Tanggapan GSBI atas Penetapan Kenaikan Upah Minimum (UM) Tahun 2025 Sebesar 6,5%
Tanggapan Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) atas Penetapan Kenaikan Upah Minimum (UM) Tahun 2025 Sebesar 6,5% 1. Sebagaimana d...
https://www.infogsbi.or.id/2024/12/tanggapan-gsbi-atas-penetapan-kenaikan.html
Tanggapan Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) atas Penetapan Kenaikan Upah Minimum
(UM) Tahun 2025 Sebesar 6,5%
- Meningkatkan
pengeluaran kelas menengah sebesar Rp. 354.293,- per bulan;
- PPN 12% berisiko menurunkan PDB hingga Rp65,3 triliun, mengurangi jumlah konsumsi rumah tangga sebesar Rp40,68 triliun. Artinya, PPN 12% mengancam pertumbuhan ekonomi 2025.
- Per Tahun Gen. Z harus membayar Rp1,75 juta lebih mahal karena selisih tarif PPN disbanding tahun sebelumnya.
- Kenaikan PPN menjadi 12% menambah pengeluaran kelompok miskin sebesar Rp101.880 per bulan, memperburuk kondisi ekonomi mereka.
- Kelompok rentan miskin mengalami tambahan beban pengeluaran Rp153.871 per bulan, mengancam kemampuan mereka untuk bertahan.
- Kenaikan PPN 12% dapat memicu permasalahan sosial seperti tingkat perceraian karena alasan ekonomi, dan tekanan mental (mental health) bagi Gen. Z.
Kondisi defisit
upah ini belum ditambah dengan nilai kenaikkan iuran BPJS yang mengalami
kenaikan seiring dengan kenaikan Upah Minimum yang berlaku dan rencana kenaikan
persentase iuran BPJS, Pembatasan BBM bersubsidi, KRL berbasis NIK, Asuransi
Wajib Kendaraan Bermotor, iuran wajib Tapera, serta kenaikan harga-harga
kebutuhan pokok yang tidak bisa dikendalikan oleh pemerintah dimana sudah pasti
harganya naik setiap ada kenaikan upah dan hari-hari besar.
7.
Bahwa terdapat perbedaan mendasar dan mencolok antara konsep Upah Minimum (Nasional) versi
Presiden Prabowo Subianto (melalui penetapan kenaikan upah minimum secara
nasional saat ini) dengan konsep Upah Minimum Nasional (UMN) GSBI. Yaitu pada
dasar dari nilai upah minimum (sebelum kenaikan) yang tidak membongkar
akumulasi nilai aktivitas produksi-distribusi (PDB/Pendapatan Domestik Bruto) yang
dihasilkan dari kegiatan produksi-distribusi rakyat Indonesia secara nasional
dan didistribusikan secara merata, dimana sejak puluhan tahun hasil
produksi-distribusi nasional dikuasai dan terpusat kepada segelintir orang.
Dalam pandangan dan analisa GSBI, bahwa kebijakan
pengupahan sejak orde baru terlebih sepanjang 10 (sepuluh) tahun terakhir di
bawah kekuasaan rezim Joko Widodo (Jokowi) nyata mempertahankan politik upah
murah (rendah) dan perampasan upah, upah yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup buruh dan keluarganya secara wajar yang
meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan,
rekreasi, dan jaminan hari tua, mengabaikan masalah disparitas upah
minimum antar daerah yang terus semakin melebar dan tidak pernah dapat
dikendalikan oleh pemerintah.
GSBI meyakini bahwa semua aturan pengupahan yang ada saat
ini (termasuk yang ditetapkan Presiden Prabowo Subianto dan Menaker Yassierli)
tidak akan membuat kenaikan upah buruh secara signifikan, tidak akan bisa
menjawab masalah disparitas upah dan diskriminasi upah, buruh upahnya tetap akan
mengalami defisit dari tahun ketahun. Karena aturan yang ada hanya
mengotak-atik rumus (formula) yang hakekatnya melanggengkan politik upah murah (rendah)
dan perampasan upah serta menjalankan pengupahan sistem kapitalisme
monopoli.
Meskipun
sesungguhnya landasan sistem pengupahan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang
Dasar (UUD) 1945 bersifat adil, akan tetapi dalam prakteknya, Indonesia
menerapkan sistem pengupahan berdasarkan prinsip-prinsip dasar kapitalisme
monopoli. Dalam sistem kapitalisme monopoli, upah adalah harga tenaga kerja
yang dikendalikan kapitalis dan ditetapkan oleh pemerintah (kapitalis birokrat)
sebagai pelayan kelas penghisap dan penindas. Inilah hakekat upah di dalam
sistem kapitalisme monopoli, yang dilegalkan dan ditetapkan oleh negara melalui
berbagai kebijakan dan aturan mengenai pengupahan, dari undang-undang,
peraturan pemerintah sampai dengan peraturan menteri. Dengan demikian, kelas
buruh harus mengerti prinsip dasar mengenai upah dan hubungannya dengan masalah
ekonomi dan politik yang mengontrol upah itu sendiri.
