukkan dalam Prolegnas 2025 sehingga
selambat-lambatnya dalam kurun 2 (dua) tahun UU Ketenagakerjaan yang baru sudah
bisa dilahirkan.
Untuk itu GSBI mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera mengambil
langkah konkrit dengan mengumumkan kepada publik khususnya kaum buruh Indonesia
menyatakan bahwa Pemerintahan Prabowo Subianto setuju dan resmi menyatakan
mengeluarkan Klaster Ketenagakerjaan dari Omnibus Law Cipta Kerja (UU No 6
tahun 2023) dan memerintahkan Kementerian Ketenagakerjaan memulai dialog dengan
serikat buruh dan seluruh stackholder sebagai langkah awal membentuk UU
Ketenagakerjaan baru sebagaimana perintah MK-RI dan
aspirasi sejati kaum buruh Indonesia.
Membuat UU Ketenagakerjaan yang baru dan
melakukan revisi (perbaikan) atas masalah dan materi Ketenagakerjaan menurut
GSBI adalah keharusan, penting dan mendesak,
guna menciptakan standar ketenagakerjaan yang lebih adil. Dengan aturan
baru ini nantinya diharapkan tercipta lingkungan kerja yang memperhatikan,
memberikan jaminan dan pemenuhan hak-hak buruh dan meningkatkan kesejahteraan
buruh dan keluarganya menjamin keberlangsungan usaha dan kemajuan industri.
Revisi ini juga dimaksudkan untuk mencerminkan komitmen hukum nasional dalam
menjaga keselarasan antara kebutuhan industri dan perlindungan terhadap buruh,
sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh pihak yang terlibat dalam
hubungan kerja di Indonesia.
Mengingat Hukum atau UU Ketenagakerjaan
saat ini faktanya sangat ruwet dan berserakan, kesusahan untuk memahaminya
karena tercecer dalam 4 (empat) buku yang secara terpisah namun saling terikat.
Sederhananya untuk memahami UU Ketenagalkerjaan harus membaca: (1).
Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003; (2). Kumpulan Keputusan
Mahkamah Konstitusi (MK) RI atas Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun
2003 yang Jumlahnya sekitar ada 12 putusan; (3). Omnibus Law “Undang-Undang”
Cipta Kerja Nomor 06 Tahun 2023, dan (4). Kumpulan Keputusan Mahkamah
Konstitusi (MK) RI atas Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 06 Tahun 2023 (putusan
MK RI No.168), sebagaimana juga dikemukakan Mahkamah Konstitusi (MK) RI dalam
putusan No.168 [3.16].
Dan tuntutan konkrit GSBI bahwa UU
Ketenagakerjaan baru itu adalah dibentuknya UU Pokok Ketenagakerjaan yang
didalamnya memuat, meliputi dan mencakup, diantaranya; Soal Buruh Migran
Indonesia (BMI) termasuk didalamnya ABK, Buruh Perkebunan Kelapa Sawit, Buruh
dalam Industri Ekonomi Digital (terutama Ojol), Pekerja Rumah Tangga (PRT),
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), Jaminan Sosial (Jamsos), Penyelesaian
Perselisihan, Sistem Pengupahan, dllnya.
- Hentikan
Kekerasan Berbasis Gender (GBV)di Tempat Kerja, Segera Ratifikasi Konvensi
ILO Nomor 190 dan Segera Revisi UU Nomor 1 tahun 1970 tentang K3.
- Naikkan
Upah Buruh, Turunkan Harga-Harga Kebutuhan Pokok Rakyat, dan GSBI berserta Kaum Buruh Indonesia
Menolak Kenaikan PPN 12% serta berbagai kenaikan pajak dan potongan
lainnya yang akan menyebabkan lahirnya penderitaan, karena beban baru
(defisit) terhadap pendapatan/penghasilan buruh dan rakyat.
