Tanggapan GSBI Atas Putusan MK Terbaru Nomor 168/PUU-XXI/2023
INFO GSBI -Jakarta. Pada Kamis tanggal 31 Oktober 2024 Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) RI membacakan putusan perkara Nomor 168/PUU-X...
INFO GSBI -Jakarta. Pada Kamis tanggal 31 Oktober 2024 Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) RI membacakan putusan perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023 serta perkara Nomor 40/PUU-XXI/2023, dan Nomor 62/PUU-XXI/2023 dengan objek konstitusionalitas yang sama. Dan menurut penilaian Mahkamah Konstitusi (MK) RI bahwa perkara Nomor 168 memiliki lebih banyak dalil dibanding perkara lainnya sehingga putusan perkara Nomor 168 dijadikan rujukan untuk dua perkara lainnya yang pada pokoknya memiliki kesamaan substansi dengan permohonan a quo (perkara no.168).
Dalam putusan nya Mahkamah Konstitusi (MK) RI setidaknya mengabulkan dan mengubah 21 Pasal dalam UU (omnibus law) Cipta Kerja Nomor 6 tahun 2023.
“GSBI mengapresiasi atas putusan MK Nomor 168/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada tanggal 31 Oktober 2024 kemarin. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI ini harus diakui telah membuat beberapa hal yang merugikan kaum buruh dapat dikembalikan lagi walau tidak sepenuhnya seperti pada aturan sebelumnya.” Demikian disampaikan Ketua Umum GSBI, Rudi HB Daman.
Contohnya tentang Upah Minimum Sektoral (UMSK) yang telah dihilangkan oleh omnibus law cipta kerja, melalui putusan ini dikembalikan lagi, alias ada lagi alias berlaku lagi. Maka ini patut disyukuri oleh kaum buruh.
Dan yang menarik dari putusan MK no. 168 ini dalam poin pertimbangan [3.16] adanya perintah Mahkamah kepada pembentuk undang-undang (pemerintah dan DPR RI) untuk segera membentuk undang-undang ketenagakerjaan yang baru dan memisahkan atau mengeluarkan dari yang diatur dalam UU nomor 6 tahun 2023 (omnibus law Cipta kerja). Dimana Mahkamah berpendapat banyaknya pasal-pasal dalam UU Omnibuslaw Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945, dan dengan cara mengaturnya dalam undang-undang tersendiri dan terpisah dari UU no.6 tahun 2023, undang-undang ketenagakerjaan akan menjadi lebih mudah dipahami. Dengan menggunakan dasar pemikiran tersebut, waktu paling lama 2 (dua) tahun dinilai oleh Mahkamah cukup bagi pembentuk undang-undang untuk membuat undang-undang ketenagakerjaan baru yang substansinya menampung materi UU 13/2003 dan UU 6/2023, serta sekaligus menampung substansi dan semangat sejumlah putusan Mahkamah yang berkenaan dengan ketenagakerjaan dengan melibatkan partisipasi aktif serikat pekerja/serikat buruh....*
Maka dari poin ini kesempatan bagi kaum buruh Indonesia untuk mendesak pemerintah Prabowo Subianto segera mengeluarkan klaster Ketenagakerjaan dari Omnibus Law Cipta Kerja dan segera membentuk UU Ketenagakerjaan baru sebagaimana perintah Mahkamah.
Namun begitu harus dipahami bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI ini secara filosofis hukum masih tetap mempertahankan rezim omnibus law; hubungan dan status kerja yang fleksibel menjadi semakin fleksibel, mempertahankan politik upah murah, PHK dipermudah dan pada pokoknya aturan yang pro investasi, pro kaum borjuasi asing dan komprador, tuan tanah besar serta mempasilitasi dan mempermudah investasi dan berusaha. Artinya masih belum merubah landscape atau gambaran besar perubahan atas kepastian dan perlindungan hak-hak buruh, kesejateraan dan kemuliaan bagi kaum buruh dan keluarganya.
Menurut Ketua Umum GSBI kaum buruh Indonesia atas putusan ini harus bersyukur agar tidak kupur nikmat, dan boleh kaum buruh bersukaria – senang atas putusan ini, tapi tidak boleh telah merasa menang, dan perjuangan atas penolakan dan pencabutan atas omnibus law cipta kerja selesai atau berakhir. Jika demikian hal itu sangat keliru, dan berbahaya, karena jika kita kaum buruh terkhusus serikat buruh dengan putusan ini sudah merasa menang padahal sesungguhnya ini masih kekalahan. Seperti yang kami sampaikan bahwa putusan ini tidak mengubah rezim omnibus law, tidak merubah landscape atau gambaran besar perubahan atas kepastian dan jaminan perlindungan hak-hak buruh. Kaum buruh menang itu kalau omnibus law cipta kerja di cabut/dibatalkan, itu baru kemenangan.
Omnibuslaw Cipta Kerja Harus di Cabut
Esensi dari omnibus law UU Cipta Kerja adalah aturan pro investasi dan kapital milik imperialisme masuk ke Indonesia. Sejak diberlakukan tahun 2023, bahkan jauh sebelum itu hubungan kerja fleksibel dan semakin fleksibel semakin marak hampir disemua sektor dan jenis industri. Meskipun memiliki tujuan yang ambisius untuk meningkatkan daya saing ekonomi dan menarik investasi, implementasi omnibus law cipta kerja tidak memberi banyak perubahan pada perbaikan Industri Indonesia (investasi) terutama dalam membuka lapangan pekerjaan.
Undang-undang ini di tolak kaum buruh hingga saat ini dan kapan pun, selain proses pembentukannya yang tidak demokratis, tidak melibatkan partisipasi publik yang bermakna dan tidak transparan, melanggar konstitusi, isinya pun banyak merugikan buruh. Dengan adanya omnibus law Cipta Kerja semakin menurunnya perlindungan buruh (mengurangi bahkan menghilangkan hak buruh), seperti PHK di permudah, pengurangan pesangon, fleksibilitas dalam pengaturan jam kerja, dan peraturan tentang kontrak dan outsourcing (tidak adanya kepastian kerja), lapangan kerja juga tetap saja sempit. Union busting (kebebasan berserikat, berpendapat dan berunding bersama/kolektif), politik upah murah (rendah), jaminan sosial terbantas dan diskriminasi tetap dipertahankan.
Maka Omnibus Law Cipta Kerja dan segala aturan turunannya harus di cabut!!, karena nyata sebagai aturan yang melahirkan praktek ketenagakerjaan primitif dan memperburuk keadaan industri dan ketenagakerjaan serta penghalang bagi kaum buruh dan rakyat Indonesia menuju perubahan sejati.
Maka dari itu tetap masih diperlukan adanya pengawalan yang cukup serius oleh gerakan buruh Indonesia. Konsolidasi dan perlawanan dalam berbagai bentuk seperti aksi-aksi dllnya untuk dicabutnya omnibus law harus terus dilakukan. Dan yang paling pokok sosialisasi putusan ini kepada buruh agar tidak salah memahaminya. Terus bangkitkan, organisasikan dan gerakan kaum buruh untuk berjuang memastikan akan hak-haknya.[]