8.
Adanya program Makan Siang Gratis, Bantuan bagi ibu hamil, yang di klaim oleh
pemerintah khususnya dalam program Makan Siang Gratis akan memberikan manfaat
bagi kelas menengah yang dirata-ratakan mempunyai anak 3 (yang sekolah)
sehingga mendapatkan manfaat Rp. 30.000,- per hari. Betul adanya, program ini
akan membantu bagi buruh dan keluarganya khususnya mereka yang mempunyai anak.
Namun, hal ini tidak mencakup bagi buruh lajang yang jumlahnya diperkirakan
sebanyak 18.423.793 orang (diolah dari data BPS Feb 2024 – angkatan kerja menurut
golongan umur).
9.
Bahwa pemerintah harus tegas. Bahwa pengertian Upah Minimum adalah upah
bulanan terendah dan sebagai jaring pengaman sosial. Maka tidak boleh ada
penetapan upah minimum padat karya, terlebih jika nilainya dibawah upah minimum
(UM). Kalaupun mau menetapkan upah sektor padat karya, maka masuklah pada
penetapan Upah Minimum Sektoral (UMS). Dan selanjutnya tidak boleh ada
penangguhan pelaksanaan upah minimum yang dilakukan oleh perusahan-perusahaan.
Jika ada penangguhan pun harus seizin resmi dari pemerintah dengan proses yang selektif,
transparan dan jujur serta melibatkan serikat pekerja/serikat buruh. Dan
buruh yang terdampak penangguhan upah harus di subsidi langsung oleh pemerintah
(baik pusat/daerah) dari kekurangan upah minimumnya. Hal ini sebagai bentuk
nyata bahwa negara hadir untuk rakyat.
10. Bahwa menurut GSBI
masalah kenaikan upah minimum tidak berhenti pada masalah angka persentase
kenaikan dan rumus-rumus, tetapi juga apa yang akan dan harus dilakukan pemerintah
setelah penetapan kenaikan upah minimum (UM). GSBI berharap dan menuntut bahwa pengumuman
kenaikan upah minimum tahun 2025 ini di ikuti dengan perbaikan ekosistem
industry dan ketenagakerjaan yang sudah amburadul.
Pertama; Mulai dari
singkronisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan; Kedua; membenahi
Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan, mengingat saat ini sangat buruk kinerjanya,
yaitu dengan cara; jumlahnya di tambah dan kwalitas SDM serta kinerjanya juga
ditingkatkan, dengan system pengawasan, kontrol dan evaluasi yang ketat. Hal
ini untuk mengawal pelaksanaan upah minimum paska ditetapkan Gubernur. Bahwa
upah minimum yang seharusnya diberikan hanya untuk pekerja dengan masa kerja nol
sampai dengan setahun, pada faktanya banyak diberikan kepada pekerja dengan
masa kerja di atas satu tahun. Artinya banyak yang namanya Upah Minimum tetapi
menjadi Upah Maksimum. Demikian juga, masih banyak pengusaha yang membayar upah
di bawah ketentuan upah minimum yang berlaku.
Ketiga; Memberantas
secara serius Penyelundupan dan Praktek Mudahnya Impor yang tidak terkendali. Yaitu harus membasmi dan memberantas penyelundupan dan
praktek mudahnya impor yang tidak terkendali sampai ke akarnya, tindak para
pelakunya jangan tebang pilih, jebloskan ke penjara dan tinjau aturan yang mempermudahnya
Impor, dimana Impor menjadi tidak terkendali. Lihat salah satunya sampai saat
ini masih bebasnya Import pakaian Ilegal dari Cina yang
membanjiri pasar dalam negeri. Setiap tahunya tembus sampai dengan 31% total
pasar tekstil dan produk tekstil di dalam negeri, yang nilainya mencapai 100
Triliun.