- Hentikan PHK, Hapuskan Sistem Kerja Kontrak, Outsourcing dan Pemagangan serta Selamatkan Industri Indonesia terutama Industri Tekstile dan Produks Tekstil (TPT), Industri Persepatuan dan Manufaktur lainnya dari akibat kebijakan yang korup; karena Modal, Pasar, Bahan Baku, Mesin/Teknologi, dll sangat bergantung pada Asing; Karena Biaya Tinggi yang Tidak Terkait dengan Industri seperti Logistik, Suku Bunga dan KKN; Penyelundupan dan Mudahnya Impor yang Tidak Terkendali; Karena Omnibuslaw Cipta Kerja dan segala aturan turunannya yang nyata memperburuk keadaan industri dan ketenagakerjaan.
Jika
pemerintah menggunakan Produk Domestik Bruto (PDB) sebagai ukuran imperialis
atas tingkat ekonomi atau kesejahteraan suatu masyarakat dalam suatu negeri,
maka Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) menuntut agar rakyat dan upah
minimum (UM) buruh berhak mendapatkan nilainya yang dihitung berdasarkan PDB
per kapita.
GSBI menolak
politik upah buruh yang justru memisahkan buruh dengan rakyat luas terhisap dan
tertindas, khususnya kaum tani. Tuntutan kenaikan nominal upah semata-mata bagi
buruh tanpa memperhatikan keadaan kaum tani (sebagai kaum mayoritas) dan rakyat
lainnya yang upah dan pendapatannya tidak naik, sementara harga barang terus
naik akibat inflasi akan menjadikan persekutuan pokok buruh dan tani akan
terancam rusak. Karena itu, tuntutan jaminan atas kepastian ketersediaan,
distribusi dan penurunan harga kebutuhan pokok rakyat secara drastis dan
pembebasan pajak bagi buruh, tani, dan rakyat miskin menjadi tuntutan utama
bagi perbaikan (reform) upah buruh dan seluruh rakyat.
Sudah
waktunya untuk membalikkan ketidakadilan, mengakhiri praktek politik upah murah
yang membuat buruh tidak cukup untuk memenuhi standar hidup yang layak bagi
diri mereka sendiri dan keluarganya, upah yang tidak cukup untuk mengeluarkan
buruh dari kemiskinan, terutama di tengah melonjaknya inflasi.
"Pemerintah
harus berhenti menipu, sekedar membangun formula mengotak-atik rumus yang pada
intinya adalah untuk mempertahankan upah rendah dengan kenaikan yang rendah.
Berhenti mempercayai fiksi bahwa upah ditetapkan sebagai hasil pertemuan kurva
penawaran dan permintaan pada titik ekuilibrium di pasar tenaga kerja”.
Hukum hak
asasi manusia (HAM) internasional, Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi
negara yang merupakan hukum tertinggi di Indonesia menjamin hak buruh untuk
mendapatkan upah yang adil demi penghidupan yang layak untuk diri mereka
sendiri dan keluarga nya.
Dan diakhir penyataan sikap ini, GSBI MENYERUKAN kepada seluruh DPD GSBI, DPC GSBI dan Serikat Buruh Anggota (SBA) – GSBI, anggota dan kaum buruh Indonesia untuk terus memperhebat perjuangan untuk kenaikan Upah Minimum (UM) tahun 2025 di daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota masing-masing sesuai dengan garis perjuangan dan Instruksi organisasi GSBI hingga pada angka kenaikan yang maksimal, dengan berbagai taktik, termasuk dengan loby dan aksi-aksi unjuk rasa bahkan pemogokan-pemogokan. Membangun dan/atau bergabung dengan Aliansi dan Front yang sehaluan dalam tuntutan dan isu yang diperjuangkan. Termasuk untuk secara aktif mempromosikan konsep Upah Minimum Nasional (UMN) GSBI sebagai solusi dan jalan baru atas masalah pengupahan di Indonesia.
Demikian pernyataan sikap ini dibuat dan disampaikan untuk diketahui dan dilaksanakan oleh pemerintah dibawah kekuasaan rezim Prabowo Subianto Presiden RI ke 8.
Hormat Kami,
DEWAN PIMPINAN PUSAT
GABUNGAN SERIKAT BURUH INDONESIA (DPP. GSBI)