Keempat; Memberantas Setidaknya Menstabilkan Biaya Tinggi yang Tidak Terkait dengan Industri
seperti Logistik, Suku Bunga dan KKN. Hal ini terkonfirmasi oleh peringkat yang dilakukan Bank Dunia berupa Logistics
Performance Index (LPI) tahun 2023 dan sebelumnya dilakukan pada tahun
2018. Peringkat Indonesia anjlok dari 46 menjadi 63 dari 139 negara atau anjlok
sebesar 17. Di antara negara-negara ASEAN, peringkat LPI 2023 tertinggi setelah
Singapore adalah Malaysia (peringkat 31), diikuti Thailand (37), Filipina (47),
Vietnam (50), Indonesia (63), Kamboja (116), dan Laos PDR (82). LPI 2023 ini
tidak mencakup Brunei dan Myanmar yang pada 2018 berada di peringkat 80 dan
137. Bila melihat persentasenya, Indonesia tertinggi dibanding negara ASEAN
Five yaitu 23,5% dari PDB sementara Singapure 8%, Malaysia 12,5%, Filipina 13%
dan Thailand 13,2%. Hal ini jelas menggerus pendapatan perusahaan yang
sesungguhnya bisa dialihkan untuk keuntungan usaha dan pengembangan investasi
serta peningkatan upah buruh.
Sementara itu suku bunga di Indonesia pun relatif
tinggi yaitu berkisar 9-11% sementara di Malaysia sekitar 5-6% saja. Hal ini
juga tercermin dari suku bunga acuan BI saat ini yang masih tinggi yaitu 6,25% dibanding Malaysia
yang hanya 3%. Dengan spread atau Nett Interest Margin (NIM) yang
tinggi 4-5% maka wajarlah bila suku bunga pinjaman semakin tinggi. Bila suku
bungan ini bisa lebih ditekan maka dengan sendirinya pendapatan perusahaan bisa
dinikmati juga oleh kaum buruhnya.
Sementara itu saat ini korupsi yang semakin merajalela
juga mengurangi pendapatan usaha karena harus berbagi dengan pemegang otoritas.
Hal ini tercermin dari menurunnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dari 40 pada
tahun 2019 menjadi 34 pada tahun 2022. Demikian juga hal ini bisa dilihat dari
kenaikan ICOR (Incremental Capital Output Ratio) yang pada tahun 2014
sebesar 4,9 kemudian naik terus hingga sempat mencapai 8,61 pada tahun 2021
dan pada tahun 2023 turun menjadi 7,6.
Nilai ICOR ini jelas menunjukan peningkatan inefisiensi yang disebabkan oleh
buruknya perencanaan dan korupsi. Bila saja pemerintah berhasil mengembalikan tingkat ICOR seperti pada tahun
2014, maka akan semakin banyak kegiatan investasi yang akhirnya dapat
meningkatkan distribusi pendapatan masyarakat melalui penyerapan tenaga kerja.
Kelima; Fokus dan Serius pada pembangunan Industrialisasi
nasional yang mandiri dan kuat, bebas dari modal asing yang orientasinya untuk memenuhi
keperluan material hidup bangsa dan rakyat Indonesia. Mengingat industri yang
ada saat ini bukan industry milik Indonesia, dan keberandaanya pun berorientasi
ekspor dan subsitusi impor dengan bahan baku impor, bergantung pada paten dan
di bawah lisensi imperialis. Manufaktur yang ada adalah olahan setengah jadi,
industri rakitan (assembling) mengandalkan mesin kuno dan teknologi paling
rendah. Belum lagi Modal, Pasar, Bahan Baku, Mesin (Teknologi), dll
sangat Bergantung pada Asing. Industri yang macam ini kedudukanya sangat ringkih
dan betul-betul tergantung dari situasi dunia internasional.
Data Kementerian
Perindustrian (Kemenperin) menunjukkan bahwa seluruh sektor industrial
bergantung pada impor, bahkan elektronik dan otomotif sepenuhnya bergantung
impor. Kimia bergantung 55%, metal bergantung lebih dari 77%. Demikian pula
dengan level investasi pada teknologi, penelitian dan pengembangan dan
produktifitas. Hingga sekarang sumbangan manufaktur masih sangat rendah sebagai
penopang hidup Indonesia secara keseluruhan, hampir setara dengan sumbangan
laten sektor pertanian. Pendapatan terbesar negeri ini diperoleh dari sektor
Jasa alias “Melayani” investasi dan utang imperialis di Indonesia. Jasa
angkutan-transportasi, perdagangan, jasa keuangan, jasa telekomunikasi dan lain
sebagainya. Sementara 55% GDP sangat bergantung pada konsumsi rumah tangga,
bukan konsumsi untuk kapital produktif.
11. Bahwa GSBI menolak politik upah buruh yang memisahkan buruh
dengan rakyat luas terhisap dan tertindas, khususnya kaum tani. Tuntutan
kenaikan nominal upah semata-mata bagi buruh tanpa memperhatikan keadaan kaum
tani (sebagai kaum mayoritas) dan rakyat lainnya yang upah dan pendapatannya
tidak naik, sementara harga barang terus naik akibat inflasi akan menjadikan
persekutuan pokok buruh dan tani akan terancam rusak. Karena itu, tuntutan
jaminan atas kepastian ketersediaan, distribusi dan penurunan harga kebutuhan
pokok rakyat secara drastis dan pembebasan pajak bagi buruh, tani, dan rakyat
miskin menjadi tuntutan utama bagi perbaikan (reform) upah buruh dan
seluruh rakyat.
Sudah
waktunya untuk membalikkan ketidakadilan, mengakhiri praktek politik upah murah
yang membuat buruh tidak cukup untuk memenuhi standar hidup yang layak bagi
diri mereka sendiri dan keluarganya, upah yang tidak cukup untuk mengeluarkan
buruh dari kemiskinan, terutama di tengah melonjaknya inflasi.
"Pemerintah
harus berhenti menipu, sekedar membangun formula mengotak-atik rumus yang pada
intinya adalah untuk mempertahankan upah rendah dengan kenaikan yang rendah.
Berhenti mempercayai fiksi bahwa upah ditetapkan sebagai hasil pertemuan kurva
penawaran dan permintaan pada titik ekuilibrium di pasar tenaga kerja”.
Hukum
hak asasi manusia (HAM) internasional, Undang-Undang Dasar 1945 sebagai
konstitusi negara yang merupakan hukum tertinggi di Indonesia menjamin hak
buruh untuk mendapatkan upah yang adil demi penghidupan yang layak untuk diri
mereka sendiri dan keluarga nya.
1. Segera berlakukan sistem pengupahan Upah Minimum Nasional (UMN) sebagai solusi dan jalan baru atas permasalah sistem upah minimum di Indonesia. Upah Minimum Nasional (UMN) yang dimaksudkan GSBI adalah sistem pengupahan dasar (terendah) – jaring pengaman- yang dibayarkan kepada buruh yang tidak dikecualikan dan tidak boleh dinegosiasikan, berlaku secara nasional untuk buruh dengan masa kerja nol sampai dengan satu tahun, untuk seluruh sektor industri dengan tanpa membedakan status kerja, yang ditetapkan langsung oleh pemerintah pusat (nasional) dengan tetap melibatkan partisipasi serikat buruh, asosiasi pengusaha melalui dewan pengupahan nasional.
3. Menolak adanya Penetapan Upah Padat Karya yang nilainya dibawah Upah Minimum (UM).
4. Menolak kenaikkan PPN 12%!!. GSBI Menuntut untuk dibatalkan Kenaikan PPN 12%. serta berbagai kenaikan pajak dan potongan lainnya yang akan menyebabkan lahirnya penderitaan, karena beban baru (defisit) terhadap pendapatan/penghasilan buruh dan rakyat.
6. Turunkan dan kendalikan seluruh harga-harga kebutuhan pokok rakyat, serta jamin dan pastikan pasokan dan distribusinya tersedia menenuhi kebutuhan rakyat.
7. Turunkan seluruh harga-harga kebutuhan input-output produksi pertanian dan jamin ketersedianya dengan harga yang terjangkau bagi petani.
8. Naikkan upah buruh tani. Serta berikan jaminan kestabilan dan naikkan harga jual produksi pertanian skala kecil milik rakyat (petani penggarap).
9. Cabut Omnibus Law Cipat Kerja (UU) No 6 Tahun 2023 dan seluruh aturan turunannya. Segera bentuk Undang-undang Ketenagakerjaan baru yang prosesnya melibatkan seluruh Serikat Buruh secara bermakna. Untuk itu GSBI mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera mengambil langkah konkrit dengan mengumumkan kepada publik khususnya kaum buruh Indonesia menyatakan bahwa Pemerintahan Prabowo Subianto setuju dan resmi menyatakan mengeluarkan Klaster Ketenagakerjaan dari Omnibus Law Cipta Kerja (UU No 6 tahun 2023) dan memerintahkan Kementerian Ketenagakerjaan memulai dialog dengan serikat buruh dan seluruh stackholder sebagai langkah awal membentuk UU Ketenagakerjaan baru sebagaimana perintah MK-RI dalam putusan No.168 dan aspirasi sejati kaum buruh Indonesia.
Bahwa apa yang GSBI sampaikan ini adalah demi perbaikan ekosistem industri
dan ketenagakerjaan yang akan berdampak nyata pada pertumbuhan ekonomi yang melonjak
baik dan berkelanjutan. Kesejahteraan salah satunya diwujudkan dalam upah yang layak, situasi kerja yang aman dan nyaman pasti akan
berkontribusi pada daya saing dan produktivitas yang tinggi. []
Dewan Pimpinan Pusat
Gabungan Serikat Buruh Indonesia (DPP. GSBI).